5. Kesepakatan

1317 Words
"Selamat pagi," sapa Firza yang baru keluar dari kamar mandi, saat melihat Syalwa bergerak-gerak dalam selimut tebal. Mirip seperti kepompong. "Jam berapa ini, Bang? Kok Abang udah bangun?" tanya Syalwa masih dengan mata yang tertutup rapat. "Jam empat, Ca. Ayo bangun! Kita shalat." Firza duduk di tepi tempat tidur, bersandar pada kepala ranjang, membelai kepala istrinya. Menatap wajah Syalwa yang sembab dengan mata yang sedikit bengkak, mungkin karena Syalwa menangis sebelum tidur tadi malam. Dia sangat merasa bersalah pada gadis itu, karena kelakuan absurd kedua kakaknya, Syalwa harus kehilangan status gadisnya, berganti menjadi seorang istri. Ya, tentu saja hanya status gadis saja yang hilang, tidak dengan kegadisannya. Mereka tidak melakukan apa pun tadi malam, selain tidur dengan saling berpelukan. Firza pun rasanya tidak bisa meniduri gadis yang sudah seperti adik sendiri. Syalwa yang merasa aneh karena suaminya tak bersuara, mulai membuka mata. Kepalanya bergerak ke arah di mana sang suami berada. Ia menatap wajah pria yang sedang tertunduk menatapnya dengan pandangan sendu. "Kenapa?" tanya Syalwa, menyenggol tangan kiri Firza, sementara tangan kanan pria itu masih membelai kepalanya. "Aku minta maaf, ya, Ca. Semua jadi seperti ini. Mungkin kalau aku gak maksa kamu nginep di sini, semua ini gak akan terjadi." Firza menyesal karena kemarin sempat memaksa Syalwa untuk tidur di rumahnya. Padahal Syalwa sudah menolak dan mereka juga sempat berdebat karena hal itu. Syalwa awalnya ingin mencari hotel untuk bermalam, tapi Firza menolak dan bersikukuh mengajak gadis itu ke rumahnya, agar dia bisa sepenuhnya menjaga Syalwa. Karena dia tak bisa bulak-balik ke hotel untuk menemani atau pun sekedar memastikan keadaan sang gadis Pekerjaan yang menumpuk, membuat dia harus lembur dan membawa pekerjaan itu ke rumah. Akhirnya Syalwa mengalah dan ikut ke rumah Firza. "Gak usah berandai-andai lagi, Bang. Apa yang terjadi sekarang memang itulah yang harus terjadi. Semua sudah takdir Allah. Barangkali kita memang ditakdirkan berjodoh meski dengan cara yang aneh," ujar Syalwa sembari terkekeh. Gadis itu bangun dari posisi tidur dan bersandar pada kepala ranjang, bersisian dengan suaminya. Firza menatap lekat gadis yang ada di hadapannya. Ini kali pertama dia melihat wajah Syalwa saat bangun tidur. Gadis itu terlihat benar-benar cantik di matanya saat ini. Kecantikan alami yang mampu menghipnotis siapa pun yang melihat, hingga pria itu pun hanya terdiam menikmati keindahan makhluk bernama wanita yang kini ada di hadapannya. Pikiran pun sudah melayang-layang entah ke mana. "Abang! Kok malah bengong sih," Syalwa menepuk lengan suaminya. "Eh? I–iya!" Firza gelagapan. Dilihatnya ke sekeliling. Syalwa masih bersandar pada kepala tempat tidur dan ia masih duduk di samping sang gadis. "Apanya yang iya, Abang?" tanya Syalwa seraya tertawa melihat tingkah Firza yang lucu menurutnya. Sedangkan sang pria, hanya meringis sembari mengusap tengkuknya sendiri. "Udah, ah. Aku ke kamar mandi dulu. Abang mau shalat di mesjid atau di sini?" "Di sini aja. 'Kan aku udah punya makmum," jawab Firza sambil terkekeh. "Oke, baiklah, Imam," balas Syalwa diikuti tawa seraya beranjak turun dari tempat tidur dan berjalan menuju kamar mandi. Sementara Firza, yang masih sibuk merutuki diri sendiri. Bisa-bisanya sepagi ini otak sudah berkeliaran hanya karena melihat wajah cantik istrinya saat bangun tidur. "Ya Tuhan ... kayaknya aku aku udah hilang akal," gumamnya seorang diri *** "Ca," panggil Firza, setelah mereka selesai shalat subuh dan masih dalam posisi duduk. "Iya. Kenapa Bang?" balas Syalwa. Firza bergerak menghadap ke arah istrinya. "Aku tau pernikahan ini pasti berat buat kamu, buat aku juga sama. Aku sayang sama kamu, kamu udah seperti adik sku sendiri. Kamu juga kan?! Buat kamu aku sama seperti Raka," ujar Firza dan diangguki oleh Syalwa. "Untuk itu, aku rasa lebih baik kita jalani rumah tangga ini ... sebagai saudara," imbuh Firza sedikit ragu, tapi ia sudah berpikir semalaman tentang hal ini. Ia tak mau terikat dengan seorang wanita. "Maksud Abang apa?" tanya Syalwa yang masih mencerna kata-kata suaminya. "Maksud aku, setelah ini, kamu bebas melakukan apa pun, begitu juga dengan aku. Kamu bisa tinggal di sini, tapi mungkin kita tidur di kamar berbeda. Kamu juga tak perlu menjalankan kewajiban kamu sebagai istri," ujar Firza memperjelas maksudnya. Syalwa menatap suami untuk sesaat. Dia kini ia pun mengerti apa maksud ucapan pria itu. "Oke, gak masalah," tanggalnya singkat. Syalwa berusaha menyembunyikan kecewa. Bukan pernikahan seperti itu yang dia inginkan. Tadi malam, dia berpikir akan mencoba dan berusaha menerima semuanya, belajar mencintai Firza sebagai suaminya. Dia pikir Firza pun akan melakukan hal yang sama. Tapi ternyata Ia salah, pria itu benar-benar tidak menginginkannya. "Abang, mau aku buatkan minum?" tanya Syalwa, mengalihkan pembicaraan. Mencoba menutupi kegundahan hati. Sang suami pun mengangguk. "Boleh," jawabnya. Syalwa beranjak, meninggalkan Firza yang mulai merasakan perasaan aneh di hatinya. Entah perasaan seperti apa, ia pun tidak mengerti. Sementara Syalwa, sudah berada di dapur, duduk di kursi makan sembari menyiapkan minuman untuk sang suami. Otaknya masih memikirkan apa yang tadi suaminya katakan. Hingga dia tak menyadari, Raka sudah berdiri di sampingnya. "Sayang," tegur Raka lagi, dia sudah memanggil Syalwa berkali-kali tapi tak kunjung mendapat tanggapan dari adik kesayangannya. "Hah? Eh? Aa. Bikin kaget aja." Raka duduk di kursi kosong yang berada di samping sang adik "Aa kok udah di sini aja? Bukannya tadi malam udah pulang?" tanya Syalwa. "Gak jadi, Sayang. Mbak kamu udah nginep di rumah ibunya. Jadi Aa sama Bang Radit nyari hotel yang deket. Abis Sholat langsung ke sini. Bang Radit Mah masih di sana," jawab Raka, menjelaskan. "Kamu sendiri kenapa pagi-pagi udah melamun? Padahal masih pengantin baru," goda Raka sambil tertawa. "Apa, sih, Aa?" protes Syalwa. Raka semakin tergelak saat melihat wajah Syalwa yang menjadi merah "Aa, mau aku bikinkan minum juga," tawar Syalwa mengalihkan pembicaraan. "Mau, dong. Kapan lagi Aa dibikinin minum sama adik Aa yang sekarang udah jadi istri orang. Setelah ini dia harus berbakti pada suaminya, bukan lagi pada kakaknya," ucap Raka menatap sendu adik sematawayangnya. "Aa, jangan bilang gitu, aku tetep adik Aa." "Iya, Aa tahu, Sayang. Sekalian bikinkan Aa sarapan dong, Sayang. Aa lapar banget nih," pinta Raka pada sang adik. "Nasi goreng? Mau?" tawar Syalwa. "Mau dong!" sahut Raka. Syalwa mengangguk dan tersenyum. Bersikap seceria mungkin supaya sang kakak tidak tahu apa yang ada di hatinya. Ia pun mulai sibuk membuat nasi goreng kesukaan sang kakak. Tak menunggu lama, Nasi goreng pun siap. Syalwa menghampiri sang kakak dengan sepiring penuh nasi goreng. "Wah ... pantas wanginya sampai ke kamar," ujar Firza seraya menghampiri dua kakak beradik itu, lalu duduk di salah satu kursi makan. Pria itu keluar dari kamar karena mencium aroma nasi goreng. Perutnya pun tiba-tiba saja menjadi lapar. Akhirnya ia memutuskan untuk menyusul sang istri. "Kok, cuma satu piring, Ca?" tanya Raka. "Lho? Memangnya buat Aa gak cukup nasi goreng sebanyak ini?" Syalwa bertanya balik. "Bukan buat Aa, Sayang. Tapi buat suami kamu," sahut Raka. "Suami? Oh iya, Aku lupa. Aku udah punya suami." Syalwa terkekeh seraya duduk di samping Raka. Bersebrangan dengan Firza. "Lho? Kok malah duduk di sini?" protes Raka. "Ya, masa Aku harus berdiri terus, 'kan pegal atuh, A," kilah Syalwa. "Maksud Aa, buatkan sarapan juga buat suami kamu," jelas Raka. "Oh, itu ... Aa tenang aja, Bang Firza tadi udah bilang kok sama aku, kalau aku gak perlu lakukan kewajiban aku sebagai istri." Syalwa berkata dengan santai. Dua orang pria yang ada di sana membulatkan mata. Sama-sama terkejut dengan ucapan Syalwa, tapi dengan pikiran yang tentu saja berbeda. Firza, ia takut Raka akan mengamuk jika tahu tentang kesepakatan antara dirinya dan Syalwa. "Maksud kamu apa, Ca?" tanya Raka dengan wajah serius, menatap tajam Syalwa dan Firza bergantian. Membuat wajah sang adik ipar sekaligus sahabatnya itu pucat pasi. "Iya 'kan tadi Bang Firza bilang kalau aku tak perlu melakukan kewajiban aku sebagai istri—" "Maksud aku ... 'kan kami masih pengantin baru, masa udah suruh kerja ini itu." Firza dengan cepat memotong ucapan Syalwa, sebelum istrinya itu menyelesaikan kalimatnya. "Oh, Itu ... hahaha, iya aku paham." Raka tertawa terbahak mendengar ucapan Firza. Sementara Syalwa, menatap sang suami dengan tatapan kesal dan hanya ditanggapi dengan cengiran kaku oleh pria itu
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD