3. Ketahuan

1300 Words
Syalwa menatap Raka yang sedang duduk di kursi ruang tengah dengan mata berkaca-kaca. Dia berjalan mendekati kakaknya dan bersimpuh di pangkuan pria itu dengan tangis pilu. "Maafin aku, A. Aku udah buat Aa malu." Syalwa berkata disela tangisnya. Sedangkan Raka hanya diam membisu. "Tapi, aku gak melakukan apa-apa, A. Aa, percaya 'kan sama aku?" Syalwa mendongak, menatap penuh harap pada kakak laki-lakinya yang masih tetap diam membatu. "Aku gak peduli kalau orang lain gak percaya sama aku. Yang penting buat aku, Aa percaya sama aku. Aku sama Bang Firza gak ngapa-ngapain. Kami juga sama bingungnya dengan keadaan ini," jelas Syalwa. Masih menatap wajah sang kakak. Raka pun akhirnya membalas tatapan sang adik, dia tahu bagaimana adiknya dan juga Firza. Raka percaya mereka tidak melakukan apa-apa. Ia hanya bingung, apa yang harus dia jelaskan pada orang tua dan keluarganya nanti. Raka menyentuh bahu sang adik dengan kedua tangan. Membawa adik yang sangat dia sayangi itu untuk duduk di atas kursi dan memeluknya erat. Tangis Syalwa pun pecah di pelukan kakak laki-lakinya. Sementara, Firza menatap kedua kakak beradik itu dengan sendu. "Sudah, jangan nangis lagi, nanti cantiknya ilang," ucap Raka seraya meregangkan pelukan mereka. Gadis itu pun tersenyum dengan terpaksa, lalu mengusap air mata. "Sekarang, adik Aa ini udah dewasa, udah jadi istri orang," ujar Raka lagi. Berusaha menenangkan adiknya dan tersenyum. Meski hatinya tengah gundah. "Gimana sama Ayah dan Ibu, A? Kita harus bilang apa sama mereka kalau mereka pulang nanti?" tanya Syalwa. "Nanti kita pikirkan lagi soal itu, ya. Kita rundingkan juga dengan Mbak Mita dan Bang Radit. Keluarga mereka juga sama-sama tidak tau soal ini," jawab Raka menenangkan sang adik. "Ibu dan ayah juga 'kan pulangnya masih lama. Baru juga berangkat dua hari yang lalu 'kan?!" imbuh Raka sambil mengusap air mata yang masih meleleh di pipi adik kesayangannya itu. Firza berjalan mendekati meraka dan duduk di samping Syalwa, tepat di hadapan Raka. "Maaf." Hanya itu yang mampu ia katakan pada Raka. "Aku sudah mempercayakan Caca ke kamu, untuk kamu jaga seperti adikmu sendiri, tapi apa? Kamu malah menyeret dia dalam masalah keluarga kamu. Teman macam apa yang kayak gitu?" Raka mendengkus kesal, melepaskan semua emosinya. "Maaf, Ka. Aku juga gak tau bakal kayak gini. Maksud aku mengajak Caca tidur di sini, supaya aku bisa jaga Caca sesuai dengan permintaan kamu." Firza mencoba menjelaskan. "Seharusnya kamu bisa menjelaskan itu sama keluarga kamu, Za." Raka tetap menyalahkan sahabatnya. "Aku udah jelasin semua, tapi mereka tetap gak percaya. Mbok Narti yang kemarin nginep nemenin Caca juga seperti menghilang begitu saja. aku gak bisa menghubungi dia," jelas Firza. Tak terima karena Raka menyalahkannya. "Apa maksudnya ini?" tanya Syalwa, mulai memahami situasi. "Aa, nyuruh Bang Firza jagain aku?" tanya satu-satunya gadis di antara mereka, dengan nada sedikit naik. Raka dan Firza saling pandang, baru menyadari keteledoran mereka. "Ya Allah, sampai kapan sih, kalian berdua menganggap aku seperti anak kecil, yang harus kalian pantau selama dua puluh empat jam? Aku ini udah dua puluh tiga tahun, lho. Sudah dewasa." Syalwa mulai tersulut emosi, dia tak habis pikir dengan perlakuan dua pria dewasa yang selalu memperlakukannya seperti anak kecil. Dengan alasan menjaga dari orang yang berniat tidak baik. Sejak Syalwa beranjak dewasa, mereka sudah seperti pengawal pribadi, yang menjaga ke mana pun dia pergi. Jika mereka tak bisa melakukannya, maka keduanya akan menghubungi gadis itu hampir setiap satu jam sekali. Sangat berlebihan, bukan? Bahkan tak seorang laki-laki pun berani mendekat. Karena, nyali mereka sudah menciut lebih dulu saat mengetahui bahwa Syalwa adalah adik Raka dan Firza. "Bukan begitu, Sayang, Aa cuma khawatir sama adik Aa aja." Raka mencoba membela diri. "Aa, lupa? Aku sudah dewasa, A. Aku bukan lagi anak kecil yang harus kalian jaga selama seharian penuh," sergah Syalwa yang sudah muak dengan alasan kakaknya. "Maafin, Aa, ya. Kalau khawatirnya seorang kakak yang sangat menyayangi adiknya ini, menurut kamu berlebihan," ujar Raka dengan wajah memelas yang dibuat sesedih mungkin untuk membuat Syalwa iba. Tapi, kali ini drama yang diciptakan Raka, gagal. "Ini semua salah Aa. Sampai aku harus menikah sama Bang Firza." Syalwa menatap tajam sang kakak dengan wajah memerah karena menahan marah. "Eh? Kok, jadi salah Aa, Ca?" protes Raka, tidak terima disalahkan. "Iya. Memang salah Aa. Kalau aja Aa gak nyuruh Bang Firza jagain aku, semua gak akan terjadi," jawab Syalwa. Raka pun diam. Tak menampik lagi karena kalau dipikir, apa yang Syalwa katakan memang benar. Dia menatap tajam Firza yang sedang berusaha menahan tawa, melihat Raka diomeli adiknya sendiri. "Abang juga salah. Kalau Abang biarin aku nginep di hotel semua gak akan jadi kayak gini," tegur Syalwa, berbalik ke arah Firza yang duduk di sampingnya. Gadis itu memukul Firza, membuat pria itu seketika merubah ekspresinya yang sedang menahan tawa, menjadi diam. Ia memegangi dadanya yang tiba-tiba terasa berdenyut. Entah karena pukulan Syalwa yang cukup kencang atau karena Syalwa menyentuhnya, tapi dadanya kini terasa berdenyut dan berdebar. "Kan, aku cuma disuruh kakak kamu," elak Firza. "Heh, berani sekali kamu menyalakan kakak ipar kamu, kualat baru tau rasa," cibir Raka sambil melempar bantal kursi pada sahabatnya. "Kalian berdua, sama saja. Dua orang dewasa tapi gak bisa bersikap dewasa. Gara-gara kalian berdua aku terjebak dalam pernikahan yang konyol ini." Syalwa berdiri dari posisi duduk lalu beranjak meninggalkan mereka, kemudian masuk ke kamar tamu rumah Firza. "Kamu sih, pake buka kartu segala," omel Raka pada temannya. "Kamu yang mulai lebih dulu, pake acara nyalahin aku." Firza tak mau kalah, Ia pun melempar kesalahan pada Raka yang hanya mendengkus kesal menanggapinya. "Terus sekarang gimana?" tanya Raka pada Firza setelah cukup lama mereka saling diam. "Ya, aku gak tau, Ka. Dia 'kan adik kamu," kilah Firza. "Tapi dia sekarang istri kamu, Dodol," maki Raka dengan kesal. "Oh, iya," jawab Firza, polos. "Dasar oneng," ejek Raka lagi seraya memukul punggung bagian atas Firza dengan kuat. "Sakit, Ka," protes Firza sembari menatap Raka dengan mata membesar. Sementara sang sabahat malah tertawa terbahak. "Aku rasa, kamu dan keluargamu harus melamar Caca secara resmi pada keluargaku nanti" Raka bersuara setelah tawanya mereda. Firza menatap sekilas pada kakak ipar sekaligus sahabatnya itu. "Ya, kamu benar. Tidak mungkin aku tiba-tiba datang ke rumah orang tua kalian dengan status sebagai adik ipar kamu," kekeh Firza. Pria yang baru saja menikah itu mengumpat dalam hati, memaki kedua kakaknya. Semua ini gara-gara Mita dan Radit yang memaksanya untuk menikahi Syalwa. "Apa Bang Radit yang minta kamu untuk datang ke sini?" tanya Firza. "Ya. Katanya kalian digerebek warga dan harus segera dinikahkan. Beruntung orang tua aku sedang di tanah suci. Jadi aku bisa menggantikan mereka. Kalau mereka ada di sini, entah apa yang akan terjadi," lirih Raka. Firza diam tak menanggapi ucapan Raka. Digerebek warga katanya? Kedua kakaknya memang benar-benar sudah tidak waras. "Sudah, sana, urus istri kamu yang lagi mode ngambek itu." Raka menepuk pundak Firza. "Adik kamu itu menakutkan kalau lagi ngambek," jawab Firza seraya terkekeh. "Itu sih urusan kamu sekarang, dia istri kamu," ejek Raka. "Tapi rasanya aneh aja, Ka. Apa bisa aku memperlakukan dia seperti seorang wanita? Sementara, selama ini dia sudah seperti adik aku sendiri," lirih Firza. Raka pun seketika terdiam. Benar apa yang Firza ucapkan, ia pun menghela napas panjang saat mengingat semua yang terjadi hari ini. "Soal itu, kamu bisa bicarakan dengan Caca. Yang pasti mulai sekarang dia adalah tanggung jawab kamu. Jangan pernah sengaja membuatnya menangis. Kalau sampai itu terjadi, jangan kamu pikir aku akan diam saja." Raka berkata dengan serius seraya menepuk-nepuk pundak Firza. "Jaga adik aku baik-baik. Aku tidak akan menuntut kamu untuk selalu membuat dia bahagia, Aku hanya minta, tolong, jangan membuatnya menangis karena bersedih. Aku percayakan adik aku sama kamu," imbuh Raka. Firza menatap Raka sesaat, kemudian mengalihkan pandangan, menatap kosong ke arah pintu kamar tamu, di mana Syalwa berada. pria itu menghela napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Saat ini dia sudah punya tanggung jawab sebagai seorang suami dari seorang wanita bernama Syalwa Adelia Permana.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD