Fabio memutar badan hingga keduanya saling berhadapan. Scarla memberikannya senyuman yang sangat lebar.
"Hai, Uncle!" tanpa rasa bersalah gadis itu melambaikan tangannya membuat Fabio berdecak kesal.
"Kukira kau tadi tak ada di sini," ucap Fabio tanpa memutus tatapan pada gadis itu.
"Mana mungkin. Papi bisa menggorokku jika sampai aku tak ikut acara penting mereka."
"Kenapa kau pergi begitu saja waktu itu. Sangat tidak sopan pergi tanpa pamit. Padahal aku sudah berjanji akan mengantarmu pulang." Fabio justru membahas mengenai kepergian gadis itu dari apartemennya beberapa hari lalu.
Scarla meringis sembari menundukkan kepala. "Maaf. Aku hanya tak ingin merepotkan Uncle."
"Tapi karena kamu pergi begitu saja, aku jadi khawatir padamu."
Mata Scarla mengerjab-ngerjab. "Benarkah Uncle khawatir padaku?"
Fabio membuka mulutnya untuk meralat. Sungguh, ia keceplosan bicara seperti itu. Lihat saja bagaimana Scarla yang berbinar dan Fabio yakin sekali jika gadis itu langsung berpikir yang bukan-bukan. Menghadapi gadis labil memang tak semudah yang Fabio bayangkan. Salah ngomong, langsung diartikan yang bukan-bukan.
"Tentu saja aku khawatir. Karena kamu kabur dari apartemenku. Bagaimana aku akan mempertanggungjawabkan pada mama jika sampai terjadi sesuatu padamu. Pasti dikira aku telah mengusirmu."
Scarla berdecak lalu mengerucutkan bibirnya. "Kenyatannya Uncle memang mengusirku, kan?"
"Terpaksa, Scarla. Mamaku akan murka jika tahu kamu masih tinggal bersamaku. Lagipula kamu dan aku ini bukan siapa-siapa. Hanya dua orang lawan jenis yang tanpa ikatan hubungan apa-apa. Oleh sebab itulah tak etis jika ada yang tahu jika kamu tinggal bersamaku. Yah, meski kamu mengatakan hanya menumpang. Tetap saja namanya tinggal bersama."
"Uncle ini kenapa malah ceramah segala. Kupingku sudah panas karena sejak tadi mendengar orang berceramah."
Fabio menyentil kening Scarla. "Dasar tidak sopan. Seharusnya kamu ini sering-sering mendengar tausiyah dari Pak Ustad. Agar tak lagi hidup semau dan sesuka hatimu. Apalagi kamu ini anak perempuan yang sangat rawan berada di luaran tanpa pengawasan."
Scarla yang mengusap keningnya bekas sentilan Fabio malah cengengesan tidak jelas. "Uncle! Terima kasih karena Uncle begitu perhatian padaku."
Fabio mendesah frustasi. Lagi-lagi Scarla salah mengartikan nasihatnya. "Terserah kau saja. Aku mau masuk lagi ke dalam."
Fabio baru saja melangkah tapi lengannya sudah dicekal oleh Scarla. "Bawa aku jalan-jalan, Uncle. Aku bosan di dalam sana. Aku juga tahu jika sebenarnya Uncle tak tertarik mengikuti jalannya acara pesta itu. Iya, kan?"
"Ini bukan acara pesta. Tapi acara tasyakuran dan doa bersama."
"Sama saja. Ujung-ujungnya juga lebih mengarah pada pesta. Lihat saja tamu undangan yang datang. Hampir semua dari kalangan artis dan sosialita. Apa ketika mamiku hamil aku dulu, papi juga mengadakan acara yang sama. Ah, aku rasa tidak karena semua ini pasti ulah Mami Vero," ocehan Scarla terdengar oleh Fabio. Mendadak raut wajah sedih Scarla tunjukkan.
Fabio berpikir, sebenarnya seburuk apakah hubungan Scarla dengan Veronica?
Karena tidak tega juga, maka Fabio pun menarik lengan Scarla menjauh dari rumah menuju depan di mana banyak sekali mobil-mobil para tamu yang diparkirkan.
"Uncle! Kenapa tarik-tarik tanganku!"
"Katanya mau jalan-jalan. Ayo!"
Wajah Scarla mendadak berbinar mendengar Fabio akan membawanya pergi jalan-jalan. Dengan semangat empat lima gadis itu pun mengikuti saja ke mana Fabio akan membawanya.
Untung saja tadi Fabio membawa mobil sendiri yang dinaiki bersama Atta. Sementara Fabian juga membawa mobil sendiri yang dinaiki Aruna beserta kedua orang tuanya.
Fokus pada Scarla sampai Fabio melupakan keberadaan keluarganya yang masih menikmati kelangsungan acara tasyakuran kehamilan Veronica.
Fabio menjalankan mobil tak tentu arah. Hari mulai beranjak malam. Hampir mendekati pukul sembilan.
"Kita mau ke mana?" tanya Fabio menolehkan kepalanya pada gadis yang duduk di sampingnya.
"Eum ... ke taman saja. Aku ingin sekali makan jagung bakar. Rasanya sudah cukup lama aku tidak nongkrong di sana."
Deg
Jantung Fabio berpacu cepat demi mengingat kejadian beberapa tahun silam. Gara-gara jagung bakar, dia pernah mencium Scarla. Sial! Fabio mengumpat dalam hati. Kenapa mendadak hatinya ketar ketir begini. Scarla hanyalah gadis belia yang haus akan kasih sayang. Bukan wanita dewasa yang layak untuk dia dekati.
"Sebenarnya kenapa kamu selalu saja pergi dari rumah. Apakah Vero memperlakukanmu dengan buruk selama ini?" Karena penasaran Fabio bertanya.
Namun, Scarla malah menggelengkan kepalanya. "Tidak. Sebenarnya Mami Vero tidak jahat. Hanya saja ... aku tidak suka dengan gaya hidupnya. Selama menikah dengan papi, dia sama sekali kurang memperhatikanku yang notabene adalah anak tirinya. Aku sendiri sebenarnya tidak memiliki keinginan yang muluk-muluk. Sebatas ditanyakan kabar saja atau bagaimana kuliahku ... itu saja sudah membuatku senang. Tapi nyatanya ... Mami Vero sama sekali tidak peduli. Yang dia pedulian hanyalah dirinya sendiri. Tidak pernah memperhatikan makan minumku. Apalagi mengenai kebutuhan pribadiku. Papi pun sama. Mereka kira dengan memberikanku uang yang banyak maka aku bisa membeli apapun yang aku mau dan dapat memenuhi semua keinginanku. Tapi aku ini manusia. Hanya gadis biasa yang tidak akan puas diberikan uang seberapa pun banyaknya. Tentu Uncle paham maksudku. Aku ingin dimanja oleh sosok mami dan Papi seperti teman-temanku. Tapi yang ada justru papi dan mami selalu sibuk sendiri. Jadi jangan salahkan aku jika aku harus mencari kebahagiaan di luar rumah dengan caraku sendiri."
Banyak sekali uneg-uneg yang telah Scarla keluarkan sehingga sedikit membuatnya merasa lega. Setidaknya apa yang ia inginkan telah tersampaikan meski hanya pada seorang Fabio. Sosok lelaki yang bagi Scarla adalah orang yang tepat untuk mengetahui isi hatinya.
Fabio sendiri tak tahu harus berkata apa. Karena dia tak akan pernah tahu apa yang dilakukan Vero dan Rejendra pada Scarla selama ini. Sebenarnya apa yang mereka lakukan sampai melupakan keberadaan sosok putrinya yang malang.
"Kamu harus sabar Scarla, karena jalan kehidupan setiap manusia itu memang berbeda-beda. Tapi jika aku pikir-pikir lagi, kamu dan aku ada sedikit kemiripan. Papa dan mamaku juga sama-sama orang sibuk. terlebih papa. Beliau adalah salah satu orang tua pemaksa yang ingin anak-anaknya meraih kesuksesan yang sama dengan beliau. Tergantung kita menyikapinya seperti apa. Jangan sampai kamu merugikan dirimu sendiri hanya untuk mencari perhatian mereka. Jika orang tuamu tak akan pernah bisa memberikan perhatian, kamu cari orang lain saja yang dengan senang hati mau memperhatikanmu."
Scarla mencebik. "Tapi Uncle masih ada Tante Daisy. Meski galak tapi beliau sangat perhatian pada anak cucunya. Ingin rasanya aku diangkat anak atau diangkat cucu oleh beliau agar bisa mendapat perhatian yang kuidam-idamkan selama ini. Sayanganya Tante Daisy pasti sudah memberikan level gadis nakal padaku sebab tahu aku menginap di apartemen Uncle waktu itu."
"Itulah kejelekanmu, Scarla. Kamu suka sekali berpikir bahwa orang lain tidak menyukaimu atau menganggap kamu buruk. Padahal kenyataannya tidak seperti itu."
"Tapi rasanya aku sudah tidak ada lagi muka di hadapan Tante Daisy. Malu sekali."
"Mama itu perhatian padamu. Tidak ingin terjadi sesuatu padamu. Oleh sebab itulah kenapa mama meminta padaku agar memulangkanmu. Agar orangtuamu tidak khawatir dan berpikir yang macam-macam."
"Entahlah. Aku malas membahas papi dan mami Vero," ucap Scarla membungkam juga mulut Fabio.
Mereka benar-benar mendatangi sebuah taman bermain. Ini adalah weekend dan seperti biasa taman bermain akan sangat ramai pengunjung. Fabio menepikan mobilnya tak jauh dari penjual jagung bakar.
Scarla sudah kegirangan sekali karena sudah tak sabar untuk membeli makanan yang diinginkannya.
"Uncle!" Panggil Scarla begitu Fabio mematikan mesin mobilnya.
"Ya?"
"Uncle ingat tidak. Di taman ini, Uncle pernah mencuri ciuman pertamaku?"
Glek. Sial! Untuk apa Scarla harus mengingatkan hal itu lagi sih. Dia saja sudah berhasil melupakan meski terkadang tak sengaja mengingatnya. Mencium gadis yang kala itu usianya belum genap lima belas tahun sembari memakan jagung bakar.