Lima taun lalu. Fabio pernah patah hati sebab wanita. Bukan salah si wanita jika cinta Fabio bertepuk sebelah tangan. Wanita yang bernama Nirmala. Adik kandung dari kakak iparnya yaitu Aruna Virginia. Cinta yang ia miliki memang salah. Salain karena hubungan kekeluargaan yang terjalin di antara dia dengan Nirmala, juga perempuan itu yang sudah memiliki calon suami.
Miris memang. Tidak pernah jatuh cinta sekalinya merasa menemukan wanita yang tepat tapi tidak berjodoh. Fabio ingat betul saat itu usai dia menghadiri acara resepsi pernikahan Nirmala dengan Leo, dia yang frustasi memilih melarikan diri. Tak tentu arah dan nyatanya taman inilah yang menjadi jujugannya sebab keberadaan Scarla yang tanpa sengaja ia lihat. Mereka menikmati jagung bakar berdua hingga entah apa yang membuat Fabio berani mencuri ciuman pertama gadis belia yang bahkan baru saja beranjak remaja.
"Uncle!"
Panggilan dengan nada sedikit keras menyadarkan Fabio akan lamunan. Pria itu tersenyum miris mengingat akan masa lalunya bersama Scarla hingga keduanya mengenal lebih dekat hingga sekarang.
"Uncle melamun? Ingat akan ciuman kita dulu? Apa Uncle mau mengulanginya kembali?"
Pertanyaan polos yang mendapat jawaban berupa jeweran di telinga gadis itu.
"Auw! Sakit, Uncle! Kenapa Uncle menjewerku," gerutu Scarla sembari mengusap telinganya yang panas sebab jeweran tangan kekar Fabio.
"Masih kecil jangan suka berpikir m***m begitu!"
"Ish, siapa yang m***m. Uncle sendiri kan yang ngajarin aku jadi dewasa sebelum waktunya. Siapa coba yang dulu menciumku lebih dulu. Sampai aku ketagihan dan ingin mencicipinya lagi."
Ocehan Scarla sontak membuat Fabio terkejut. Menatap Scarla dengan memelototkan matanya. "Kamu sering ciuman dengan lelaki lain setelah kejadian itu?"
Kepala Scarla menggeleng. "Enggak. Mana berani sih aku minta dicium lelaki. Yah, meski pun terkadang ada dorongan kuat untuk aku melakukannya. Tapi entahlah. Setiap menjalin hubungan dengan pria, aku selalu merasa tidak cocok. Selalu ilfeel tiap kali mendapat sentuhan dari pria lain sekalipun itu hanya memegang tangan. Bagaimana coba jika sampai berciuman. Tak bisa membayangkan jijiknya aku." Scarla bergidik sendiri ketika membayangkan andai saja ia harus dicium oleh seorang lelaki.
"Jadi, sewaktu aku menciummu ... kau merasa jijik?"
Lagi-lagi Scarla menggelengkan kepalanya. "Tidak. Sama sekali aku tidak merasa jijik jika itu Uncle yang melakukannya. Justru aku senang dan ingin lagi." Gadis itu cengengesan sendiri. Sungguh polos dan itu menggemaskan sekali.
Tanpa babibu, Fabio rupanya sangat lincah jika itu urusan berciuman. Lihat saja bagaimana Scarla yang harus membulatkan matanya ketika merasakan bibirnya dilumat oleh bibir pria itu yang sudah menahan tengkuknya. Dan itu Fabio lah pelakunya. Antara senang dan juga terkejut secara bersamaan. Scarla memilih menikmatinya saja dengan memejamkan mata dan merasakan betapa menggilanya dia saat ini sebab sentuhan bibir Fabio membuatnya melayang tinggi.
•••
Hampir tengah malam ketika Fabio mengembalikan Scarla di rumah gadis itu. Andai tidak ingat akan Veronica mungkin Fabio akan mengarungi Scarla dan membawanya pulang ke apartemen. Sayangnya kewarasan Fabio sudah kembali sehingga pria itu merutuki kebodohannya akan apa yang tadi ia perbuat pada Scarla. Hanya ciuman tapi hal itu sangat memalukan sekali. Bagaimana mungkin ia melakukan itu pada gadis belia tanpa ada rasa cinta. Hanya karena menuruti hawa nafsu semata sampai ia melupakan etika. Oh, Tuhan. Malu sekali rasanya. Apalagi Scarla ini baperan. Bagaimana jika gadis itu menganggap apa yang dia lakukan sebagai bentuk rasa cinta.
"Sudah sana masuk. Nanti dicari papi dan mamimu!" Usir Fabio karena Scarla tak kunjung juga keluar dari dalam mobilnya. Padahal pria itu sudah was was andai saja Vero dan suaminya mencari keberadaan sosok anak tirinya.
"Iya. Nggak sabaran banget, sih! Aku heran sama Uncle. Kadang baiknya nggak ketulungan tapi di waktu yang bersamaan Uncle juga sangat menyebalkan."
Fabio memutar bola matanya malas. Mulai lagi gadis ini ngedrama.
"Aku hanya tidak ingin Vero mencarimu."
"Tidak mungkin mami mencariku. Ya, sudah aku turun dulu. Terima kasih karena Uncle sudah menghiburku malam ini. Sampai ketemu lagi di lain hari."
"Iya, sama-sama."
Scarla membuka pintu mobil Fabio. Bukannya keluar tapi malah berbalik badan. "Nggak ada ciuman selamat malam, kah?"
Fabio mendelik dan Scarla justru tertawa. Gegas keluar dari dalam mobil. Melambaikan tangan sebelum ia memasuki gerbang rumah mewah papinya. Begitu Scarla tak terlihat lagi barulah Fabio menjalankan mobilnya meninggalkan kediaman Veronica.
Melihat pada ponsel yang banyak sekali panggilan tak ia jawab dari mama dan kakaknya. Sungguh, Fabio merasa bersalah karena sudah membuat cemas keluarganya.
Gegas memacu mobil dengan kecepatan lumayan kencang agar dapat segera sampai tujuan. Untung saja jalanan cukup lengang. Hingga hanya memerlukan waktu tiga puluh menit saja baginya dapat sampai di rumah keluarga Limantara.
Di tengah malam seperti ini Fabio yakin sekali jika kedua orangtuanya sudah istirahat di dalam kamarnya. Jadi Fabio masih ada waktu sampai esok hari untuk menjelaskan semuanya. Sebagai seorang lelaki sejati Fabio akan mengakui kesalahannya jika malam ini telah membawa Scarla keluar dari kediaman Rejendra dan Veronica. Biarlah dia mendapat omelan dari mama dan papanya karena untuk kesekian kali membuat ulah dengan membawa kabur Scarla.
"Dari mana saja kamu, Bio?"
Suara itu membuat Fabio yang berencana menuju kamar dengan terpaksa menghentikan langkahnya. Memutar badan menatap pada sang kakak yang berdiri sembari bersadekap depan dadaa menatapnya tajam penuh dengan pertanyaan. Ah, kenapa Fabio bisa melupakan keberadaan Fabian yang malam ini menginap di rumah keluarganya.
"Hai, Kak! Belum tidur?" Bukannya menjawab apa yang Fabian tanyakan, Fabio justru balik bertanya.
Suasana ruang tamu sampai ruang keluarga yang remang-remang karena hanya ada satu lampu yang menerangi, kini terang benderang sebab Fabian menyalakan saklar hingga lampu menyala menerangi ruangan.
"Duduk!" Titahnya pada sang adik.
Fabian ini sebenarnya kakak yang baik tapi juga tegas. Lebih baik sikapnya daripada sang papa yang hanya bisa memerintah saja. Lain dengan Fabian karena kakaknya ini lebih pengertian dengannya.
Fabio menurut. Melangkahkan kakinya menuju sofa dan ia duduk di sana. Ekor matanya sempat menangkap jarum jam yang bertengger di salah satu dinding ruangan. Hampir pukul dua belas malam tapi rupanya Fabian masih belum tidur dan beristirahat.
Fabian ikut duduk di salah satu sofa saling berhadapan dengan adiknya.
"Kamu belum jawab pertanyaanku, Bio. Dari mana saja kamu? Meninggalkan tempat acara tanpa memberitahu kita. Bahkan aku telepon pun kamu tak jawab. Tak tahukan jika kami semua mengkhawatirkan kamu. Pamit ke toilet rupanya kabur entah ke mana. Seharusnya kamu bisa mengatakan sejujurnya pada kami jika bosan di sana. Agar kami semua tak lagi mencari keberadaanmu."
"Maafkan aku, kak. Sebenarnya aku tidak ada rencana meninggalkan tempat. Tadinya aku memang ke toilet lalu ingin menghirup udara segar di taman. Namun, ada sesuatu yang membuatku harus meninggalkan acara. Itu semua karena ... Scarla."
Fabian terkejut. "Scarla? Jadi kamu pergi dengan Scarla?"
Fabio mengangguk. Fabian kembali melontarkan pertanyaan. "Ada hubungan apa sebenarnya kamu sama Scarla? Jujur kedekatan yang terjalin di antara kamu dengan Scarla sempat menjadikan tanda tanya besar dalam benak ini. Kupikir setelah kamu pindah dan tinggal di luar kota sudah tak lagi menjalin hubungan dengan gadis itu. Rupanya aku salah. Kamu masih dekat dengannya."
"Maafkan aku, Kak."
"Untuk apa kamu meminta maaf. Apa kamu berbuat salah?"
"Ya, karena aku tadi membawa pergi Scarla."
"Hanya membawa pergi saja? Tidak melakukan perbuatan yang tercela, kan?"
"Tentu saja tidak. Aku masih tahu diri dan tahu batasan. Juga masih sadar siapa Scarla."
"Baguslah. Tapi jika memang kamu dan Scarla ada hubungan ... aku tidak keberatan, Bio. Yah, meski pun aneh saja rasanya karena jarak usiamu dengannya sangat jauh sekali."
"Kakak ini bicara apa. Aku dan Scarla tidak sejauh itu berhubungan. Kami hanya sekedar berteman dan merasa saling nyaman. Itu saja. Lagipula aku masih waras jika lebih cocok jadi pamannya Scarla daripada menjadi pasangannya. Aku bukan pedhopil yang sukanya menjalin hubungan dengan anak kecil."
"Jangan berkata begitu. Nanti kamu kemakan omongan sendiri. Ya, sudah sana istirahat. Aku juga mau tidur."
"Atta sudah tidur, kak?"
"Sudah. Tadi dia sempat menangis mencarimu."
"Duh, aku jadi merasa bersalah padanya."
"Tak apa. Masih ada hari esok untuk kalian bersama. Ya, sudah. Aku ke kamar duluan."
Fabio mengangguk dan membiarkan sang kakak meninggalkannya.