PS.7

1034 Words
Senja mencoba melamar pekerjaan, meskipun tak akan ada yang mungkin memberinya pekerjaan ketika umurnya sudah sangat matan dan seorang janda, bahkan ia hanya tamatan sekolah menengah atas, sedangkan yang dicari perusahaan besar adalah yang lulus dari universitas ternama dengan titel yang sesui. Sungguh tidak masuk akal. Tapi, tak ada salahnya untuk mencoba meski akan terus saja gagal. Seorang lelaki duduk bersebelahan dengan Senja, membuat lelaki itu menoleh sesaat melihat kebingungan yang ada diwajah perempuan yang duduk disampingnya itu. Lelaki itu bernama Aslan Dermawan. Ia sedang menunggu mobilnya diperbaiki dan harus berakhir di halte ini dengan panas yang menyengat. Senja menangis, menitikkan air mata membuat Aslan bergidik dan bergeser sedikit, ia tak mau sampai ada yang melihatnya dan mengira ia yang membuat Senja menangis. Aslan menunduk dan melihat lamaran kerja yang kini digenggam Senja. Surat lamaran yang sedikit basah karena air mata perempuan itu. Aslan menghela napas. “Ish. Ini bukan urusanku,” gumam Aslan. “Tapi perempuan ini kasihan juga.” Aslan lalu kembali menggeser duduknya, agar lebih dekat dengan Senja. “Kamu nyari kerjaan?” tanya Aslan, membuat Senja menyeka air matanya dan menoleh menatap lelaki tampan bak malaikat disampingnya. Biasanya Aslan tak pernah perduli, namun entah mengapa kepada Senja ia jadi lebih perhatian. “Kamu tahu darimana?” tanya Senja. Aslan menggaruk tengkuknya. “Saya melihat lamaran yang kamu genggam itu.” “Oh. Maaf,” jawab Senja, menundukkan kepala, dan menyembunyikan lamaran kerjanya. “Tidak usah di sembunyikan, saya sudah melihatnya jelas.” “Saya minta maaf,” jawab Senja lagi. “Kenapa minta maaf pada saya? Saya yang salah karena harus bertanya meski ini bukan urusan saya.” “Begitu lah saya. Saya selalu melakukan kesalahan dan saya selalu tidak bisa menyembunyikan perasaan sedih,” lirih Senja, menyeka air matanya. “Kenapa kamu menangis? Apa tidak ada yang menerimamu bekerja?” Senja menganggukkan kepala. “Tak mungkin ada yang menerima saya bekerja, jika saya memaksakan diri, saya malah hanya akan malu.” “Kenapa?” “Saya seorang janda dan saya hanya tamatan SMA. Dulu sempat kuliah, namun saya berhenti karena suami saya yang menyuruh. Dan, sekarang saya menyesal kenapa saya mendengarkan katanya.” Aslan mulai paham sekarang, namun tak mungkin saja jika ia harus ikut campur. “Janda dan seorang tamatan SMA bukan aib, jadi kamu bisa mendaftarkan diri di perusahaan ini,” kata Aslan, memberikan kartu nama Randi—temannya—yang kini bekerja di perusahaan besar. Ia tak mungkin memberikan kartu namanya. Senja menerima kartu nama tersebut. “Perusahaan ini ‘kan besar, mana mungkin saya diterima bekerja di sini, ini bahkan perusahaan yang lebih besar dan perusahaan terbaik. Saya malu mendaftarkan diri di perusahaan ini, mending tidak usah,” kata Senja menyodorkan kembali kartu nama yang diberikan Aslan. Aslan tersenyum mendengarkan. “Kamu coba saja, mereka membutuhkan staf.” “Kamu tahu darimana?” “Oh ini? Hem … ini, ini dari … temannya teman saya, mereka menyuruhku mencari pekerja.” “Tapi ini—“ “Kamu tidak akan tahu jika tidak mencoba, saya hanya bisa memberikan kartu nama itu, dan semoga itu membantumu.” “Apakah benar mereka membutuhkan staf?” “Iya, benar. Kamu hanya harus ke sana dan menghubungi nomor ini.” “Baiklah. Saya akan mencobanya, dan terima kasih,” ucap Senja. “Tapi—“ “Tapi apa?” “Kamu siapa? Dilihat dari pakaianmu, kayaknya mahal, dan kamu duduk di sini menunggu apa?” tanya Senja. “Saya … menunggu angkot,” jawab Aslan menggaruk tengkuknya. “Tapi kamu bekerja?” “Iya,” jawab Aslan, ia sengaja berbohong, ia tak mungkin mengatakan mobil yang ada disebelah halte ini adalah mobilnya, menurut Aslan itu tidak penting. “Baiklah. Tapi, pakaianmu mahal kelihatannya,” kata Senja, rasa penasarannya membuat hatinya ingin tahu. “Ini hanya pakaian dari pasar baru,” jawab Aslan. “Baiklah. Kalau begitu saya permisi,” kata Senja. “Tapi nama kamu siapa?” “Saya? Saya … Aslan,” jawab Aslan. “Saya … Senja Mayang, biasa di panggil Senja,” sambung Senja. “Salam kenal, ya.” Senja menyodorkan tangannya di sambut balik oleh Aslan. “Kalau begitu saya permisi, saya akan ke kantor ini,” kata Senja. “Sekarang?” tanya Aslan, ia belum memberitahu Randi tentang ini, jadi itu terlalu cepat. “Memangnya kenapa?” “Oh tidak apa-apa, saya hanya senang melihat semangatmu.” “Sekarang ‘kan baru jam 2, jadi saya akan ke sana sekarang.” “Oh baiklah.” “Saya permisi, ya,” kata Senja. “Kamu tidak mau bareng dengan saya?” “Tidak perlu. Saya akan menunggu angkot di sini,” jawab Aslan. “Baiklah. Terima kasih sudah memberikanku ini.” Aslan menganggukkan kepala, ketika melihat Senja naik ke taksi. Sepeninggalan Senja, Aslan menggaruk tengkuknya dan memukul kepalanya pelan. Jika ia menyusul Senja sekarang, ia tidak mungkin bisa mengejar. “Pak, apa mobil saya sudah selesai?” tanya Aslan pada pria yang kini sedang memperbaiki mobilnya. “Belum, Pak,” jawab lelaki itu. “Sekitar berapa menit saya menunggu?” tanya Aslan. “Bukan menit, Pak, tapi sekitar empat jam lagi,” jawab lelaki itu. “Wah.” Aslan menggelengkan kepalanya, dan mengambil ponselnya, ia akan menjelaskan pada Randi via telpon dan semoga saja temannya itu mau mengerti. “Angkat, Randi,” gumam Aslan. Randi melihat nama Aslan kini di layar ponselnya, Randi menggelengkan kepala dan mengangkatnya. “Ada apa? Kenapa nggak ke ruangan gua aja?” “Ran, dengerin gua,” kata Aslan. “Eh lo kenapa? Kenapa kedengerannya lo gelisah?” “Makanya dengerin gua dulu, lo harus denger dan jangan memotong perkataan gua.” “Baiklah. Lanjutkan,” kata Aslan “Gini … gua tadi ketemu sama seorang gadis, dan gua nawarin kerjaan buat dia.” “Lalu? Apa masalahnya?” “Gadis itu nyari kerjaan, namun nggak ada perusahaan yang mau nerima dia karena dia hanya lulusan SMA,” jawab Aslan. “Tentu saja. Kita juga membutuhkan sarjana untuk bekerja di perusahaan.” “Dan, gua nawarin dia, Ran, gua nawarin dia kerjaan karena kasihan, tapi masalahnya itu gua ngasih kartu nama lo, dan yang pasti dia bakal nemuin lo sekarang.” “Apa? Gila lo, kenapa lo ngasih kartu nama gua? Lo ‘kan bisa ngasih kartu nama HRD.” “Ya gua nggak kepikiran itu, yang penting hanya kartu nama lo yang gua punya.” “Wah. Itu ‘kan bukan kerjaan gua, Lan,” keluh Randi. “Meski itu bukan tugas lo, namun lo nolongin gua aja udah. Lo nyari kerjaan buat dia, jadi staf apalah yang penting staf.” “Gua nggak bisa lah jawab kayak gitu, gua ‘kan nggak tahu kerjaan itu.” “Gua tahu, Ran, tapi gua nggak punya waktu ngejelasin, karena gadis itu lagi didalam perjalanan menuju ke kantor.” “Tumben lo perduli, gimana sih lo.” “Udah deh, jelesinnya nanti aja.” “Ya udah. Gua nggak bisa lah jawab, tapi gua akan telpon bagian HRD buat nanya kursi kosong, tapi gua nggak yakin dia bakal diterima, kan dia hanya lulusan SMA, sedangkan kita membutuhkan yang lebih berpengalaman dibidangnya.” “Ya ampun, Ran, lulusan SMA juga bisa kok, udah deh, nggak usah ngebantah, yang penting lakuin aja yang gua suruh, dan lo bilang ke bagian HRD itu temen apa keluarga lo, gitu aja.” “Ya ampun. Lo ngutang penjelasan ke gua. Terus lo dimana?” “Gua lagi dibengkel, mobil gua mogok.” “Ya ampun, kalau mogok, lo ganti lah, kan lo banyak koleksi.” “Males ah, gua ngerasa ini lebih gampang.” “Ya udah. Kayaknya gadis yang lo maksud udah datang.” “Oke oke.” Aslan menghela napas, akhirnya Randi mau mengerti meski harus menjelaskan sedetail mungkin.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD