7 – KEHADIRAN DALAM SEKEJAP

1898 Words
BEBERAPA saat yang lalu usai kelahiran… “Tuan Felip? Apa yang Anda lakukan di sini?” Dokter James mengerjap kaget ketika baru sadar sedari tadi pria itu ada di ruang operasi. Marley, Evanny dan seluruh tim medis yang ada di sana melongo, sedangkan Felip meringis karena identitasnya terbongkar. “Entahlah, tadi perawat itu yang membawaku masuk kemari.” Felip menunjuk Evanny yang sontak menegang. “Astaga, aku salah orang?” Evanny menggerutu panik, ditambah semua orang kini berpaling menatapnya seolah dirinya adalah tersangka kejahatan. “Maafkan aku Tuan Felip! Karena tadi Anda memakai kacamata hitam dan berdiri di depan ruang operasi, aku pikir…” suara Evanny menciut, “aku pikir Anda suami dari pasien,” cicitnya dengan kepala menunduk takut. “Kau sangat keterlaluan Evanny! Mana mungkin—” bentakan dokter James terpotong oleh selaan Felip. “Jangan memarahinya dokter. Aku sama sekali tidak keberatan melakukannya,” pungkasnya. Alhasil Dokter James urung memarahi Evanny dan berulang kali meminta-maaf kepada Felip atas kecerobohan yang dilakukan salah satu perawatnya. Ketegangan yang sempat terjadi di ruang operasi itupun mereda tatkala seorang suster bernama Tanty kembali sambil menggendong bayi Tiffa yang sudah dimandikan dan dibungkus kain hangat. “Lihatlah! Bayi ini sangat cantik, warna matanya begitu indah dan… Mr.Alejandro?” Tanty terkejut di akhir kehebohannya membicarakan sang bayi yang baru lahir. Tidak menyangka akan melihat dan berhadapan langsung dengan CEO Alejandro Group yang diidolakan banyak kaum hawa. “Ke-kenapa Mr.Alejandro bisa ada di sini?” Tanty bertany sambil menatap linglung semua orang. Tersadar suatu kesamaan antara bayi dan Felip, Tanty lantas melotot kemudian memekik, “Apakah bayi ini darah daging Anda?!” Marley menepuk pundaknya keras-keras untuk memperingatkan Tanty agar menjaga ucapannya. “Jangan bicara sembarangan!” bisiknya di samping telinga Tanty. Wajah Tanty memucat dan ia segera minta-maaf. “Maaf karena kelancangan saya Tuan Felip.” Felip berjalan mendekat dengan senyum di bibirnya. “Boleh aku coba menggendongnya?” “Tentu saja Tuan! Silahkan…” Tanty memindahkan sang bayi ke tangan Felip. Pria itu menimangnya seolah sedang memainkan peran ayah. Felip mengamati mata hijau sang bayi yang balas menatapnya seakan berusaha mengenali sosok pria yang membuatnya merasa nyaman dalam gendongan. Bayi itu mengeluarkan suara erangan kecil, Felip tersenyum sebab merasa sedang diajak bicara oleh bayi tersebut. Entah apa yang membuat bayi ini terasa dekat dengannya, mungkin karena warna mata mereka sama. Drt… drt… drt… Ponsel Felip bergetar tanda panggilan masuk. Dengan terpaksa Felip mengembalikan bayinya ke gendongan suster Tanty, kemudian mengecek panggilan masuk yang berasal dari David. Saat itulah Felip baru ingat jika dirinya harus segera menemui kakak iparnya. “Aku harus pergi sekarang,” pamitnya. “Baik Tuan, sekali lagi saya minta-maaf dan terima kasih sudah bersedia menemani pasien saat melahirkan.” Evanny merasa perlu untuk mengatakannya karena dialah penyebab Felip terjebak di sini. Ucapan Evanny itupun mengingatkan Felip pada Tiffa yang masih belum sadar dari pingsannya. “Dia akan baik-baik saja kan?” Orang yang dimaksud Felip adalah Tiffa. Dokter James menjawab, “Keadaan jantung dan tekanan darahnya normal, pasien akan baik-baik saja setelah sadar nanti. Anda tidak perlu khawatir.” Felip lega mendengarnya kemudian membuat kesepakatan ke semua tim medis yang melihatnya di ruang operasi hari ini. “Aku tidak mau berita ini tersebar luas apalagi sampai heboh ke media. Kalian semua harus merahasiakan kejadian ini, termasuk ke pasien dan keluarganya.” “Baik Tuan Felip.” Dokter James menjawab mewakili semua tim. “Jika berita ini sampai bocor, aku bisa saja membeli rumah sakit ini lalu memecat kalian semua dan memastikan kalian tidak akan mendapat pekerjaan lagi di luar sana. Mengerti?” Ancaman Felip membuat semua petugas medis ketakutan. “Tentu Tuan, kami berjanji tidak akan membicarakan soal ini kepada siapapun. Tolong jangan pecat kami!” Evanny meminta-belas kasihan. “Bagus, kalau begitu lanjutkan pekerjaan kalian! Sampai jumpa…” Usai mengatakan kalimat perpisahan, Felip melangkah keluar ruangan meninggalkan tim medis yang kebingungan sekaligus ketakutan dengan ancamannya. *** Tiffa mengganti pakaian Mou, membungkusnya dengan kain hangat kemudian menggendongnya sambil menyeret koper berisi semua kebutuhan Mou menuju pintu keluar rumahnya. Viola yang menunggu di ruang tamu sontak berdiri menghalangi jalan Tiffa. “Kamu yakin dengan keputusanmu?” Tiffa memutar bola mata kesal, ini sudah ke sepuluh kalinya Viola menanyakan pertanyaan yang sama. “Keputusanku sudah bulat Vi! Jangan halangi jalanku dan cepat antarkan aku ke panti asuhan sekarang!” gerutu Tiffa. Viola mengacak rambut frustasi, susah sekali berbicara dengan sahabatnya yang keras kepala. “Tapi Vi, usia Mou masih dua minggu! Dia masih terlalu kecil dan masih membutuhkan asimu!” debat Viola, berharap Tiffa berubah pikiran demi kesehatan bayinya. “Aku tidak peduli!” tolak Tiffa. Lalu meneruskan dengan marah, “Dua minggu bersamanya saja sudah membuatku gila karena terus memikirkan ayah dari anak ini! Aku tidak bisa terus-terusan menjadi gila dengan tinggal bersama Mou, maka aku akan menempatkannya ke panti asuhan sekarang!” “Tiffa… Tiffa… tunggu dulu! Dengarkan aku—” “Tidak! Pergi dari hadapanku!” Tiffa menukas ucapan Viola sambil berusaha menerobos tubuh Viola yang menghalangi. “Tiffa please… jangan pikirkan pria itu! Coba pikirkan saja keadaan Mou, dia masih membutuhkanmu Tiffa… kasihan dia.” Kali ini Viola memohon, dia sampai berjongkok di depan kaki Tiffa agar wanita itu mendengarkannya. Tiffa berhenti memberontak lalu menunduk menatap Viola sambil menghela napas berat. “Asal kamu tahu, saat melahirkan aku sampai berhalusinasi ditemani oleh pria itu.” Tiffa akhirnya menceritakannya pada Viola. Viola berdiri menyahut dengan syok, “Maksudmu ditemani David Alejandro? Tentu saja itu pasti hanya halusinasimu saja!” Tidak perlu Viola pastikan, Tiffa sendiri sadar diri jika semua itu hanya khayalan. “Ya! Aku tahu itu mustahil! Tidak perlu diulangi lagi, kau hanya membuatku semakin kesal,” sahut Tiffa sambil membuang muka marah. “Maaf Tiffa, aku tidak bermaksud membuatmu kesal. Tapi kau harus tahu, hari melahirkanmu sama dengan hari melahirkan Kendra, berita kelahiran cucu pertama Alejandro sudah tersebar kemana-mana. Jadi sudah pasti David bersama istrinya hari itu dan mustahil dia memilih untuk menemanimu yang bahkan bukan siapa-siapanya.” Tiffa memejamkan mata berusaha membendung puncak kekesalannya akibat informasi Viola. Keputusannya untuk melepas Mou ke panti asuhan menjadi semakin besar, tidak ada lagi kata mundur. Tiffa akan melakukannya sekarang! “Jika kamu tidak mau mengantarku ke panti asuhan, yasudah aku pergi naik taxi saja!” ketus Tiffa lalu berjalan melewati Viola yang kecolongan mencegahnya. “Baiklah-baiklah, aku akan mengantarmu! Hey… tunggu aku Tiffa!” teriak Viola, berlari mengejar Tiffa yang sudah jauh di depan. *** Bulpoint Tiffa terhenti ketika hendak mengisi kolom nama. Beberapa saat yang lalu Tiffa dan Viola sudah sampai di panti asuhan, Tiffa perlu tanda tangan persetujuan dan mengisi beberapa dokumen termasuk identitas bayinya. “Kenapa? Tulis saja nama Moulyn Tiffanya!” perintah Viola ketika melihat keraguan di wajah sahabatnya. Tiffa melirik Viola, lalu berkata, “Dia tidak seharusnya menggunakan nama pemberianku setelah tinggal di panti asuhan.” Wanita paruh baya bernama Lieta, kepala pengurus panti asuhan turut memberi saran. “Tidak apa Nyonya, anggap saja itu pemberian terakhir untuk putri Anda sebelum kalian berpisah selamanya.” Tiffa tidak mampu mengelak lagi dan terpaksa mengisi dokumen identitas bayinya menggunakan nama Moulyn Tiffanya. Setelah perjanjian dan semua berkas dokumen diselesaikan, sudah waktunya bagi Tiffa untuk melepas sang bayi yang selama 2 minggu ini ia rawat dengan baik. “Aku sudah menyiapkan stok asi di botol untuk satu minggu ke depan, simpan saja di lemari pendingin dan hangatkan saat akan meminumkannya ke Mou,” tutur Tiffa, tak melepas pandangan dari Mou yang sedang tertidur pulas dalam gendongan pengasuh barunya di panti asuhan. “Saya tahu Nyonya, Anda tidak perlu khawatir,” jawab suster Anya. “Jika nanti Mou tidak cocok minum s**u formula, kalian bisa menghubungiku. Aku akan antarkan stok asi untuknya,” kata Tiffa lagi, seakan masih belum bisa melepas Mou sepenuhnya kepada pihak panti asuhan. Viola tidak habis pikir mengapa Tiffa masih saja perhatian pada Mou jika kenyataannya wanita itu membuang putrinya ke panti asuhan. Sungguh ironis… “Kalau begitu, aku pamit pulang. Terima kasih Nyonya Lieta dan suster Anya, kalian sudah mau menerima Mou di sini,” ujar Tiffa dengan sorot mata sendu. “Sama-sama Nyonya, kami pastikan putri Anda akan baik-baik saja selama berada di sini dan tentunya saya akan pastikan dia mendapat orang tua baru yang layak,” jawab Lieta. Tiffa tidak membalas lagi selain anggukkan kepala pasrah. Andai Viola tak menarik lengannya pergi, mungkin saja Tiffa akan terus berada di sana. Meski kehadirannya sekejap di hidup Tiffa, tapi Mou berhasil membuat Tiffa menyayanginya sepenuh hati. Dan perpisahan tak diharapkan ini akan selalu menjadi momen terberat bagi Tiffa. *** Beberapa hari semenjak kepergian Mou di panti asuhan, Jason dan Gina datang membawa bingkisan serta hadiah perlengkapan bayi. Niat hati ingin menengok Mou namun mereka malah dikejutkan oleh ketiadaan Mou di rumah Tiffa. “Tega sekali kau Tiffa! Bayimu bahkan belum berusia satu bulan dan kamu sudah melepasnya ke panti asuhan!” pekik Jason, tepat di depan wajah Tiffa yang terpejam meringis. Tiffa bergeming tak menjawab, Jason menjadi frustasi. “Kenapa kamu tidak memberitahuku sebelumnya? Dan ke panti asuhan mana kamu membuang Mou?” tanya Jason. “Aku tidak mau merepotkan Bos dan Bibi lagi, maka aku memutuskan tidak akan memberitahu kalian di panti asuhan mana Mou berada. Bos dan Bibi sudah baik padaku, aku sangat berterima kasih tapi maaf… untuk urusan Mou tolong jangan ikut campur lagi.” Tiffa berpikir akan lebih baik Jason dan Gina tidak tahu tentang keberadaan Mou agar mereka tidak mencarinya. Biarlah Mou menjadi masa lalu suramnya, Tiffa tidak ingin membuka jembatan pertemuan dengan putrinya lagi. “Baiklah jika itu maumu. Aku hanya berharap, suatu saat kamu tidak menyesali keputusanmu ini,” sahut Jason, berupaya menyembunyikan kekecewaannya. Sedangkan Gina tidak banyak bicara, wanita itu mendekati Tiffa kemudian memeluknya erat. Meski keputusan Tiffa saat ini salah, tapi sebagai sesama perempuan Gina mengerti bagaimana rasanya kehilangan seorang putri. Tiffa tidak punya pilihan lain dan dia tidak berani mengambil risiko dengan memilih membesarkan Mou. Gina melepas pelukan lalu keduanya saling bertukar senyum. Berkat Gina, Tiffa merasa jauh lebih baik sekarang. Pandangan Tiffa berpaling menatap Jason, “Aku sudah melahirkan Mou seperti yang Bos minta, sesuai yang Bos bilang waktu itu, aku boleh tetap bekerja di kelab.” Jason mengembuskan napas panjang, padahal Tiffa baru selesai operasi melahirkan tapi dia gigih sekali ingin cepat bekerja. “Fokus saja ke pemulihanmu pasca melahirkan. Kamu boleh bekerja setelah tiga minggu lagi.” Tiffa buka mulut, hendak protes tetapi Jason lebih dulu menyelanya. “Tidak boleh membantah! Atau kau mau kupecat hah?” sentak Jason. Tiffa mengunci mulut rapat-rapat dengan ekspresi kesal, tidak berani membantah karena takut Jason akan benar-benar memecatnya. Pekerjaan adalah satu-satunya hal paling berharga yang Tiffa miliki saat ini sehingga dia tidak bisa kehilangannya. “Kalau begitu, kami pamit pulang dulu.” “Tunggu! Bingkisan kalian…” Tiffa mengembalikan bingkisan serta hadiah yang Jason dan Gina bawa untuknya. Tiffa tidak berhak menerimanya, apalagi Mou sudah tidak ada di rumah ini. Tiffa sudah tidak memerlukan perlengkapan bayi lagi. “Apa yang sudah kami berikan, tidak boleh dikembalikan lagi. Simpan saja untukmu Tiffa,” balas Jason. “Tapi aku sudah tidak merawat bayi.” Gina tersenyum seraya ikut berkomentar, “Tidak apa Tiffa, anggap saja sebagai kenang-kenangan Mou. Kami permisi dulu, sampai jumpa…” Tidak ada yang bisa Tiffa lakukan selain menerimanya dengan berat hati. Kepalanya menunduk, menatap nanar perlengkapan makan dan minum bayi yang masih tersegel rapi di dalam kotak plastik. Sayangnya, benda itu selamanya hanya akan menjadi sebuah kenang-kenangan. BERSAMBUNG...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD