4. Suami istri

1279 Words
"Ca, aku minta maaf ya?!" Firza menatap Syalwa yang sedang duduk di hadapannya, mematung di tepi tempat tidur. Mereka harus tidur dalam satu kamar karena Radit dan Mita menginap di rumah Firza. Dan lagi, mereka sudah menikah tentu akhirnya akan tidur satu kamar, bukan? Sedangkan Raka, sudah pulang. Karena anak dan istrinya menunggu di rumah. Meski sudah menikah, Firza tidak berani mendekati Syalwa, apalagi saat melihat gadis yang kini sudah berstatus sebagai istrinya itu hanya diam saja sejak tadi. "Ca," panggil Firza lagi, tapi Syalwa masih diam dengan tatapan kosong. Firza hanya bisa menghela napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Mengira bahwa istrinya itu masih marah. "Bang! Menurut Abang ada yang aneh, gak?" Syalwa akhirnya bersuara setelah lama terdiam, Firza merasa lega karena hal itu. "Aneh? Apanya yang aneh, Ca?" tanya pria itu dengan dahi mengernyit. "Semua yang terjadi hari ini," sahut Syalwa. "Aku gak ngerti maksud kamu, Ca," timpal Firza. "Emm ... apa mungkin, ya, Bang, Kita sengaja dijebak supaya menikah? Kayak di film-film, Bang. Hahaha ... eh? Tapi untuk apa? Abang tau gak kenapa A Raka bisa sampai datang ke sini?" Syalwa terus berceloteh tentang situasi yang menurutnya tidak masuk akal. "Aku gak tau, Sayang. Lebih baik kita istirahat, Ca. Jangan mikirin yang aneh-aneh. Udah Malam. Pamali," ucap Firza mengalihkan pembicaraan. Dia bingung harus bagaimana menanggapi dugaan Syalwa. "Ih, Abang mah, apa-apa pamali, apa-apa pamali," gerutu Syalwa. "Abis kamu juga cerewet deh, dari tadi ngoceh terus," sahut Firza. "Jadi, ceritanya aku dinikahi secara siri sama Abang, ya?" Syalwa bertanya dan diangguki oleh suaminya. Raut wajahnya berubah seketika. Padahal baru beberapa saat yang lalu gadis itu masih tertawa. "Aku istri Abang yang sah secara agama aja ya?" Firza mengangguk lagi sebagai jawaban, bisa dia lihat wajah Syalwa yang sudah memerah, dengan sebelah sudut bibir yang terangkat. Ini semua pasti berat untuknya. "Maaf, ya, Ca. Semua jadi kayak gini," ucap Firza lembut. Syalwa mengangguk seraya tersenyum menanggapi ucapan suaminya. Senyum untuk menutupi hatinya yang gundah. Tak pernah terbayang dia akan menikah dengan cara seperti ini "Kita tidur ya, Sayang. Udah malam lho ini," ajak Firza, sang istri pun mengangguk setuju. "Abang mau ke mana?" tanya Syalwa saat melihat Firza beranjak dengan membawa salah satu bantal yang ada di atas tempat tidur. "Aku mau tidur di sofa," jawab Firza sambil berlalu. "Kenapa tidur di sofa, Bang? Bukankah pernikahan kita sah secara agama? Tidur di sini aja sama aku," ujar Syalwa. "Emangnya kamu gak apa-apa?" tanya Firza memastikan. "Gak apa-apa, Abang. Hanya tidur aja 'kan? Lagipula kita sudah menjadi suami istri, tak ada yang salah sekali pun bersentuhan atau tidur bersama," jawab Syalwa. "Ya sudah kalau gitu. Ayo, kita tidur. Sudah malam," ajak Firza dan diangguki oleh sang istri. Syalwa pun membuka kerudung yang masih dia kenakan. Lalu membuka ikatan rambut, membuat rambut panjang bergelombangnya tergerai seketika. Sesaat, Firza terdiam menyaksikan pemandangan yang dia lihat untuk pertama kalinya. Sejak pertama dia mengenal Syalwa, saat gadis itu berusia tujuh tahun, ia tidak pernah sekali pun melihat gadis itu melepas hijabnya. Syalwa kecil selalu memakainya setiap saat. "Bang, kok malah bengong, sih? Katanya mau tidur," ujar Syalwa yang melihat Firza hanya berdiri mematung di samping tempat tidur. Firza pun tergagap tersadar dari lamunan. Ia lalu rebahkan diri di samping istrinya. tidur saling berhadapan. "Hai, suami," sapa Syalwa, mencoba bercanda untuk mencairkan suasana yang tiba-tiba terasa canggung. "Hai, istri." Firza menjawab candaan Syalwa. Kemudian mereka tertawa bersama. Menertawakan nasib mereka yang harus menikah dengan cara yang aneh. "Aku tidurnya jadi miring kiri. 'Kan bagusnya miring kanan. Tapi kalau miring kanan, aku jadi membelakangi suami aku." ujar Syalwa, basa basi. "Ya sudah, miring kanan aja sama seperti aku," sahut Firza. "Emang boleh? Istri katanya gak boleh tidur membelakangi suami," balas Syalwa. "Boleh, Ca. Kalimat itu tidak untuk diartikan begitu saja. Ada makna tersirat di dalamnya. Contohnya, seperti istri tidak boleh tidur dalam keadaan marah pada suaminya," ujar Firza. Masih dengan posisi mereka yang masih berbaring berhadapan. "Gitu, ya, Bang?" tanya Syalwa lagi, Firza mengangguk sebagai tanggapan. "Ya udah, aku miring kanan kalau gitu. Bener nih, gak apa-apa nih?" tanya Syalwa lagi "Bener, Ca." "Ya udah. Selamat tidur, Abang." Syalwa memutar tubuh, membelakangi suaminya. "Malam, Ca," balas Firza seraya menatap punggung seorang gadis yang kini sudah menjadi istrinya. Aroma wangi dari rambut yang tergerai indah, merebak menyapa indra penciuman. Meski samar, namun Firza masih bisa mencium wanginya. Tak lama terdengar isakan kecil disertai dengan bahu mungil di hadapannya yang sedikit bergerak. "Ca," panggil Firza dengan lembut. Tak ada tanggapan dari pemilik nama panggilan itu. "Hei." Firza menyentuh bahu mungil di depannya. Tapi Syalwa tak juga memberikan tanggapan apa pun, isak tangisnya malah terdengar semakin jelas. "Hei, maafin aku dan kakak aku, yang membuat kamu harus terjebak dalam pernikahan ini." Firza bergeser, mendekati Syalwa yang membelakanginya dan mengusap lembut pundak gadis itu. Jarak yang cukup dekat membuat Firza bisa mencium aroma wangi yang lebih kuat dari rambut berwarna kecoklatan milik sang istri. Entah kenapa, pria itu ingin sekali memeluk istrinya saat ini. Sungguh, dia menyayangi Syalwa. Hanya saja, kasih sayang itu masih sebatas rasa seorang kakak pada adiknya. Tangis Syalwa kian pecah. Bahunya bergetar hebat. Dia hanya tak mengerti kenapa harus menikah dengan tiba-tiba? Apa yang harus ia katakan pada keluarga dan saudaranya? Apa yang harus ia katakan jika mereka tahu kini dirinya adalah seorang istri dari pria yang kini sedang mengusap pundak untuk menenangkan. Firza menarik tangannya dan sedikit bergeser menjauh saat Syalwa bergerak. Gadis itu memutar tubuhnya dan kembali berbaring berhadapan dengan suaminya. "Sini, peluk," ujar Firza seraya menyapu air mata di pipi sang istri. Syalwa pun bergeser dan masuk ke dalam dekap hangat suaminya. Masih dengan isak tangis yang tersisa. Firza sengaja membiarkan Syalwa menangis di pelukan. Memberi ruang pada istrinya itu untuk meluapkan isi hati dengan derai air mata. "Udah nangisnya?" tanya Firza. Mengusap punggung sang istri. Syalwa mengangguk dalam dekapan pria itu. Mereka pun merenggangkan pelukan satu sama lain. "Udah, jangan nangis lagi," ujar Firza sambil menghapus jejak air mata di pipi gadis itu yang terlihat berwarna merah. "Maaf," cicit Syalwa dengan suara yang hampir tak terdengar, seraya menunduk. "Maaf kenapa?" kekeh Firza melihat sikap Syalwa yang menggemaskan menurutnya. Baginya, Syalwa tetap adik kecil yang selalu membuatnya gemas. "Aku cengeng," cicit sang gadis lagi. Menelusupkan wajah ke dda lebar milik sang suami. Pria yang selalu membuatnya nyaman saat berdekatan, hanya nyaman seorang adik pada kakak. Tanpa cinta. Setidaknya untuk saat ini. "Siapa yang bilang cengeng? Aku ngerti gimana perasaan kamu saat ini. Tiba-tiba menjadi istri, dinikahi secara sirih, jauh dari pernikahan yang kamu impikan." Firza memeluk erat sang istri dan mengusap rambut halus wanita itu. "Aku cuma sedih dan masih bingung aja sama semua yang terjadi," ujar Syalwa. "Iya. Aku ngerti, Sayang. Bukan cuma kamu yang ngerasa kayak gitu. Aku juga sama. Sekarang lebih baik kita tidur. Udah malam juga," ajak Firza. Syalwa pun mengangguk setuju, masih dalam pelukan suaminya. "Tidurnya mau kayak gini aja? Tapi tangan aku pegal, lho," kata pria itu lagi. "Eh, iya. Maaf, Bang!" ucap Syalwa sembari segera menjauhkan tubuh dari sang suami. "Aku hanya bercanda, Sayang. Sini peluk lagi!" Firza menarik lembut tubuh istrinya. "Abang, ih." Syalwa memukul pelan lengan Firza dengan manja, membuat pria itu terkekeh. "Nah, gitu dong. Jangan nangis lagi. Nanti aku bisa dihajar sama kakak kamu yang posesif itu, kalau sampai tau adik kesayangannya menangis," ujar Firza, berseloroh. "Abang takut sama A Raka?" tanya Syalwa. "He'em," angguk Firza. "Kakak kamu itu raja tega kalau nyangkut adik kesayangannya." "Apa iya?" "Iya, Sayang. Udah ayo kita tidur," ajak Firza lagi. "Selamat tidur, Istriku." "Selamat tidur, Suamiku." Syalwa membalas ucapan suaminya. Ia kembali menelusupkan wajah ke dda bidang sang pria, sahabat sekaligus kakak yang kini telah menjadi suaminya. Suami dadakan yang menikahi dia dengan cara yang ajaib.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD