8 – PUTRI KECIL DENGAN SANG AYAH

2059 Words
SEIRING berjalannya waktu, kini usia Mou sudah 10 bulan. Selama itu Mou hidup di panti asuhan bersama anak-anak yatim piatu lainnya. Warna mata Mou yang indah dan wajah imutnya yang menggemaskan membuatnya disayang banyak orang sehingga meskipun hidup jauh dari ibunya, Mou tetap mendapat limpahan kasih sayang dari orang-orang. Hari ini bertepatan dengan hari jadi panti asuhan Chioke ke 15 tahun. Para donatur, direksi panti asuhan, serta calon orang tua pengadopsi datang meramaikan acara. Pentas seni yang dilakukan anak-anak panti berhasil menghibur seluruh tamu undangan. Acara itupun berlangsung meriah dan menyenangkan sampai membuat suster Anya melupakan tugasnya menjaga Mou yang terlelap di kamar bayi. Mou yang awalnya tidur akhirnya bangun karena terganggu dengan suara berisik di luar. Bayi itu merangkak ke tepian pagar pembatas tempat tidur, mencoba berdiri dengan berpegangan ke besi pembatas. Mou yang penasaran berusaha keluar dari pagar tempat tidur, kedua kakinya berulang kali mencoba memanjat. Bayi itu berusaha sekuat tenaga untuk kabur meski nyaris selalu gagal. Sampai 30 menit kemudian Mou berhasil keluar dari pagar box bayi, tubuhnya jatuh berguling ke bawah karpet yang beruntungnya cukup tebal sehingga tidak membuatnya kesakitan. Dengan mandiri dan licah Mou merangkak keluar kamar. Seharusnya ia pergi ke lapangan depan bila ingin melihat pesta, akan tetapi naluri kebayiannya membawa Mou menuju taman belakang. *** Setelah memberi pidato singkat sebagai satu-satunya donator tetap dan terbanyak bagi panti asuhan Chioke, Felip undur diri dan memilih pergi ke taman belakang daripada menonton acara hiburan. Felip berjalan di koridor terbuka yang terhubung dengan taman, satu tangannya ia masukkan ke saku celana sementara satu tangannya yang lain memegang Ipad untuk membaca laporan yang dikirimkan divisi keuangan. Dari lawan arah, Mou berhenti merangkak setelah melihat Felip dari kejauhan. Bibirnya tersenyum menggemaskan seolah mengenali pria di depannya. Mou bergegas merangkak lagi saat Felip berbelok ke air mancur taman, Mou mengikutinya dengan semangat. Felip masih belum sadar jika Mou ada di belakangnya. Felip duduk di kursi panjang dekat air mancur, masih fokus membaca laporan di Ipad-nya sementara Mou sudah sampai di depan kaki Felip. Bayi itu berusaha berdiri memeluk Felip, namun tubuh mungilnya hanya bisa membuat Mou memeluk sampai sebatas lutut Felip yang sontak terkejut. “Hey… bayi kecil, bagaimana bisa kamu ada di sini?” Felip menyapa dengan bingung. Mou membalasnya dengan gelak tawa, mungkin ekspresi bingung Felip terlihat lucu di matanya. Felip menggendong dan meletakkan Mou di pangkuannya. Felip lalu mengedarkan pandangan ke sekitar mencari seseorang yang mungkin mengantar Mou. Tapi tidak ada siapa-siapa di sana. “Apakah kamu merangkak sendiri ke sini?” tanya Felip, yang hanya dibalas gumaman tidak jelas dari Mou. “Daddah… daddah…” Mou berceloteh dengan logat bayi yang tidak jelas. Felip mengangkat salah satu alisnya karena merasa bayi itu sebenarnya hendak memanggilnya daddy. “Warna matamu sama persis sepertiku.” Felip tertegun dengan ucapannya sendiri saat ia tiba-tiba memikirkan tentang Sophia. Andai Sophia tidak meninggal, mungkin ia akan melahirkan bayinya dan usianya pasti tidak jauh berbeda dari bayi yang ada dalam pangkuan Felip sekarang. Melihat Mou, Felip seperti melihat cerminan dirinya versi perempuan. “Mou! Mou, kamu di mana sayang?” Lamunan Felip buyar ketika ia mendengar teriakan seseorang. Felip menduga bahwa Mou adalah bayi yang dicari wanita itu. Felip pun melangkah menghampiri suster Anya. “Ya Tuhan… syukurlah ternyata kamu di sini…” Suster Anya langsung lega setelah melihat Mou sedang digendong oleh Felip. Wanita itu membungkuk di depan Felip, meminta-maaf atas kelalaiannya sekaligus berterima kasih sebab Felip berhasil menemukan Mou. “Maaf Tuan Felip, dan terima kasih sudah menjaga Mou.” “Sama-sama, lain kali jaga bayi ini baik-baik,” jawab Felip kemudian menyerahkan Mou ke gendongan suster Anya. Ekspresi Mou berubah sedih setelah Felip memindahkannya ke gendongan suster Anya, namun Felip mengabaikannya. Melihat Mou hanya menyakiti hatinya karena diingatkan kembali dengan mendiang Sophia dan tragedi di kelab yang terjadi dua tahun silam. “Sekali lagi terima kasih, dan saya pamit permisi dulu. Silahkan Anda menikmati pestanya,” ucap suster Anya yang dibalas anggukan kepala Felip sebelum kemudian wanita itu membawa Mou kembali ke kamarnya. Mou melihat ke belakang tempat Felip berdiri, tangan mungilnya terulur seakan tidak ingin berpisah dengan Felip. Felip termenung melihat reaksi Mou, akan tetapi lagi-lagi pria itu membiarkannya. Sama sekali tidak berpikir bahwa Mou adalah putri kandungnya. *** “Wajahmu terlihat sangat buruk sekarang,” celetuk Stave sambil melihat wajah muram Felip dari kaca spion dalam mobil. Felip melirik tajam Stave yang duduk di bangku pengemudi depan. Sejak tadi isi kepalanya berputar-putar menayangkan pertemuannya dengan bayi manis bernetra hijau di taman panti asuhan Chioke. “What happen, dude?” tanya Stave, ia bisa menebak pasti ada yang mengganggu pikiran Felip saat ini. “Di panti asuhan tadi, aku bertemu dengan bayi. Dia memiliki warna mata hijau sepertiku,” jawab Felip. Terdengar dengusan napas Stave, wajah pria itu berubah cemberut sehingga membuat Felip terheran. “Kenapa kamu memasang ekspresi seperti itu?” tegur Felip. Stave menggeleng acuh tak acuh lalu menjawab, “Tidak apa, hanya saja belakangan ini kamu sering sekali berhubungan dengan bayi hijau.” Felip terkekeh mendengar sebutan bayi hijau pemberian Stave. Pria pengemudi itu kemudian meneruskan, “Ingat insiden yang kau alami setahun lalu? Bukankah wanita yang tidak sengaja kau temani saat operasi caesar itu juga melahirkan bayi berwarna mata hijau?” Kilas balik kejadian di masa lalu itupun mengingatkan Felip tentang Tiffa. “Kau menjadi lebih emosional setelah bertemu anak-anak bernetra hijau, mungkinkah kau masih berpikir bahwa wanita yang kau tiduri di kelab dulu bukanlah Sophia?” Stave lanjut bertanya. Lalu menyangkal pertanyaannya sendiri dengan berkata, “Ayolah Felip! Kita sudah mengonfirmasi wanita itu, dan Sophia benar-benar sudah meninggal. Jangan pernah berpikir wanita itu masih hidup dan melahirkan anakmu.” Stave benar, seharusnya Felip tidak terus berkubang dengan masa lalu. Masalah itu sudah berakhir sejak lama. Akan tetapi, wajah Mou serta ekspresinya saat melihat Felip di taman tadi benar-benar tidak bisa Felip lupakan begitu saja. Meski mustahil, namun entah kenapa Felip merasa ada ikatan di antara mereka berdua. “Bayi itu sungguh memengaruhiku Stave, dia bahkan sedih saat berpisah denganku,” ungkap Felip. Stave merengut prihatin, kasihan sekali atasan yang merangkap sebagai sahabatnya yang satu itu. Felip pasti mengalami trauma berat karena pernah memerkosa seorang wanita, dan trauma itu memunculkan rasa tanggung-jawab tidak berdasar ke seorang bayi yatim piatu yang kebetulan memiliki ciri paras yang sama sepertinya. “Jika memang kamu menyukai bayi itu, kenapa tidak kamu adopsi saja?” Stave hanya bicara asal, dan ia tidak menyangka ucapannya dengan gampang disetujui begitu saja oleh Felip. “Ide bagus Stave!” pekik Felip. Stave menyahut cengo, “Ha?” Dia tidak serius saat menyarankan ide tersebut, apalagi untuk seorang Felipe Alejandro yang agung nan rupawan, harusnya tidak perlu mengadopsi pun—Felip bisa saja mendapatkan seorang anak dengan menikah. “Kamu tidak benar-benar akan melakukannya kan?” Stave bertanya memastikan. “Aku akan mengadopsi Mou,” jawab Felip. Stave terbelalak syok. “Tidak-tidak! Tuan Mias pasti akan melarangmu!” Felip mengeluarkan ponsel dari balik saku jasnya, menscroll kontak nama kepala pengurus panti asuhan dan mengacuhkan peringatan Stave. “Hello Mrs. Lieta, ini aku.” Stave meringis mendengar percakapan telepon Felip bersama pengurus panti asuhan Chioke. “Mr.Alejandro? Ada yang perlu saya bantu?” “Saat di panti asuhan tadi aku bertemu dengan seorang bayi. Suster Anya memanggilnya Mou. Kamu tahu tentang bayi itu?” tanya Felip, sedangkan Stave diam menyimak pembicarakan mereka sambil menatap lurus ke jalanan. “Ya Tuan, namanya Moulyn Tiffanya.” “Aku ingin mengadopsi Mou, tolong urus semua berkasnya.” Felip berkata to the point. Lieta sampai tergugup di seberang telepon. “Anda yakin? Tapi usia Mou baru satu tahun lebih, dia bahkan belum bisa berjalan. Bukannya saya melarang Anda tapi maaf sebelumnya Tuan Felip, merawat bayi tidak semudah yang Anda pikirkan apalagi Anda belum pengalaman.” Felip berpikir sejenak, mengurus bayi memang pekerjaan berat, terlebih ditengah kesibukannya bekerja. “Aku bisa membayar seorang baby sitter untuk merawatnya,” jawab Felip. “Bagi anak-anak panti asuhan, kasih sayang orang tua adalah prioritas mereka. Bila Anda mengandalkan baby sitter untuk merawatnya, bukankah rasanya akan sama saja seperti saat dirinya berada di panti asuhan?” Lieta menjawab telak. Mau bagaimana pun Lieta pernah berjanji pada Tiffa akan memilihkan orang tua yang layak untuk Mou. Secara finansial, Felip jelas memenuhi kualifikasi, tetapi secara mental dan kasih sayang Felip mungkin belum bisa sepenuhnya memberikan itu. Apalagi yang Lieta tahu Felip masih berstatus single, yang artinya tidak tahu caranya merawat bayi. “Lalu apa yang harus aku lakukan untuk bisa mengadopsinya?” tanya Felip. “Bagaimana jika Anda menunggunya sampai sudah cukup besar? Saya dan suster Anya akan memastikan Mou tumbuh sehat sampai dia siap untuk Anda adopsi. Sebagai gantinya, Anda boleh sering mengunjungi Mou di panti asuhan.” Bukan ide yang buruk, Felip setuju dengan rencana Lieta. “Baiklah, aku setuju. Dan pastikan tidak ada orang tua lain yang bisa mengadopsi Mou selain aku, Anda mengerti kan Mrs.Lieta?” Lieta mengangguk di seberang telepon. “Saya mengerti Tuan.” “Oh ya, satu hal lagi,” Felip berucap sebelum mengakhiri telepon. “Iya Tuan?” “Aku akan mentransfer uang tambahan untuk biaya hidup Mou selama di panti asuhan. Beri Mou fasilitas terbaik, jangan sampai dia sakit atau mengalami situasi berbahaya seperti saat kutemukan dia sendirian di taman hari ini.” Felip tanpa sadar bersikap overprotektif. Stave yang sejak tadi mendengarkan percakapan mereka hanya geleng-geleng kepala, tidak habis pikir dengan Felip yang sebegitunya memperlakukan seorang bayi yang bahkan baru ditemuinya satu kali. *** Fasilitas terbaik dari Felip ternyata berdampak buruk di empat tahun selanjutnya. Anak-anak panti asuhan menyadari perbedaan yang signifikan antara mereka dan Mou yang diistimewakan. Mereka berpikir karena Mou memiliki paras cantik dan mata hijau yang indah sehingga dia diperlakukan khusus. Saat ini usia Mou sudah lima tahun, anak-anak lain memilih tidak berteman dengannya. Alhasil, gadis kecil itu sering kali diasingkan dan merasa kesepian. Dari tahun ke tahun sebelumnya, Felip rutin mengunjungi Mou ke panti asuhan setidaknya satu bulan dua kali. Tetapi Felip tidak pernah langsung menemuinya dan hanya memerhatikan Mou dari jauh. Felip melakukan itu agar tidak menimbulkan kecurigaan di mata publik yang mungkin saja dapat merusak reputasinya apabila tersebar berita tidak benar tentang dirinya. Terkecuali hari ini, Felip tidak bisa menyembunyikan dirinya lagi. Pria itu tidak tahan melihat Mou duduk sendirian di bangku taman dekat air mancur, tempat yang sama dengan pertemuan pertama mereka empat tahun yang lalu. “Hai.” Felip menyapa kaku. Mou yang menunduk muram akhirnya mendongak. Sepasang mata hijaunya menyelisik penampilan Felip yang tampak asing. “Hai uncle,” jawab Mou, pelan. “Boleh aku duduk di sini?” Felip menunjuk bagian kosong samping Mou. Mou mengangguk, “Tentu.” Gadis kecil itu tak memalingkan tatapannya barang sedetik pun dari Felip, lebih tepatnya dari warna mata Felip yang sama hijaunya seperti warna matanya. Penasaran akan sesuatu, Mou pun memberanikan diri bertanya, “Apa uncle adalah daddy-ku?” Felip tertegun mendengar pertanyaan Mou. Dia tidak ingin menyakiti hati seorang anak kecil dengan berbohong, maka ia pun berupaya jujur. “Bukan.” Jawaban itu mengundang kekecewaan Mou. Tapi dia tidak menangis. “Tapi aku bersedia menjadi daddymu, apa kamu mau?” lanjut Felip. Mou mengerjap menggemaskan, tampak bingung dengan pertanyaan Felip. “Jika uncle menjadi daddyku, bukankah daddyku yang sebenarnya akan sedih?” Mou bertanya polos. Felip tersenyum seraya mengelus puncak kepala Mou. “Tentu dia pasti sedih karena putrinya memiliki daddy yang lain.” “So, why daddy leave me?” Pertanyaan Mou menyalurkan benturan ringan di kepala Felip yang sontak teringat dengan mimpinya di masa lalu. Mimpi yang mana ia kedatangan putri kecilnya yang menangis dan meminta jawaban Felip atas pertanyaan yang nyaris sama seperti yang sebelumnya Mou ajukan padanya. Pertanyaan kenapa dia meninggalkan putrinya? “Jika daddy sedih aku memiliki daddy yang lain, lalu kenapa daddy tidak berusaha mencariku? Apa uncle tahu jawabannya?” Mou kembali bertanya ketika Felip tak kunjung bersuara. Felip menatap Mou sedih, kemudian menjawab, “Dia mungkin saja sudah mencarimu kemana-mana, tetapi tidak tahu jika kamu ada di sini.” Mou mengangguk paham, kemudian berencana mengatakan sesuatu kepada Felip namun ragu. Matanya berkaca-kaca menatap Felip, berharap besar pria itu akan mengabulkan permintaannya. “Kalau begitu, maukah uncle membantuku mencari daddy?” Felip tercengang, tidak menyangka Mou akan meminta bantuannya mencari sang ayah. Saat Felip mengangguk menyetujui permintaan Mou, di saat yang sama pula Tuhan meluncurkan tawa. Tertawa sebab Tuhan tahu, untuk apa mencari bila mereka sudah dipertemukan? BERSAMBUNG...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD