1. Dipaksa Menikah

1375 Words
"Selamat siang." Seorang wanita cantik berusia sekitar empat puluh tahun yang masih terlihat cantik dan anggun, menyapa. Ia berdiri di hadapan seorang gadis yang sedang duduk sembari bermain ponsel di kursi yang ada di teras depan sebuah rumah. Di samping wanita itu, ada seorang pria dewasa yang mengenakan setelan jas yang terlihat mahal dan juga dua orang lainnya yang berdiri tegap di belakang pria dan wanita itu, perawakan mereka terlihat seperti seorang pengawal pribadi. "Selamat si–ang." Gadis itu terbata, berdiri dari posisi duduk. Dengan wajah bingung, ia menatap mereka semua. "Firza di mana?" Wanita cantik tadi bertanya lagi dengan nada datar, membuat jantung sang gadis berdegup kencang "Oh, ada, Bu. Tadi sedang mandi di dalam. Mungkin sekarang sudah selesai. Biar saya panggilkan." Gadis itu menjawab lalu hendak melangkah. "Nama kamu siapa?" tanya wanita cantik itu lagi membuat niat sang gadis untuk melangkah, terhenti. "Saya Syalwa, Bu." Gadis cantik bernama Syalwa itu tersenyum ramah. Wanita itu hanya mengangguk seraya memindai Syalwa dari atas kepala sampai ujung kaki, membuat sang gadis salah tingkah. "Kamu adiknya Raka 'kan?" Kali ini si pria berjas mahal itu yang bertanya. "Benar, Pak." Syalwa menjawab seraya mengangguk pelan. Kenapa pria itu tahu siapa dirinya dan sepertinya juga mengenal sang kakak? "Ca, makan yuk! Aku lapar banget nih." Suara berat seorang pria terdengar berasal dari dalam rumah. Ia berjalan mendekati pintu yang terbuka dan tertegun melihat orang-orang yang sedang sedang berdiri di teras rumah. "Mau apa kalian ke sini?" Pria yang baru saja muncul, menatap dingin orang-orang itu. Dengan ekspresi bingung, Syalwa menoleh pada sang pria dan orang-orang itu, bergantian. "Kenapa kamu tidak cerita kalau calon istri kamu ada di sini, Firza?" Wanita cantik itu, sekilas menatap ke arah Syalwa. Sedangkan sang gadis, langsung membulatkan mata, rasanya tidak percaya dengan apa yang ia dengar. Calon istri? Apa dia tidak salah dengar? "Bukan urusan kalian!" jawab pria bernama Firza itu dengan tegas. "Ayo, Ca! Kita masuk!" Firza menoleh ke arah Syalwa yang masih terbengong. Gadis itu mengangguk pelan kemudian berjalan mendekati Firza. "Akan aku nikahkan kalian hari ini juga!" Pria tegap yang datang bersama wanita cantik tadi, berucap tiba-tiba, hingga menghentikan gerakan kedua orang yang baru saja akan masuk ke dalam rumah. "APA?" Syalwa dan Firza memekik bersamaan. "Ya, kalian akan aku nikahkan hari ini," ucap pria itu lagi. Wajah Syalwa pun seketika itu juga langsung pucat pasi, dia mundur beberapa langkah hingga terduduk di kursi yang tadi ia duduki. Kepala terasa berputar saat mendengar apa yang pria itu ucapkan. Menikah? Dia menikah? "Apa maksud Abang? Kenapa kami harus menikah?" Firza bertanya seraya menatap tajam pada orang yang berdiri di hadapan dan ia panggil dengan sebutan abang. Tatapan pemuda itu menyiratkan emosi. Firza khawatir dengan keadaan Syalwa yang nampak terkejut. Jika sampai terjadi sesuatu pada gadis cantik itu, ia bisa habis dipukuli oleh Raka, kakak laki-laki Syalwa yang posesif itu. "Ayo, kita bicara di dalam. Gak enak kalau sampai ada orang yang melihat," ajak wanita cantik dan anggun tadi. Ia dan pria berjas itu masuk ke dalam rumah Firza lalu duduk di sofa ruang tamu. Sedangkan, dua pria berbadan tegap, berdiri di depan pintu. "Ca, kamu gak apa-apa?" Firza mendekati Syalwa dan berjongkok di hadapan gadis yang masih duduk diam di kursi. Tidak bergerak sedikit pun. Menatap kosong ke arah depan. "Ca, kamu tenang, ya ... semua akan baik-baik aja. Ini hanya salah paham. Bang Radit dan Mbak Mita, mereka kakak aku," jelas Firza. Syalwa menggerakkan kepala, menunduk, menoleh pada Firza yang sedang menatap padanya dengan raut wajah khawatir. Sesaat, gadis itu menatap sang pria, seakan bertanya, apa benar semua akan baik-baik saja? Firza pun mengangguk, seakan tahu apa isi kepala gadis itu. "Ayo, kita masuk," ajak Firza, tanpa berani menyentuh Syalwa, karena Firza tahu, bahwa Syalwa seorang gadis yang sangat membatasi interaksi dengan lawan jenis. Mereka pun jalan beriringan, masuk ke dalam rumah. Firza dan Syalwa duduk di sofa kecil yang ditempatkan bersisian, di hadapan mereka, ada Radit dan Mita yang duduk di sofa panjang. "Jadi, apa maksud Abang dan Mbak datang ke sini lalu tiba-tiba menyuruh kami menikah?" tanya Firza tanpa basa basi pada kedua kakaknya. "Ya. Kalian memang harus segera dinikahkan. Kalian bahkan tinggal satu atap," tuding Radit. "Kami gak tinggal satu atap, Bang. Caca hanya lagi nginep di rumah aku, karena lagi ada pekerjaan di sini," sanggah Firza. "Tapi, dia bermalam di rumah kamu." Mita ikut menimpali. Syalwa hanya tertunduk sambil menautkan kedua tangan, masih terkejut dengan keadaan yang sedang ia alami saat ini. "Ya, itu benar. Aku menawari Caca tidur di sini, dari pada di hotel yang cukup jauh jaraknya dari rumah ini. Akan sulit buat aku menjaga Caca kalau berjauhan. Rumah aku juga punya dua kamar tidur. Kami tidur di kamar yang berbeda." Firza menjelaskan.Tidak terima sang kakak menuduh macam-macam. "Tapi, itu bukan jaminan kalian tak melakukan apa-apa 'kan?" tanya Mita dengan nada dingin. "Astaghfirullah ... Mbak nuduh aku melakukan hal yang tidak-tidak? Kalian tau 'kan, Caca ini adik Raka, adik aku juga. Gak mungkin aku melakukan hal yang tidak-tidak sama dia." Firza pun berang, karena menurutnya dugaan sang kakak tidak berdasar sama sekali. "Bukan menuduh, kami hanya gak ingin ada pandangan buruk dari orang sekitar terhadap kalian," kilah Radit. "Terutama kamu, Firza. Kamu tau 'kan lingkungan komplek tempat tinggal kamu ini lingkungan yang religius," imbuhnya. "Sejak kapan Abang sama Mbak peduli sama aku?" Firza yang mulai tersulut emosi, menatap tajam kedua kakaknya. "Ya, jelas kami peduli, makanya kami datang ke sini. Tapi kami malah mendapati kamu serumah dengan seorang gadis. Untuk itu lebih baik kalian menikah saja," sahut Radit. "Bang, kami gak ngapa-ngapain. Kenapa harus menikah?" protes Firza. "Karena kalian bermalam dalam satu atap yang sama." Radit tetap bersikukuh dengan alasannya. "Malam, kami gak hanya berdua, Bang. Ada Mbok Narti juga. Aku suruh dia tidur menemani Caca," elak Firza. "Sengaja aku suruh Mbok Narti tidur di sini supaya tidak menimbulkan fitnah, Kalau Abang gak percaya, biar aku telpon Mbok Narti sekarang juga," imbuh Firza. Ia mengambil ponsel dari kamar dan kembali ke ruang tamu. "Ya sudah, telepon saja," tukas Radit. Berkali-kali Firza mencoba menghubungi Mbok Narti melalui ponsel pintarnya, tapi tidak juga tersambung. "Bagaimana?" tanya Radit. "Ponselnya di luar jangkauan," jawab Firza, setengah berbisik. Sedangkan Radit dan Mita saling bertukar pandang, kemudian tersenyum samar. "Aku beri kalian waktu sampai Ashar untuk membuktikan alibi kalian. Jika tidak, setelah Ashar kalian akan kami nikahkan." Radit mengambil keputusan sepihak. "Gak bisa gitu dong, Bang." Firza tidak menyerah, ia masih berusaha mengubah keputusan kakaknya. "Gak bisa apanya? Kalau sampai warga tau kalian bermalam bersama di sini, kalian akan tetap dinikahkan secara paksa. Plus kalian mendapat malu karena pandangan mereka. Dan mungkin saja kalian akan viral. Kamu tau 'kan jaman sekarang berita apa pun akan cepat menyebar," ujar Radit, berpendapat. Kakak laki-laki Firza itu diam-diam tersenyum penuh kemenangan, saat melihat sang adik terdiam seperti sedang berpikir. Dia senang karena ucapannya dapat dicerna dengan baik oleh adik bungsunya itu. Sedangkan Firza, memilih diam. Ucapan sang kakak lebih terdengar sebagai ancaman dari pada sebuah pendapat. "Pokoknya kami tidak mau tau, kalian harus menikah hari ini juga. Sebelum warga lain tau bahwa kalian bermalam bersama, kecuali kalau kalian bisa menunjukan bukti bahwa benar kemarin malam bukan hanya kalian berdua yang tidur di rumah ini." Radit berkata dengan tegas, tidak ingin dibantah. "Bang, nikah gak segampang itu. Perlu ada wali Caca juga." Firza mengelak. "Soal itu kamu tenang aja, semua mudah diatur." "Tapi, harus ada mas kawin juga untuk menikah." Firza terus berusaha mencari alasan, berharap menemukan celah untuk menolak pernikahan yang diinginkan kedua kakaknya. "Bukan masalah. Kami bisa siapkan semuanya." Radit pun tidak gentar. "Tolonglah, Bang, Mbak ... percaya sama aku, kami gak melakukan apa-apa," mohon Firza. "Beneran, kemarin itu Mbok Narti menginap di sini. Tidur di kamar tamu sama Caca." Firza akhirnya merengek pada kedua kakaknya, menjatuhkan harga diri yang sejak tadi dia pertahankan di depan mereka. "Ya ... kalau begitu hubungi Mbok Narti, biar dia jadi saksi bahwa kalian benar, baru kami tidak punya alasan lagi memaksa kalian untuk menikah," pungkas Radit. Keputusannya sudah tidak bisa lagi diganggu gugat. Firza terdiam, bingung. Karena sejak tadi ia tidak bisa menghubungi Mbok Narti dan dia juga tidak tahu, di mana tinggalnya wanita paruh baya yang biasa membantu membersihkan rumah tersebut. Syalwa dan Firza pun saling bertukar pandang, hanya bisa pasrah untuk saat ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD