PS.6

1027 Words
Senja kini tinggal di rumah orang tuanya, Wahid dan Ratih adalah kedua orang tuanya yang hidup akan kesederhanaan, tapi mampu membuatnya kuliah sewaktu itu, hanya saja cinta sesaat membuat mimpi orang tuanya terkubur rapi, ia memilih menikah dengan Hadi di usia muda karena terbuai dengan janji manis seorang pria yang sederhana seperti Hadi. Andai saja bisa mengulang waktu, Senja tidak akan pernah menerima Hadi dan mengubur impiannya. Senja meninggalkan masa mudanya dengan menikah dan tidak lagi mengejar cita-cita seperti yang ia inginkan, namun sebagai orangtua Wahid dan Ratih menerima semua keputusan dan keinginan putri semata wayang mereka. Sungguh yang terbaik dari orangtua adalah dukungan mereka. "Awalnya aku akan menangis, tapi lama-kelamaan aku pasti akan terbiasa," gumam Senja, menyeka air matanya. Genggaman tangan hangat yang menyerupai malaikat tersebut, membuat Senja berbalik. Sang Ibu yang merupakan guru SMA adalah wanita yang telah melahirkannya ke dunia. Menyekolahkannya sampai ke jenjang sekolah menengah atas, ia kuliah selama setahun dan memutuskan menikah dengan Hadi, pria yang sangat ia cintai. Sebagai orang tua, Senja mendapatkan restu kedua orang tuanyaeskipun usianya begitu muda. "Bunda? Azel mana, Bun?" tanya Senja, menyeka air matanya. "Azel sama ayahmu, Nak, kamu tidak apa-apa?" "Jika Senja mengatakan baik-baik saja, itu sudah pasti bohong, Bun." "Sabar ya, Nak. Mintalah kekuatan dan kemudahan kepada Allah, agar kamu bisa melanjutkan hidupmu," kata sang Bunda, membelai rambutnya. "Maafkan Senja, Bunda." Senja lagi-lagi menitikkan air mata. "Maaf, untuk apa, Nak?" "Jika saja Senja tidak bersikeras menikah, Senja pasti sudah akan menjadi kebanggaan Bunda sama Ayah." Senja menitikkan air mata, ia tak kuasa menahannya. “Namun apa daya Senja, Bun, semua sudah menjadi takdir.” "Semua sudah takdir Allah, Nak, sebagai manusia, apa yang bisa kita lakukan selain berpasrah? Bunda hanya minta sama kamu untuk melanjutkan hidupmu demi Azel. Jangan terus bersedih, pernikahan memang akan berakhir jika Allah menentukan itu, ada yang berpisah karena maut, ada yang berpisah karena tak cocok dan lainnya.” Senja menganggukkan kepala, ketika melihat berkas perceraiannya di atas nakas, itu lah yang ia tangisi sejak semalam, Hadi sudah menandatanganinya dan cukup membuktikan bahwa Hadi tak mempertahankannya. ‘Bagaimana aku bisa melanjutkan hidupku? Bagaimana caranya? Aku sudah terlanjur jatuh dan tidak tahu harus membangkitkan diri dengan cara apa,’ batin Senja. “Nak, Allah sudah memberikan takdir kepada semua umatnya, bahkan sejak manusia lahir kedunia, Allah sudah tahu lebih dulu apa yang akan terjadi pada umatnya,” kata Ratih, membuat Senja mengangguk. “Bun, apakah Kia bisa menjadi seorang Janda?” tanya Senja, ragu. “Nak, jadi janda memang tak muda, tak semua orang ingin menjadi janda, namun takdir Allah terus ada disekeliling kita, jadi jalani saja semuanya, jalani apa yang ada saat ini, Bunda tidak akan pernah memaksamu untuk suka jika kamu tak suka, bunda tak akan memaksamu tidak suka meski kamu suka, semua keputusan ada didalam hatimu,” jawab Ratih. *** Semenjak Senja kembali ke rumah orangtuanya, Senja tidak pernah keluar rumah, ia malu sekali jika harus bertemu dengan tetangga-tetangga orangtuanya, yang selalu menyinyir dengan kehidupan orang lain. Senja duduk diteras rumahnya, dan melihat Azel yang sedang bermain dengan ayahnya diteras, Azel memang anak yang baik dan anak yang pengertian, setelah Senja mengatakan agar Azel tak mengeluh, akhirnya Azel tak pernah lagi mengeluh atau pun bertanya. Wahid pun terlihat senang cucunya akhirnya ada di rumahnya, sedangkan selama ini mereka akan kontekkan hanya lewat VC dan telpon. Akhirnya rumahnya kembali ramai. Sesaat kemudian, Jihan mengucap salam. “Assalamu’alaikum,” ucap Jihan, membuat Senja menoleh dan melihat Jihan. “Wa’alaikumssalam,” jawab Senja dan ayahnya secara bersamaan. “Nak Jihan silahkan masuk,” kata Wahid. “iya, Ayah,” jawab Jihan lalu menghampiri Senja. “Hai, Zel, apa kabar?” “Azel baik, Tante,” jawab Azel. “Wah Azel udah gede, ya,” kata Jihan. “Kalau begitu Nak Jihan duduk dulu, biar Ayah dan Azel main didalam sekalian beritahu Bunda kalau ada tamu,” kata Wahid. “Ayo, Nak, kita main didalam, ya.” “Iya, Opa,” jawab Azel. Sepeninggalan Wahid dan Azel, Jihan menoleh menatap Senja yang kini bermata panda, beberapa hari ini Senja memang kurang tidur, karena memikirkan perceraiannya, siapa yang ingin bercerai? Tak ada yang ingin sepertinya. Bahkan memimpikan atau merencanakannya tak pernah. “Jadi, kamu benar-benar sudah bercerai?” tanya Jihan. “Iya. Apa kamu kemari karena mau memastikan?” “Kia, kamu yakin?” “Jika Mas Hadi sudah tidak mau sama aku , aku tidak mungkin mengemis padanya,” jawab Senja. “Aku nggak pernah menyangka bisa separah ini hubungan kamu dengan Hadi, bahkan aku selalu berpikir kalian bahagia, namun ternyata kalian seperti ini,” kata Jihan. “Aku juga nggak tahu, semua ini ku anggap takdir saja.” “Jadi, karena persoalan Naya? Seperti yang kamu katakan padaku via whatsaap?” “Bukan hanya karena Naya, tapi karena sikap Mas Hadi yang emang udah banyak berubah,” jawab Senja. “Tapi apa harus bercerai?” “Sudah jalannya, Jihan, aku harus gimana? Aku juga nggak mungkin mencium kaki Mas Hadi dan memohon padanya agar tak menceraikanku,” lirih Senja. “Jadi, kamu siap?” “Aku siap. Aku siap jadi janda,” jawab Senja, yang sudah tahu arah pertanyaan sahabatnya itu. “Kalau kamu nggak terjebak sama Hadi dan kalian nikah, kamu udah pasti sukses sekarang, namun mau gimana lagi, seperti yang kamu katakan, semua itu takdir yang harus kamu terima.” Jihan menghela napas panjang. “Kamu ada kerjaan nggak buat aku?” tanya Senja. “Aku nanti coba nanya-nanya ke bosku, kamu tenang aja, aku coba bantuin, ya.” “Iya. Aku pengen kerja, dan pengen melanjutkan hidup.” “Hem. Baiklah. Apa pun itu jika sudah menjadi keputusanmu, sebagai sahabat, aku akan mendukungmu.” “Terima kasih, Han,” jawab Senja. “Hem. Sekarang yang harus kamu lakuin adalah melanjutkan hidup dan melupakan masa lalu, semua orang pernah memiliki masa yang kelam kok, anggap saja semuanya sebagai pelajaran untuk membuatmu lebih kuat lagi,” kata Jihan membuat Senja merasa tenang dan nyaman sekarang, karena orang-orang disekelilingnya mendukung keputusannya. “Ini ya, Nak Jihan, Bunda sudah buatkan jus jeruk,” kata Ratih membawa nampan berisi dua gelas jus jeruk beserta cemilannya. “Terima kasih, Bunda,” jawab Jihan, lalu menciumi punggung tangan Ratih. “Kalau begitu kamu duduk-duduk dulu, Bunda mau ke dapur.” “Iya, Bunda,” jawab Jihan. Sepeninggalan Ratih, Jihan menatap Senja yang kini duduk terdiam, ia terus saja merenung, Jihan menghela napas panjang melihat sikap Senja. “Ja, kamu harus bersyukur karena kamu masih memiliki kedua orangtua yang selalu mendukungmu. Kamu jangan bersedih terus.” “Aku memang bersedih, namun yang ku pikirkan sekarang, bagaimana bisa melanjutkan hidupku,” jawab Senja. “Lalu kamu pikir kamu nggak bisa jalanin hidup sendirian?” “Aku belum mencobanya.” “Kalau kamu nggak yakin, kamu harus coba. Jadi, mulai sekarang lupakan Hadi dan lanjutkan hidupmu. Kamu punya Azel, kamu memilikinya jadi tak ada yang harus kamu khawatirkan, aku malah bersyukur kamu bisa terbebas dari Hadi, dia menganggapmu selama ini hanya sebagai Ibu dari Azel dan tak lagi memikirkan bagaimana perasaanmu.” Senja menganggukkan kepala.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD