2. Menikah

1179 Words
"Bang, aku mau shalat Ashar dulu, ya?!" Syalwa akhirnya bersuara, setelah sekian lama hanya diam mendengarkan, dan mencerna apa yang terjadi. "Ya udah, ayo! Aku juga belum shalat." Firza berjalan lebih dulu, diikuti Syalwa yang berdiri dari posisi duduk dan mengangguk sopan pada dua orang kakak dari sahabat baiknya itu. Radit dan Mita pun, hanya membalas dengan anggukan. Mereka shalat bersama di satu ruangan yang memang sengaja Firza alih fungsikan menjadi mushola di rumahnya itu. Rumah yang tidak terlalu besar, tapi nyaman dan bersih. "Bang, coba hubungi lagi Mbok Narti, siapa tau nomornya sudah aktif sekarang. Dia satu-satunya orang yang bisa buktiin kalau kita gak melakukan apa-apa malam kemarin," ucap Syalwa, setelah mereka selesai shalat dan berdoa. Firza mengangguk setuju. Ia mengambil ponsel yang tergeletak di atas karpet mushola rumahnya itu. Berkali-kali Firza menekan layar di ponsel, sampai dia pun merasa kesal sendiri. Karena hasilnya selalu sama. Nomor Mbok Narti tak bisa dihubungi. Firza menolah ke arah Syalwa dan menatap gadis itu sambil menggelengkan kepala. Sang gadis yang paham arti dari apa yang Firza lakukan, hanya bisa tertunduk lesu. "Sekarang, kita harus gimana, Bang? Masa kita harus menikah? Apa ada cara lain supaya kita gak jadi nikah?" tanya Syalwa setelah beberapa saat mereka terdiam. "Aku juga Bingung, Ca. Aku gak tau kenapa mereka bisa tiba-tiba datang ke sini. Sejak aku meninggalkan rumah dan pindah ke sini, mereka gak pernah datang. Aku juga gak pernah memberitahu alamat rumah ini, jawab Firza. "Tapi, aku tak heran sih kalau Bang Radit dan Mbak Mita bisa sampai tau. Mereka bisa membayar orang untuk mendapatkan informasi apa pun yang mereka butuhkan," imbuh Firza, berkata dengan lirih sambil menghela napas lelah. "Kita debat juga percuma, yang ada malah hanya akan menimbulkan keributan, dan akhirnya mengundang warga datang ke sini, ujung-ujungnya tetap kita akan dinikahkan secara paksa. Dan benar kata Bang Radit. Kita juga akan mendapat malu apalagi kalau sampai viral," terang Firza lagi. Syalwa menghela napas panjang dan menghembuskannya dengan perlahan. Semua yang dikatakan Firza, memang masuk akal menurutnya. Tentu ia pun tahu pasti, kompleks perumahan tempat Firza tinggal berbeda dengan kompleks pada umumnya. Penghuni di tempat itu lebih religius dan taat beragama. Apa pun agama yang mereka anut. Lama mereka terdiam. Terlarut dalam pikiran masing-masing, meski otak mereka bekerja, mencari cara agar pernikahan tak harus terjadi, namun ... buntu. Tak ada yang bisa mereka lakukan. Mereka harus menikah. Karena Mbok Narti yang diharapkan akan menjadi jalan penolong bagi mereka dari situasi ini, justru seperti hilang ditelan bumi. "Kalian ditunggu di depan." Tiba-tiba Mita sudah berdiri di ambang pintu, menatap sepasang anak adam yang sedang saling diam dengan lamunan masing-masing. Firza dan Syalwa saling menatap untuk sesaat, lalu keduanya mengangguk samar. Sang pria berdiri dan berjalan lebih dulu. Sementara gadis itu membuka mukena dan merapikan kerudung terlebih dahulu. "Za, kamu duluan aja. Biar Caca aku kasih riasan dulu sedikit di wajahnya, supaya wajahnya lebih berseri. Masa pengantin mukanya pucat kayak gitu," ucap Mita tersenyum manis, menatap Syalwa yang hanya membalasnya dengan tersenyum hambar. "Terserah Mbak aja." Dengan malas Firza menjawab, kemudian berlalu dari hadapan Mita dan Syalwa. Dan betapa terkejutnya pria itu, saat tiba di ruang tamu, sudah mendapati banyak orang. "Nah, itu dia, calon pengantinnya, Bapak-Bapak," ujar Radit saat Firza tiba di ruang tamu. Ia terkejut bukan main seraya menelan saliva dengan susah payah. Karena di antara orang-orang itu, Firza menemukan seseorang yang dia kenal. Seorang pria yang sedang menatap dingin ke arahnya. Tatapan yang menusuk, membuat hatinya bergetar. Ia kemudian duduk di kursi yang disediakan untuknya, tepat di depan pria itu. "Ka, kapan kamu sampai?" tanya Firza pada pria yang tak lain adalah Raka, kakak dari Syalwa sekaligus sahabat baiknya. "Baru." Raka menjawab singkat dengan raut wajah dingin. Firza tahu ada kemarahan dalam nada bicaranya. Tapi Firza tak bisa menjelaskan apa pun untuk saat ini. "Mana calon istri kamu?" tanya Radit pada Firza. "Masih di dalam," jawab Firza, singkat. "Oh, ya sudah. Kita tunggu saja. Calon pengantin wanitanya sedang berdandan pasti," tukas Radit dan diangguki tamu yang hadir. Firza menatap satu persatu tamu yang hadir di sana, ketua RT, ketua RW, pak Ustadz, kemudian sesepuh dan bapak-bapak di kompleks rumahnya hadir di sana. Firza mengenal mereka karena sering bertemu di mesjid saat hendak shalat atau juga bertemu saat hendak berangkat ke kantornya. Tak jarang juga pria itu ikut kerja bakti jika kebetulan sedang tak harus berangkat ke kantor. Dia tak habis pikir, bagaimana kakaknya bisa mengumpulkan semua orang secepat ini? Hanya dalam waktu kurang dari satu jam, warga sudah berkumpul di rumah. Dia menarik sebelah sudut bibir seraya menggelengkan kepala, saat melihat di ujung ruangan sudah ada makanan yang tersaji. Mungkin, makanan itu disiapkan untuk menjamu tamu yang hadir. Tapi kapan mereka menyiapkan semuanya? Kedua kakaknya benar-benar sudah tidak waras! "Nah, itu dia mempelai wanitanya sudah siap," ucap Radit membuyarkan lamunan Firza. Ia memutar kepalanya, menoleh ke arah pandang semua orang, dan tertegun melihat gadis cantik yang sedang berdiri di samping Mita. Wajahnya begitu memancarkan cahaya, cantik, seperti bidadari yang sering datang ke dalam mimpinya. Dibalut dengan gaun berwarna putih yang senada dengan kerudung panjang yang menutupi bagian atas tubuh gadis itu. "Cantik, kan?" tanya Radit seraya menepuk pundak Firza, yang sedikit melonjak karena terkejut. Radit hanya mengulum senyum melihat tingkah konyol adiknya itu. "Ayo, duduk di sana." Bagai kerbau yang dicucuk hidung, Syalwa menurut, dia duduk di tempat yang ditunjuk oleh Radit, bersama Mita di kursi terpisah yang agak jauh dari Firza yang duduk di samping Radit, berhadapan dengan Raka dan seorang Ustadz. Syalwa bingung, bagaimana kakaknya bisa ada di sana? Hati gadis itu sedih, saat melihat tatapan kecewa sang kakak padanya. Ia pun mulai menitikkan air mata. "Terima kasih," ucap Syalwa, saat Mita memberikan sehelai tisu padanya. Wanita yang merupakan kakak dari Firza itu pun tersenyum seraya mengusap lembut punggung Syalwa. Tak ada lagi sikap dingin seperti tadi dari wanita cantik itu. "Mas Firza ini mau menikah ternyata, pantas tidak bersedia saat saya minta untuk menikahi anak saya," kekeh seorang pria paruh baya yang menjabat sebagai ketua RT setempat. Firza hanya tersenyum kaku sebagai tanggapan. "Sudah bisa kita mulai?" tanya Ustadz. Firza memandang ke arah Syalwa yang sedang menunduk, lalu memandang ustadz dan mengangguk perlahan. Ijab kabul pun dilakukan. Firza menjabat tangan Raka yang bertindak sebagai wali untuk Syalwa. Semua berjalan lancar hingga kedua orang itu sah menjadi suami istri secara agama. Mita menuntun Syalwa berjalan mendekati Firza. Setelah berdiri berhadapan, mereka saling tersenyum canggung. Firza meletakkan sebelah tangan di atas kepala Syalwa dan membaca doa seorang suami untuk istri. Seketika rasa haru menyeruak dalam hati Syalwa. Dia merasakan getaran yang aneh di hatinya, begitu pun dengan Firza, ia pun merasakan ada banyak bunga yang memenuhi hatinya, tapi dengan cepat ia tepis. Dengan ragu-ragu, Syalwa mengulurkan tangan untuk mencium punggung tangan suaminya. Kemudian Firza mengecup puncak kepala sang istri. Kecanggungan pun menyergap mereka berdua. Mita yang memahami situasi, segera mengalihkan perhatian, dia mempersilakan para tamu untuk mencicipi hidangan yang tersedia. Raka berdiri dari posisi duduk, lalu berjalan cepat menuju ruang tengah rumah Firza. Ia sudah hafal setiap sudut rumah sahabat baiknya itu, karena mereka sering menghabis waktu bersama di rumah tersebut.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD