“Pak, ada seorang perempuan didepan, katanya mau bertemu Bapak,” kata Dian—sekretarisnya.
“Baiklah. Suruh dia masuk.”
“Tapi, Pak, dia belum ada janji.”
“Udah suruh masuk saja.”
“Baik, Pak,” jawab Dian, lalu melangkah keluar ruangan atasannya dan memanggil Senja.
Sesaat kemudian, Senja masuk ke ruangan Randi dan melihat pria tampan kini duduk dibelakang meja kerja yang besar. Terlihat papan nama, bahwa Randi adalah direktur utama di perusahan ini, dan bisakah ia lolos? Naumun ia terus semangat mendengar kata Aslan, bahwa ia harus yakin dan mencobanya.
“Silahkan duduk.”
Senja duduk didepan meja kerja Randi dengan perasaan yang gugup.
“Sini CV kamu,” kata Randi, menyodorkan tangannya.
“Tapi, Pak, Anda tahu darimana kalau saya mau melamar kerjaan?”
Randi menggaruk tengkuknya.
“Aku tahu karena kamu membawa surat lamaran yang sudah kusut dan aku tahu bahwa beberapa hari ini aku mencari staf. Jadi, apalagi yang mau kamu tanyakan?”
“Tidak, Pak, Alhamdulillah.”
“Baik sinikan CV kamu,” kata Randi.
Senja memberikan CV miliknya, dan menundukkan kepala ketika Randi sedang membacanya, Randi menggeleng ketika melihat CV milik Senja yang tidak bisa di banggakan, bahkan tak ada pengalaman sama sekali.
Senja begitu gugup.
“Baiklah. Saya sudah membaca CV milikmu dan saya sudah menentukan bahwa kamu bisa diterima bekerja,” kata Randi, terpaksa, karena ini suruhan dan perintah Aslan.
“Benarkah? Saya diterima bekerja?”
“Iya. Kamu bisa datang besok untuk mengetahui kursi mana yang akan kamu isi,” jawab Randi.
Senja beranjak dari duduknya dan membungkukkan badannya beberapa kali menghormati Randi.
“Terima kasih. Terima kasih, Pak, terima kasih atas kesempatan yang diberi kepada saya.”
“Baiklah. Kamu bisa pergi.”
“Baik, Pak, terima kasih atas kesempatannya,” kata Senja, membuat Randi tersenyum melihatnya, baru kali ini ia melihat gadis yang begitu lucu seperti Senja.
Senja keluar dari ruangan Randi dan berjalan sempoyongan karena bahagia. Randi menggeleng dengan senyum yang mengambang diwajahnya. Terlihat tampan dan menarik, Senja sangat bahagia, ia tidak menyangka bisa diterima bekerja di sini, ia harus berterima kasih pada Aslan, namun Senja lupa ia tidak bertukar nomor telpon.
Ya allah terima kasih atas kesempatan yang kau berikan, batin Senja.
“Sampai ketemu besok, Mbak,” ucap Senja pada Dian—sekretaris Randi.
Perempuan itu menautkan alis terherna-heran.
***
Senja pulang dengan wajah sumringah, seharian ini ia mencari pekerjaan, bertemu dengan lelaki misterius, dan ia langsung ke perusahaan dan perusahaan itu menerimanya bekerja tanpa melihat CV miliknya yang tidak memiliki kualitas, namun Senja yakin ia bisa, karena Senja pernah kuliah dan menjadi siswi pintar di sekolah.
"Ada apa, Nak? Kenapa kamu tersenyum seperti itu? Apa ada berita baik?" tanya sang Ayah, yang sedang bermain dengan Azel.
Senja tersenyum mendengar pertanyaan ayahnya.
“Senja bertemu dengan seseorang misterius, Yah, dia memberikan kartu nama dimana di perusahaan itu ada lowongan, dan Senja keterima bekerja,” jawab Senja, dengan wajah bahagia.
“Alhamdulillah. Kamu dapat kerjaan?”
“Iya, Yah, alhamdulillah,” jawab Senja.
“Syukurlah. Akhirnya kamu bisa kerja dan membuktikan dirimu.”
“Iya, Yah,” jawab Senja menganggukkan kepala.
“Azel senang lihat Mama ketawa, nggak nangis lagi,” ucap Azel, membuat Senja menunduk dan menatap wajah putranya.
"Azel, sini, Sayang," panggil Senja, membuat Azel berlari kepelukan sang Mama.
"Mama!"
"Iya, Sayang, Mama sudah pulang, sekarang Azel biarin Opa istirahat ya dan lanjut main sama Mama," kata Senja duduk berjongkok agar sejajar dengan putranya.
"Ayah tidak lelah, Nak. Ayah sangat senang bermain dengan Azel," jawab Wahid.
"Tapi, Yah, seharian Ayah sudah jagain Azel."
"Ayah malah senang menghabiskan waktu seharian bersama Azel. Selama ini, Azel jauh dari Ayah, bahkan jarang bertemu, sekarang Ayah senang Azel di sini dan menemani Ayah dan bundamu," kata Wahid.
“Itu semua karena Senja jarang menjenguk Ayah dan Bunda,” lirih Senja.
“Jadi, biarkan Azel tetap sama Ayah dan Ayah yang akan ngajakin Azel main.”
Senja mengangguk. "Baiklah. Azel main sama Opa lagi ya, Mama mau mandi," kata Senja.
“Iya, Mama,” jawab Azel.
"Kenapa tidak melaniutkan kuliahmu, Nak? Kan sayang banget kalau kamu nggak lanjutin," tanya Wahid.
“Nggak usah, Yah, Senja kerja saja, lagian Senja sudah punya masa depan, masa depan Senja adalah Azel, jadi semua itu sudah tidak perlu,” jawab Senja.
“Tapi, Nak, apa kamu akan baik-baik saja bekerja tanpa kuliah seperti itu? Bagaimana jika rekanmu malah membullymu lagi?”
"Insha Allah nggak, Yah. Ayah sudah pensiun, jadi Senja tidak perlu kuliah. Lagian sekarang ini, Senja hanya memikirkan bagaimana menafkahi dan membahagiakan Azel."
"Ayah masih menerima uang pensiun kok, jadi bisa buat kamu dan Azel."
"Buat kebutuhan Ayah sama Bunda saja."
"Apa kamu pikir, menjadi seorang janda itu mudah? Sangat sulit, Nak."
Senja mendengkus, bukan tak suka dengan saran sang Ayah, hanya saja umurnya setua ini tidak memikirkan bagaimana kuliah, yang ia pikirkan hanya lah masa depan Azel dan kebahagiaan Azel, agar Azel selalu merasa kebutuhannya tercukupi lahir dan batin.
“Benar kata ayahmu, Nak, kamu harus melanjutkan kuliah karena kamu kerja di perusahaan besar,” kata Ratih, menimpali.
“Nggak usah, Bunda, Senja kerja saja,” jawab Senja tetap keukeuh.
“Tapi nanti kamu harus kuliah jika merasa pekerjaanmu jadi sulit.”
Senja menganggukkan kepala. “Baiklah, Bun, Yah, Senja masuk ke kamar dulu.”
Senja masuk ke kamarnya, menyimpan tas selempangnya di atas nakas. Ia menghela napas karena akhirnya ia tidak lagi tidur bersama suaminya, akhirnya ia benar-benar sendirian.
***
Hadi masuk ke rumahnya, melihat sang Ibu sedang membereskan mainan Azel, Hadi menitikkan air mata, ketika melihat sang Ibu yang juga merindukan cucunya, tapi tak ada yang bisa Hadi lakukan, selain merelakan hak asuh Azel jatuh ke tangan Senja. Karena ia tahu, putranya membutuhkan sosok seorang Ibu.
Hadi menghela napas, terasa sepi sekali ketika Azel dan Senja meninggalkan rumah dan pergi tanpa berbalik.
Hadi menginginkan ini, jadi ia harus bahagia. Bukankah semua ini demi kebebasan yang ia rindukan? Tidak lagi terbebani dengan kemarahan Senja.
"Kamu sudah pulang?" tanya Rita—sang Ibu.
Rita melihat Hadi tengah menundukkan kepala.
"Ibu ngapain membereskan mainan Azel?" tanya Hadi, melempar tas kerjanya di atas sofa.
"Tadi, Ibu tidak sengaja menendangnya dan alhasil membuat semuanya berhamburan ke sana kemari. Kenapa kamu tidak membawakan Azel semua mainan ini? Azel pasti membutuhkannya."
"Rumah Kia ‘kan sempit, Bu, lagian Senja nggak akan mau menerima semua mainan ini," jawab Hadi, menghempaskan tubuhnya di atas sofa.
"Apa kamu nyaman seperti ini? Hidup sendiri?" tanya sang Ibu.
"Mau bagaimana lagi, Bu? Aku sudah bercerai juga," jawab Raidan, cuek.
"Kamu tidak merindukan Azel?"
"Tak ada seorang Ayah yang tidak merindukan anaknya, Bu, meskipun aku berpura-pura kuat, tapi aku juga merindukan Azel, sangat merindukannya, tapi Insha Allah, aku akan menjemputnya pekan nanti."
"Ibu merindukan Azel, besok Ibu harus menjenguknya."
Hadi menganggukkan kepala.
“Ibu tidak menyangka kamu bercerai, padahal Senja selama ini mengikuti semua hal yang kamu katakan meski Ibu tahu bahwa dia juga tidak selalu ingin menurutimu,” lirih Rita, membuat Hadi menoleh menatap ibunya yang kini sedang melap meja.
Hadi menghela napas.
“Ibu tahu kamu merasa lelah, merasa terbebani dan merasa tak kuat menahan emosi, namun kamu harus menyadari bahwa semua itu karena ujian pernikahan, tidak semua hal bisa berjalan sesuai keinginanmu, dan menurut Ibu, Senja adalah wanita yang baik, penurut dan bisa mengimbangi sikapmu, jika dia marah, dia pasti merasa tak ada yang memahami keadaannya, bahkan ingin mengeluh, namun tak bisa.”
“Bu, semua sudah terjadi, mungkin Allah sudah memberi takdir ini.”
“Tapi, Nak, apakah kamu benar-benar rela?”
“Aku rela, Bu, bahkan lebih rela dari sebelumnya, Senja dan Azel akan baik-baik saja meski tanpaku,” jawab Hadi.
“Kamu memang sejak dulu egois, Nak, entah perempuan mana lagi yang akan kamu nikahi dan kamu perlakukan seperti Senja yang sudah memberikan dan mengorbankan segalanya untuk kamu,” kata Rita.
“Ibu belain siapa memangnya? Anak Ibu siapa? Aku atau Senja?”
“Ya sudah. Memang sejak awal kamu tak akan bisa mengerti,” gumam Rita, menggelengkan kepala. "Ibu sudah menyiapkan makan malam, kamu mandi dan langsung makan malam," tutur Rita, sang Ibu.
“Aku mandi dulu, Bu,” jawab Hadi, lalu melangkah menuju kamarnya.
“Kapan kau akan mengerti, Nak, bahwa jadi perempuan itu tak gampang,” gumam Rita.
Semenjak Hadi memutuskan bercerai dengan Senja, sang Ibu memilih untuk sementara tinggal bersamanya dan mengurus kebutuhannya. Mengingat jika Hadi selama ini selalu di urus oleh Senja.
Beberapa menit kemudian, setelah mandi dan mengganti pakaiannnya, Hadi berjalan menuju dapur, melihat makanan yang sudah di siapkan sang Ibu untuknya.
Hadi duduk dan melihat ceker ayam, membuatnya jadi membayangkan Senja.
.
Flashback ON.
6 tahun yang lalu.
"Aku masak ceker ayam kesukaan kamu, Mas," kata Senja dengan senyum indahnya. Wajahnya bak malaikat.
"Istriku memang yang terbaik, sepertinya kamu banyak belajar memasak ceker ayam ini," jawab Hadi, menikmatinya.
"Demi lidah suamiku, aku akan menyuguhkan setiap makanan kesukaan kamu,” jawab Senja.
"Dan, aku akan selalu merindukan masakanmu jika aku di luar. Tak ada masakan seenak ini di luar sana, Sayang," sambung Hadi, membuat Senja tersenyum, Hadi menggenggam tangan istrinya, menciuminya, merasa bahwa dunia hanya milik mereka berdua.
Flashback OFF.
"Ada apa, Nak? Kenapa tidak makan? Bukannya kamu suka ceker ayam?" tanya sang Ibu.
"Suka, Bu, tapi aku minta untuk tidak membuat ceker ayam lagi."
"Memangnya kenapa? Ini makanan favoritmu loh. Dulu waktu kamu sekolah, kamu selalu mogok makan jika Ibu tidak masak ceker ayam."
"Karena, setiap melihat makanan ini, aku selalu saja mengingat tentang Senja, Bu. Aku sudah berjanji untuk melanjutkan hidupku, jadi jangan melakukan sesuatu yang membuatku mengingat Kia, Bu, tolong," pintah Hadi.
"Itu artinya kamu masih mencintai Senja, Nak," kata Rita, sambil menyendokkan nasi untuk putranya.
Hadi berusaha tidak menanggapi perkataan sang Ibu, karena ibunya memang menginginkannya bisa rujuk dengan Senja. Sedangkan ia sudah tidak mau mengingat bahkan tak ingin berurusan dengan Senja lagi.