momen aneh

3202 Words
“Waw... takut banget gue dengernya,” Jo menyeka darah yang mengucur lumayan deras di hidung mancungnya dengan senyuman mengejek ke arah Andrew yang mati – matian menahan emosi agar tidak menghajarnya hingga tak bertulang. Diva bersembunyi di belakang Andrew. Mencari ketenangan sambil berusaha menenangkan Andrew yang diliatnya sudah menumbuhkan tanduk di atas kepalanya. “Ndrew... Pulang yuk, gue gak papa,” Bujuknya sambil menarik lengan baju Andrew dari belakang dengan hati – hati. “Tunggu gue mampusin dia dulu, Diva. Baru kita cabut,” Andrew menjawab dingin ajakan Diva. Merasa di depannya bukan Andrew yang dikenal, dia merangkul tangannya. “Gue gak papa, Ndrew. See? Jangan marah disini, ini sekolah, lo bisa dituntut,” “Gak papa. Yang penting dia tau lo gak bisa disentuh kayak cewek yang biasa dia grepe – grepe seenak jidat!” sambil berkata begitu, dia menatap Jo dengan tatapan ingin membunuh saat ini juga. Jo yang melihat tatapan Andrew, tertawa geli. Seolah – olah Andrew baru saja melucu didepannya. “Gue heran deh, kok lo menjaga Diva segitunya sih? Dia siapa lo sih? Sahabat doang kan?” “Iya! Dia sahabat yang paling gue jaga!” “Sahabat gak ada seprotektif kayak lo gini!” “Memangnya itu jadi masalah buat lo?” Masalah sih gak, gue malah mikir lo sahabatan sama dia ada maksud tertentu kan?” Diva dan Andrew saling berpandangan. Bingung dengan arah pembicaraan Jo. Mengetahui hal itu, Jo nyengir. “Gue tau lo pasti pengen nyicip tubuh Diva yang menggoda iman itu kan jadi lo ngamuk setiap cowok yang mencoba dekatin dia? Gue tau lo pasti gak ingin tubuh Diva, apalagi bibirnya yang super seksi itu,” Sambil berkata begitu, dia mengulum bibirnya sendiri dan melirik Diva yang semakin ketakutan dengan tatapan sinis, siap menerkam mangsa. “Ada jejak cowok lain. Tenang saja, gue akan nyisakan sedikit kok buat lo. Gak usah khawatir. Lo mau gue nyisain bagian mana? Tinggal sebut aja. Gue bisa ngerem kok, tapi... sebelum lo nyebutin, bagian d**a, bibir, leher dan bawah perut dia itu hak milik gue. Gak bisa lo ganggu gugat.” Jo tersenyum sinis dan membayangkannya. Membuatnya semakin bernapsu. “Tapi, itu ama aja lo gak dapat bagian dong? Ah... gampang, Ndrew. Ntar bisa gue atur lo dapat di bagian mana aja dari tubuh sexy sahabat lo itu.” Dia menjentikkan jarinya dengan ekspresi gampang saja kalau gue yang ngurus. Tenang aja. Habis kesabaran Andrew ketika mendengar ucapan kurang ajar Jo yang sangat – sangat merendahkan Diva seperti wanita jalang. Seperti tak ada harga dirinya sama sekali. Dengan langkah yang tak diduga, dia maju dan menonjok Jo dengan keras hingga bisa dipastikan ada yang patah. Membuat Diva yang melihat itu, menjerit. “Sudah, Andrew! Kita pulang!” “Gue belum selesai, Diva! Dia merendahkan harga diri lo sebagai wanita! Kenapa lo gak marah?!” Teriak Andrew dengan suara penuh emosi. Membuat Diva terpaku. Selama dia bersahabat dengannya, Andrew tak pernah membentaknya seperti ini. “Ndrew, Gue ingin pulang. Gue gak mau disini, mendengarkan dia menghina gue. Gue mau marah, tapi gimana caranya, Ndrew? Lo tau gue,” sambil berkata begitu, dia menundukkan wajahnya. Tak ingin menunjukkan bahwa dia juga sakit hati mendengarkan ucapan Jo yang sangat merendahkannya itu. Melihat itu, Andrew melunak dan mendekati Jo yang tersenyum sinis kearahnya. “Sekali lagi lo sentuh Diva, atau siapapun yang berarti buat gue,” Sambil berkata begitu, dia menunjuk d**a Jo dengan telunjuknya “Gue pastikan lo akan merasakan dinginnya liang lahat saat itu juga!” Dan mendorong kasar Jo hingga terbentur dinding dan menarik Diva agar segera keluar. Melihat mangsanya kabur dibawa penjaganya, Jo berdecak kesal dan melap bibir dan hidungnya yang masih berdarah. “Yah... buruan gue gagal deh. Tapi tenang saja... masih ada hari esok yang lebih indah. Dan gue, akan nikmatin tubuh sahabat lo, Andrew!” dan dia tersenyum penuh menang dengan ide brilian yang akan dijalankan di lain waktu. Disaat salah satu dari mereka lengah. Íííí “Lo gak papa?” Tanya Andrew ketika melihat Diva seperti patung hidup di belakangnya. Semenjak meninggalkan kelas hingga mereka di lapangan basket. Tak terdengar ocehan cerewet Diva. Membuatnya cemas. “Makasih,” Mendadak Diva memeluknya erat dan menangis hebat di dadanya hingga tubuhnya bergetar. Sebuah pukulan telak menimpanya hingga sahabatnya trauma. Andrew mempererat pelukannya dan mengusap pelan rambut Diva. “Gue minta maaf yah karna gara – gara gue ninggalin lo di kelas, lo jadi begini. Seharusnya gue sudah antisipasi saat lo cerita soal Jo itu. Seharusnya gue nyuruh lo nunggu di lapangan basket. Bukan di kelas. Gue memang bodoh.” Rutuknya membuat Diva melepas pelukannya dan menggeleng. “Gak.. lo gak bodoh, Ndrew. Lo memang gak tau kan ini bakal terjadi. Gue juga salah, seharusnya saat itu gue teriak, bukan mingkem kayak tadi.” “Lo terlalu shock makanya gak sempat teriak kan? Gue tau lo, Diva.” Ucapnya sambil mengacak rambut pendeknya. Membuat Diva tertawa. “Iya... serasa semua tingkah laki – laki gue pada ngumpet semua, Ndrew. Hahaha...” Andrew senang sahabatnya bisa tertawa lagi dan air mukanya berubah ceria. Tak sadar membuatnya tersenyum. “Kita jalan yuk? Itung – itung lupain kejadian tadi” Ajaknya. “Kemana?” Tanya Diva. “Makan bakso di tempat biasa gimana? Gue lapar nih,” Mendengar ajakan Andrew yang begitu menggodanya, mendadak perutnya berbunyi dan tanpa ragu dia mengangguk. “Ayo!!” Teriaknya penuh semangat dan menuju kendaraan yang terparkir. Namun ditahan Andrew. “Lo ikut gue aja,” “Terus motor gue gimana?” Tanya Diva bingung. “Ntar kita ke sekolah lagi ambil motor lo, terus pulang bareng. Kan rumah searah.” Diva menggeleng. Rencana repot. Pikirnya. “Gak usah deh. Bikin repot aja.” “Gak kok. Ayolah... lo gak pernah gue boncengin, Diva.” “Motor lo mengerikan untuk gue tumpangin, Ndrew,” Diva melirik kendaraan Ninja terbaru Andrew dan tak bisa membayangkan bagaimana posisi duduknya nanti. Pinggangnya bakal encok parah karna menunduk mulu. Andrew terlihat berpikir, lalu tersenyum. “Yaudah, gue nebeng motor lo aja. Daripada lo nyalahin gue karna badan lo pada encok semua. Ayo.. mana kunci motor lo? Gue yang bawa.” Diva melongo mendengarnya. Dia tau Andrew kurang menyukai membawa motor matik miliknya. Seperti naik motor – motoran katanya. “Serius?” “Serius Diva. Mana kunci motor lo?” Diva pun menyerahkan kunci motornya ke Andrew dan mereka berjalan beriringan ke tempat parkir dan membiarkan dirinya dibonceng sahabatnya menuju tempat makan kesukaan mereka. --- Sepanjang perjalanan, Diva dan Andrew saling bercanda di jalan. Mereka saling mengomentari apa saja yang dilihat. “Diva, pegangan dong. Lo bikin gue serasa jadi paman ojek tau gak!” Gerutu Andrew kesekian kalinya karna Diva tak mau berpegangan. “Gue gak bisa boncengan sama cowok terus pegangan, Ndrew. Serasa aneh gimana gitu,” Elaknya. “Ya ampun, Diva. Ayolah... kalo gak, gue ngerem mendadak nih!” Ancamnya. Merasa ancaman Andrew serius, buru – buru Diva berpegangan di baju Andrew. Gemas, Andrew mengerem motornya mendadak hingga Diva langsung memeluknya dari belakang. “Sompret lo Ndrew!” Gerutunya sambil menoyor kepala Andrew dari belakang. “Salah sendiri lo pegangan kayak gue jijik gitu. Makanya, pegangan yang erat.” Perintahnya. Merasa tak ingin kejadian nahas itu terulang lagi, dengan terpaksa dan deg – degan, Diva memeluk pinggang Andrew dari belakang. Dan membuatnya tersenyum. --- “Diva, ini perut apa jurang? GILAA...” Andrew berseru takjub sambil mengelus pelan perut Diva ketika gadis itu memesan bakso untuk kedua kalinya karna masih sangat lapar. Seolah gak dikasih makan berabad – abad. Diva hampir tersedak pentol yang ditelannya bulat – bulat ketika ada elusan lembut diperutnya. Dia menatap garang, “Lo mau gue besok masuk berita karna mati kesedak pentol bakso segede batu?! Perut gue sensitif akan sentuhan cowok macam lo!” Andrew tertawa mendengarnya. Diva 180 derajat berbanding terbalik dengan cewek – cewek yang dikenalnya. Kalau cewek lain diet ketat hingga porsi makan jauh lebih menggenaskan dari orang – orang yang menderita kelaparan, maka Diva adalah kebalikannya. Cuek bebek dengan berat badan. “Lo dikasih makan apa emangnya dirumah jadi rakus ampun – ampunan? Rumput?” “Lo kira gue kambing?” Diva menyahut sewot dengan mulut penuh karna pentolnya membuat pipinya gemuk. “Mumpung gak ada Tiara. Kalo ada dia mah, jangan harap gue makan senikmat ini! Heran tuh anak, kok kenyang yah makan Cuma pentol doang? 2 biji pentol yang paling kecil lagi! Dan itu sudah dibilang sangat menggendutkan?! Gue mah dikasih porsi gitu, mending milih makan rumput kale...” Dia bergidik ketika Tiara makan hanya dua biji pentol yang paling kecil plus pangsit goreng yang paling kecil juga. Membuatnya hendak pingsan. “Lo bakal kena diare hebat kalo buatin sambel sebanyak ini! Kuah lo udah merah kebanyakan sambal tuh!” Andrew langsung menjauhkan tempat sambal dari jangkauan Diva ketika melihat gadis itu hendak menyendoknya dalam porsi besar untuk ketiga kalinya. Padahal sambal ini terkenal pedas dalam satu sendok kecil. Namun entah perutnya mati rasa atau gimana, gak ada pengaruhnya. Diva hanya manyun, “Kurang pedas, Andrew. Gak nikmat.” Rajuknya. Padahal wajahnya sudah sangat memerah karna kepedesan. Andrew mencoba mencicipi bakso Diva dan langsung mengambil air minum disampingnya sambil mengipas – ngipas mulutnya. Pedasnya serasa membakar rongga mulutnya. “Gak beres syaraf lidah lo.” “Cemen loh,” Ejeknya sambil memakan baksonya kembali dan Andrew hanya geleng – geleng melihatnya. “Lo sakit perut gue gak tanggung loh ya,” “Bodo.” Dia menyahut cuek sambil terus mengambil tempat sambal itu. Namun dihalangi Andrew. Membuatny manyun. “Kenyang?” Tanyanya ketika bakso itu habis tak tersisa di mangkoknya. Diva mengacungkan jempol puas. 2 mangkok bakso porsi jumbo plus 4 botol air mineral ditandasnya. Membuat pengunjung lain yang melihatnya, geleng – geleng kepala. “Mau bungkus gak?” Tanyanya sambil berdiri untuk membayar. Namun Diva juga berdiri dan berjalan di depan kasir. “Gue yang bayar. Lo udah keseringan bayarin gue. Lagipula, gue takut porsi gue bikin dompet lo jebol.” “Nyadar juga lo akhirnya bahwa tiap pulang habis makan, dompet gue pasti tinggal receh doang. Hahahaa...” “Gue selalu nyadar tanpa lo bilang, Ndrew.” Diva juga ikut tertawa. Plong hatinya sekarang. Kekesalannya pada Jo sudah terlampiaskan dengan makan besar. Membuat setiap langkahnya nyaman. Andrew hanya mengacak rambut pendek sahabatnya dan mereka berjalan ke parkiran motor. “Kemana lagi nih? Makan udah, ke Toko Buku?” dan Diva mengangguk. “Gue ikut kemana lo mau deh. Tapi ambil motor lo dulu di sekolah. Biar setelah dari toko buku, langsung pulang. Takutnya kita jalan ampe malam. Kan gak lucu ke sekolah malam – malam ambil motor doang.” Sarannya dan Andrew mengangguk. “Pintar juga lo. Yuk.. naik.” Jawabnya dan Diva langsung duduk manis diboncengan Andrew yang melaju membawa motornya menuju sekolah sebelum berangkat ke mall tempat tongkrongan mereka. --- “Eh... eh, Ndrew. Coba deh lo liat arah jam 12 dari gue, ada segerombolan cewek sinting liat lo mulu daritadi tanpa kedip tuh,” Coleknya ketika mereka berada di bagian majalah otomotif, melihat segerombolan cewek kayak tawon menunjuk kearah mereka dan tatapan mata memujanya ke arah Andrew yang cuek. Membuatnya gemas. “Ndrew! Sonooo... samperin fans lo!” Dia mencubitnya karna Andrew hanya melirik mereka sekilas, lalu membaca lagi. “Gue nyamperin? Terus gue bilang apa? Bilang “Hai.. kok liatin gue? Mau foto bareng yah? Yukk.. kita foto bareng. Mau tanda tangan juga? Atau nomor ponsel? Nih gue tulisin di kertas terus hubungin yah ntar.” Begitu?” Andrew menatap tajam Diva yang cekikikan dengan ide gilanya. Membuatnya bergidik ngeri.”Hiyyy... merinding gue!” Dan Diva langsung tertawa ngakak. Membuat para pengunjung melihat kearahnya dan Andrew langsung menutup mulutnya dengan telapak tangan dan melotot. Menyuruh diam. Melihat Diva tidak tertawa lagi. Dia melepasnya dan langsung merangkul erat di pundak. Membuatnya jumpalitan. “Eh... eh..., lo apain gue? Jangan rangkul! Haram hukumnya!” Diva berusaha melepas namun Andrew semakin erat merangkulnya. “Haram apaan? Lo udah pernah gue rangkul berkali – kali bahkan dipeluk, baru sekarang bilang haram? Ckckckkc...” Andrew tersenyum kearahnya lalu melirik segerombolan cewek yang ditunjuk Diva lalu menatapnya yang wajahnya memerah seperti kepiting direbus. “Ayoooo sayang...” Andrew berjalan sambil merangkul Diva dan sesekali mencium keningnya. Puas hatinya sekarang melihat sahabatnya seperti kucing betina yang jinak dirangkulannya. Diva menghela napas. Dia melirik segerombolan cewek yang diliatinya. Bisa dirasakan hawa pembunuhan mengental. Membuatnya entah harus tertawa terbahak – bahak melihat kecemburuan itu atau ikut dalam alur permainan Andrew. Dan dia memilih pilihan kedua. “Ayoooo sayang...” Diva melingkarkan tangan kirinya di pinggang Andrew dan tertawa terbahak – bahak ketika mereka sudah keluar toko buku. “Enaknya kita pulang lewat mana yah, Ndrew? Takut gue kalau dicegat fans – fans lo di toko buku pas dijalan. Habis gue. Mereka kalo cemburu, widihhhh.... Macan Afrika kelaparan mah lewat buasnya kalo dibandingin mereka.” Andrew tertawa mendengarnya. Mereka keliling mall dan melihat restoran es krim favorit Diva. Dia melirik gadis itu yang tatapannya sudah mulai lapar lagi. Padahal baru saja makan 2 jam yang lalu. “Mau masuk?” Tanpa perlu jawaban, Diva langsung menarik Andrew masuk kedalam restoran itu. Urusan dompet yang merongrong karna cekak itu belakangan, yang penting.... makan. Batinnya dalam hati. --- “Kenapa lo liatin gue mulu? Mau?” Diva berhenti memakan es krim serba cokelat porsi jumbo ketika melihat Andrew bertopang dagu sambil melihatnya makan. Dan dia menyuapi Andrew yang sukarela membuka mulutnya. Membiarkan es krim masuk dalam mulutnya plus buah ceri. “Gak... gue takjub aja liat porsi makan lo yang naudzubillah. Padahal ada gue loo...” “Emangnya kenapa kalo ada lo? Masalah gitu?” Diva berkerut kening sambil menyuapi Andrew lagi eskrimnya. “Gak... gue kan cowok. Yaa... seharusnya kalo cewek normal itu pasti limited banget soal makan. Alasan diet lah, kantong cekak lah, dsb. Dan lo enggak, mau kantong cekak kek, kantong jebol kek, makan nomor satu. Itu yang gue suka.” Ucapnya entah kenapa, membuat Diva tersipu. “Kenapa gue jadi dagdigdug begini?” “Apaan sih loh,” Dia mendorong pundak Andrew pelan dan memakan es krimnya lagi. Wajahnya memerah malu. Andrew hanya nyengir melihat perubahan wajah sahabatnya dan mengacak rambutnya hingga acak – acakan. “Kenyang...” Diva mengelus perutnya yang tetap ramping walau porsi makannya seperti seekor Gajah. Membuat Andrew yang memperhatikannya, bingung. “Lo gak cacingan kan?” Tanya Andrew sambil terus memperhatikan tangan sahabatnya yang berputar mengelus perutnya sendiri. Diva merengut dan menghentikan elusannya. “Sompret! Gue memang keturunan gak bisa gemuk walau makan sebanyak apapun. Bukannya cacingan!” dan Andrew tertawa mendengar omelannya. “Yaa.. untungnya lo gak bisa gemuk. Kalau iya, wah... mungkin berat badan lo seperti pemain Sumo. Hahahaa...” Andrew memperagakan para pesumo yang sering dilihatnya di TV. Membuatnya Diva tertawa melihat wajahnya yang lucu. “Hahaha... gue bayar dulu yah.” Katanya sambil memanggil pelayan untuk meminta bill. Ketika dia siap membayar, Andrew mengeluarkan kartu kreditnya. “Gue traktir. Dan jangan menolak.” Ucapnya tegas ketika melihat wajah protes dari Diva yang sudah mengeluarkan 100ribuan yang terakhir didompetnya. “Tapi kan, lo gak pesan apa – apa, Ndrew. Lo Cuma duduk manis sambil liatin gue doang. Gue gak mau terima.” Diva mengambil kartu kredit Andrew dan meletakkannya di depan cowok itu lalu meletakkan uangnya di nampan kecil tempat billnya. Namun, Andrew mengambil uangnya dan menggantinya dengan kartu kredit. “Gue mau nraktir. Kenapa sih?” Andrew heran dengan sifat Diva. Biasanya cewek suka ditraktir, apalagi tukang makan seperti Diva, tapi tumben dia gak mau dibayari. Waiters di depan mereka bingung dengan pertengkaran siapa yang harus membayar pesanan. Lalu dia berdehem pelan. Membuat Andrew dan Diva saling melirik ke arahnya dengan tatapan terganggu karna diinterupsi. “Maaf, mas, mbak. Jadi bayar pakai apa? Credit card atau cash?” Diva yang lumayan lola saat itu, menjadi keuntungan Andrew yang entah kenapa ngotot ingin membayar. “Pake credit card mbak.” Dia memberikan senyum termanisnya dan dengan patuh tanpa banyak cingcong, Waiters itu langsung menjauh dengan anggun dan wajah tersipu. Sedangkan Diva, hanya merengut karna kalah dan memasukkan uangnya kembali di dompet. Dan Andrew tersenyum penuh kemenangan. --- “Kita lucu yah, masa mau bayar pesanan aja pake debat segala,” Andrew tertawa terbahak – bahak mengingat kejadian di restoran tadi itu. Membuat Diva ikut tertawa. “Habisnya lo ngotot sih mau bayarin gue. Yang makan kan gue, kenapa jadi lo yang mau bayarin? Kan aneh.” Balas Diva disela tawanya. “Soalnya udah mau temanin gue muter – muter di toko buku. Itu kan keajaiban banget mengingat lo paling malas ke mall dengan pakai baju sekolah.” “Iya juga sih...” Diva mengangguk dan melirik Andrew dari samping yang kata mamanya, mirip artis Tom Cruise waktu masih muda. Membuatnya langsung searching di internet lalu mangut – mangut penuh semangat mengiyakan. “Kok gue bisa yah sahabatan sama cowok ganteng ini? Ckckck... hebat nasib gue.” “Diva... kemana lagi nih sekarang? Nonton?” Pertanyaan Andrew membuatnya sadar dari lamunan dan melirik jam tangannya lalu menggeleng. “Udah jam 8 malam nih. Gue takut dicariin. Tadi sudah bilang sih sama bokap kalo gue jalan sama lo. Tapi tetap aja.” Andrew mengangguk. Mungkin lain kali. Begitu pikirnya. “Yaudah.. yuk kita pulang.” Dia tanpa sadar menggandengn tangan Diva keluar mall menuju parkiran motor. “Gue yang bayar parkir motor.” Ucap Diva sambil naik ke motornya dan Andrew hanya tertawa sambil menyalakan mesin motor Ninjanya yang terlihat lebih gagah daripada kendaraan matic Diva. “Iyaa...iyaa... gue malas berantem di parkiran motor hanya karna siapa yang harus bayar parkir.” Ucapnya disela tawa lalu menutup wajahnya dengan helm. Membuatnya seperti pembalap profesional. Diva nyengir penuh kemenangan lalu membayar parkiran untuknya dan Andrew yang dibelakang. Lalu mereka keluar mall beriringan. --- “We just a Friend.” “Thanks.” Ucapnya ketika Andrew mengantarnya sampai depan rumah. Cowok itu membuka penutup helmnya dan tersenyum lalu tangannya menarik pipi tembem Diva saking gemasnya. “Aduh!” Jeritnya sambil mengelus pipinya yang memerah karna dicubit Andrew. Cowok itu hanya tertawa melihat wajahnya yang merengut. “See you tomorrow. Salam sayang ma ortu dan kakak lo, si Rere yah.” Diva mengacungkan jempolnya dan melambaikan tangan ketika Andrew menjalankan motornya dengan kecepatan penuh. Melihat sahabatnya sudah pergi, dia memasukkan kendaraannya dalam rumah. -- “Wajah lo kenapa?” Tanya Bian, sahabat Jo yang sekarang kuliah di Jurusan Kedokteran bingung melihat wajah sahabatnya memar seperti dihajar orang sekampung. “Di tonjok orang.” Jawabnya singkat. Membuat Bian tertawa. “Lo memangnya kenapa jadi ditonjok? Godain cewek orang yah?” “Gak... gue...” Jo menceritakan kejadian pagi tadi dan Bian hanya menggeleng. “Pantes lo dihajar. Kalau gue mah, jangankan lo, cowok lain aja yang berani ganggu kakak gue atau adik gue, Lista, gue hajar ampe mati. Bagus deh lo dihajar sama dia.” Bian menepuk pundaknya dan memasang wajah penuh simpati. Padahal berbanding terbalik dengan ucapannya. “Sahabat apa bukan sih lo?!” Bian hanya nyengir. “Gue Cuma mengungkapkan apa yang gue pikir. Dan itu wajar kan?” “Gue penasaran jadinya...” Dia mengepal tangannya. Sebuah senyum terlukis di wajahnya. “Liat aja, Ndrew. Gue buat sahabat lo jatuh cinta sama gue dan dia menjauh dari lo!” Dia tersenyum sinis dan Bian yang melihatnya, acuh tak acuh.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD