sebatas sahabat

3154 Words
Pagi ini, suasana di dalam rumah yang terlihat menarik itu sedang mengadakan sebuah acara. Orang-orang berdatangan dengan pakaian yang rapi serta dandanan yang elegan. Bunga-bunga bertebaran di halaman rumah tersebut dan di pintu gerbang. Beberapa orang saling menyapa satu dengan yang lain dan bersalaman. Suasana yang ramai itu berubah menjadi tenang tatkala seorang yang ditunggu-tunggu telah memasuki ruangan. Orang tersebut mengenakan kebaya berwarna hijau tua. Wajahnya terlihat cantik dan manis serta bersinar cerah, seperti sinar matahari pagi ini. Matanya menatap hangat sosok yang sudah lebih dulu duduk di depan meja kecil. Sekilas, sosok itu juga menatapnya hangat. “Bisa kita mulai sekarang?” tanya sebuah suara. Kedua orang itu mengangguk penuh semangat. “Ya… silahkan Anda ikuti apa yang akan saya ucapkan,” ucap suara itu lagi. Orang yang diberi perintah itu mengangguk pasti. Tangannya menjabat tegas uluran tangan kanan yang disodorkan oleh orang yang memberinya perintah barusan. Dengan cermat, orang tersebut mendengarkan setiap kalimat yang keluar dari bibir orang yang berada dihadapannya. “Saya terima nikah dan kawinnya….” “ANDREW!” Andrew terkesiap dan langsung bangkit dari tidurnya dengan satu gerakan cepat. Matanya menatap sekeliling dengan liar. Jantungnya berdegup kencang. Peluh membasahi pelipisnya. Napasnya terengah-engah, seperti sedang melakukan marathon. Suara keras dan cempreng itu berhasil mengembalikan Andrew ke dunia asalnya. Andrew kini menyipitkan mata menatap satu sosok yang sudah berdiri tegak di depannya, lengkap dengan seragam putih abu-abunya. Sosok itu menaikan satu alisnya dan berkacak pinggang. “Mimpi?” gumam Andrew pelan sambil memijat keningnya. “Heh, jelek! Lo tumben banget jam segini belum bangun? Biasanya elo yang bangunin gue!” seru suara cempreng yang tak lain dan tak bukan adalah milik Diva. Ya… ya… ya, hanya Diva lah, gadis yang dikenal Andrew memiliki suara cempreng. Andrew menatap Diva tepat di manik mata gadis itu. “Jadi yang tadi itu cuman mimpi, Diva?” Diva menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Emang lo mimpi apaan?” Andrew mengangkat bahu. “Gue mimpi gue nikah, Diva. Tapi, gue nggak bisa ingat siapa orang yang gue nikahin.” Andrew menerawang. Lalu, seakan baru ngeh kalau yang berdiri di depannya itu adalah Diva, sahabatnya yang selalu datang terlambat, Andrew berkata, “Lah? Sejak kapan lo ada disini?” “Dih?” Diva melempar guling ke muka Andrew. “Dari tadi gue berdiri disini, dodol! Mata lo buta, apa?!” seru Diva kesal. Gadis itu menggembungkan kedua pipinya, sehingga membuat Andrew terbahak karena pipi gadis itu menjadi tambah tembem. “Maksud gue, lo ngapain di rumah gue? Kenapa nggak langsung ke sekolah saja?” Diva berdecak dan memandang keluar jendela dengan tatapan kesal. “Motor gue bermasalah. Mau nebeng bokap, eeh, bokap malah udah berangkat. Ya sudah, gue kesini saja. Mau nebeng sama lo!” “Tapi kok tumben, elo bisa bangun ngalahin matahari?” tanya Andrew takjub. Laki-laki itu kemudian melirik jam beker yang berada di samping tempat tidurnya. “Baru jam enam lewat dikit, loh. Rekor seorang Diva, nih!” “Bawel!” bentak Diva. Gadis itu kemudian mengalihkan tatapannya dan memusatkan seluruh perhatiannya pada Andrew. “Gue nggak bisa tidur semalaman, nggak liat nih ada mata panda?” tunjuk Diva pada kedua matanya. “Kenapa nggak bisa tidur?” selidik Andrew. Diva menelan ludah. Duh, kalau gue bilang gue nggak bisa tidur karena takut sama si Jo, bisa-bisa bakalan ada pertumpahan darah lagi nih kayak kemarin, batin Diva. “Diva?” Diva tergeragap. “Eh? Eh? Iya, apaan, Ndrew?” Mata Andrew mulai terlihat garang. “Kenapa lo nggak bisa tidur?” “Hah? Ooh, itu… biasalah…. Insomnia gue kumat.” “Emangnya sejak kapan lo punya insomnia?” Matiiii! Diva mengutuk dirinya dalam hati. Kenapa sih gue bisa segoblok ini? Kenapa gue bisa lupa kalau Andrew itu salah satu orang yang paling tahu semua tentang gue, dari hal yang terkecil sampai hal terbesar? “Aaah, udah deh nggak usah dibahas,” balas Diva akhirnya setelah terdiam beberapa detik untuk mencari alasan yang pas yang akan dipakainya untuk membalas pertanyaan Andrew tadi. “Cepetan sana lo mandi! Gue tunggu diluar!” Saat Diva berbalik, kaki gadis itu terlilit selimut Andrew yang tergeletak dibawah. Diva yang tidak bisa menyeimbangkan tubuhnya, akhirnya pasrah ketika merasakan tubuhnya mulai tumbang. Namun, tanpa disangka oleh Diva, Andrew menahan lengan gadis itu dan memutar tubuhnya. Diva bahkan berani bersumpah jantungnya sempat berhenti berdetak ketika sadar bahwa posisi jatuhnya adalah, Andrew berada diatas tubuhnya! Keduanya tidak jatuh ke lantai. Tindakan Andrew tadi membuat keduanya jatuh diatas tempat tidur. “Diva? Lo nggak pa-pa?” tanya Andrew cemas. Laki-laki itu bisa melihat bahwa muka Diva sedikit pucat. Pandangan gadis itu juga tidak bisa diartikan. Diva menelan ludah susah payah. Dilihat dari jarak yang sangat dekat ini, Diva baru menyadari bahwa Andrew sangatlah tampan. Sial! Kenapa gue deg-degan?! Jerit Diva dalam hati. “Diva?” Andrew makin mendekatkan wajahnya pada wajah Diva. Posisi mereka masih sama yaitu dengan tubuh Andrew berada diatas tubuh Diva. “Diva? Lo bisa denger gue, kan? Lo nggak pa-pa, kan?” Sedetik… dua detik…. Diva mengerjapkan kedua matanya. Ketika dilihatnya bahwa jarak diantara dirinya dan Andrew hanya tinggal beberapa senti, seketika itu juga Diva mendorong tubuh Andrew sampai laki-laki itu terjengkang kebelakang dan jatuh terduduk di lantai. “AAAARRRGH, ANDREW! b******k LO! LO APAIN GUE?!” seru Diva ganas. Andrew yang sedang mengaduh kesakitan sambil mengusap pantatnya menatap Diva dengan tatapan tidak percaya. Mirip ikan mas koki. “Heh, gue tadi nolongin lo yang hampir jatuh. Lagian gue juga nggak napsu buat ngapa-ngapain lo, Diva! Nuduh kok sembarangan.” Diva tidak memerdulikan omongan Andrew yang seenak udelnya itu. Tanpa basa-basi, Diva bangkit dari duduknya dan melangkah keluar kamar. “Gue tunggu diluar! Buruan, ntar kita telat!” gerutu Diva. Tanpa disadari Andrew, wajah Diva mulai memerah. Kejadian tadi membekas dalam ingatannya. Ketampanan Andrew, hangat napas laki-laki itu, semuanya. Dan jantungya pun belum bisa diajak kompromi. Masih berdetak dengan liar dan hebatnya. Mengentak-entak dalam dadanya. Bahkan Diva yakin dia bisa terkena serangan jantung mendadak di usia muda. Sial! Diva duduk di boncengan motor Andrew dalam diam. Sepertinya gadis itu sudah mulai bisa beradaptasi dengan motor gede Andrew, sejak peristiwa kemarin. Andrew sendiri memilih untuk diam dan tidak mengajak bicara gadis itu. Pikiran laki-laki itu masih mengarah pada mimpinya. Mimpi yang menurutnya aneh. Dirinya menikah? Tapi… dengan siapa? Andrew yakin samar-samar dia melihat gadis yang akan dinikahinya itu, tapi dia tidak bisa mengingatnya. Dan entah kenapa, kalau teringat dengan mimpi itu, jantungnya berdegup kencang. Wajahnya terasa memanas dan dirinya menjadi sedikit salah tingkah. Sesampainya di sekolah, Diva memberikan helm yang dipakainya kepada Andrew. Gadis itu masih merasa deg-degan akibat kejadian di kamar Andrew. Dengan wajah yang menunduk malu, Diva melangkahkan kaki dengan gontai ke koridor sekolah, namun langsung ditahan oleh Andrew yang mencekal lengannya. “Diva? Lo kenapa, sih? Sejak kita ninggalin rumah gue, sikap lo jadi aneh gini….” Andrew berusaha mencari mata Diva. Laki-laki itu membungkukkan tubuhnya, guna menyejajarkan wajahnya dengan wajah Diva, namun gadis itu malah semakin menundukkan kepalanya. Tanpa bisa dicegah, kejadian Andrew berada diatas tubuhnya kembali terpampang di benaknya dan seketika itu juga, wajah Diva mulai memerah. “Diva? Lo sakit, ya? Muka lo merah! Jangan-jangan, lo demam, ya?” dengan santainya, Andrew mendekatkan wajahnnya ke wajah Diva, meletakan keningnya ke kening Diva, agar bisa merasakan suhu tubuh gadis itu. Diva tersentak. Gadis itu merasa suhu tubuhnya meningkat drastis. Darah mulai menguap dari tubuhnya. Jantungnya menendang-nendang dadanya dengan penuh semangat. Gadis itu hanya bisa terdiam, menatap mata Andrew yang teduh dan hangat. Napasnya bahkan tercekat di tenggorokan. Diva bahkan lupa, cara bernapas yang benar itu seperti apa. “Wah, iya Diva! Elo demam kayaknya! Kening lo hangat,” kata Andrew tanpa menjauhkan keningnya dari kening Diva. Sementara itu, Diva mendumel dalam hati. Iyaaa, Andrew t***l! Gue emang demam, dan oknum yang bikin gue demam itu ya kelakuan lo ini! Seru Diva dalam hati. “Wow…. Begini ya, yang namanya sahabat?” Satu suara bernada dingin itu mengembalikan Diva ke alam sadar. Andrew menarik tubuhnya dari Diva dan menatap tajam ke satu titik. Jo. “Nggak usah ikut campur.” Andrew menahan mati-matian emosi yang mulai membuncah dalam dirinya. Laki-laki itu tidak bisa untuk tidak menghajar Jo, apabila mengingat perlakuan laki-laki itu terhadap Diva tempo hari. “Gue kan Cuma bertanya, apa begitu yang dinamakan seorang sahabat?” “Apa maksud lo?” Jo bergerak maju mendekati Diva dan Andrew. Sejurus kemudian, Diva mulai disergap ketakutan. Gadis itu mencengkram lengan Andrew dengan kuat dan bersembunyi dibelakang tubuh tegap laki-laki itu. Melihat tindakan Diva, Jo justru semakin gencar untuk mendapatkan gadis itu. Matanya menatap Diva dengan kurang ajar. Jo menguliti tubuh gadis itu dan berhenti ke titik yang membuatnya tersenyum sinis. Diva menyadari apa yang sedang dipandang oleh tatapan mata Jo pada tubuhnya. Detik itu juga, Diva makin merapatkan tubuhnya dibelakang tubuh Andrew. “Kalau lo mau ngomong, pake mulut. Mata lo nggak usah ikutan maen!” desis Andrew tajam. Ada nada mengancam dalam suaranya. Jo langsung mengalihkan tatapannya dari Diva dan menaikan satu alisnya ketika menatap tajam Andrew. “Wah…. Ketahuan ya kalau gue lagi mengeksploitasi tubuh sahabat lo itu?” tanya Jo dingin. “Jangan salahin mata gue, dong. Salahin sahabat lo itu yang punya tubuh oke!” “b*****t!” Andrew mulai melangkah mendekati Jo. Laki-laki itu menarik kerah seragam Jo dan menatap nyalang laki-laki itu. Beberapa murid yang lalu-lalang, langsung berkasak-kusuk ketika menyaksikan keributan yang timbul akibat perdebatan antara Andrew dan Jo. “Berani… elo… ngomong… tentang… hal… hal… yang… menyangkut… Diva… gue… bersumpah… akan… membunuh… elo!” ancam Andrew dengan penekanan kata pada setiap kalimat yang keluar dari bibirnya. Diva yang melihat itu langsung mengambil tindakan. Didekatinya Andrew dan ditariknya lengan laki-laki itu pelan. “Ndrew… ini udah mau bel. Nggak usah lo layanin permainan dia,” bujuk Diva. Hal yang tidak mudah mengingat Andrew sudah mulai kehilangan kontrol. Tak lama, Andrew melepaskan cengkramannya pada kerah seragam Jo, membuat tubuh laki-laki itu terdorong beberapa langkah kebelakang. Masih dengan senyum mengejek, Jo merapihkan seragamnya. “Andrew Janson Maynard…. Elo itu terlalu naïf, ya? Lo itu sebenarnya suka kan sama cewek yang lo anggep sebagai sahabat lo, iya kan?” Jo menekankan suaranya pada kata ‘sahabat’. Andrew hanya diam. Namun sepasang mata elangnya tetap menguliti Jo. Sementara Diva, gadis itu deg-degan setelah mendengar ucapan Jo. Apa benar kalau… kalau Andrew suka padanya? Tapi… bukankah mereka bersahabat? “Gue nggak tau apa maksud lo ngomong kayak gitu, tapi gue tegasin satu hal sama lo. Gue dan Diva hanya bersahabat! Dia udah gue anggap sebagai adik gue sendiri. Karenanya gue ingetin sama lo, jangan pernah lo ganggu dia lagi, atau lo akan berurusan sama gue!” tegas Andrew. Laki-laki itu kemudian menggamit lengan Diva dan membawa gadis itu menuju kelas. Meninggalkan Jo yang menatap kepergian mereka dengan garang. Gue nggak tau apa maksud lo ngomong kayak gitu, tapi gue tegasin satu hal sama lo. Gue dan Diva hanya bersahabat! Dia udah gue anggap sebagai adik gue sendiri. Karenanya gue ingetin sama lo, jangan pernah lo ganggu dia lagi, atau lo akan berurusan sama gue! Ucapan Andrew tadi masih terngiang-ngiang di telinga Diva. Sekilas, Diva melirik Andrew yang sedang memperhatikan penjelasan guru di depan kelas. Tiba-tiba, Andrew menoleh. Otomatis, Diva langsung membuang muka setelah sebelumnya sempat tersentak karena tidak mengira Andrew akan memergokinya. Diva menggigit ujung pulpennya sambil menerawang. Apa benar… seorang sahabat tidak boleh menyukai sahabatnya sendiri? Apa benar kalau sekali bersahabat maka seterusnya akan tetap bersahabat? Apa seorang sahabat tidak boleh mengatakan pada sahabatnya kalau sebenarnya ada perasaan sayang yang lebih dari sekedar persahabatan? Diva menghela napas berat. Gadis itu bingung dengan perasaannya. Masa iya hanya karena kejadian tadi pagi di rumah Andrew, dia menjadi suka sama laki-laki itu? Masa sih rasa sayang sebagai sahabat kepada Andrew sekarang telah berubah menjadi rasa sayang terhadap seorang laki-laki? Apa sekarang… dirinya telah menganggap Andrew sebagai seorang laki-laki, bukan seorang sahabat? Diva menggeleng tegas dan menangkup kedua pipinya yang mulai terasa panas. Kenapa sekarang hanya dengan memikirkan Andrew, jantungnya berdegup kencang? Kenapa sekarang dia menjadi deg-degan? Lagi-lagi, Diva menghela napas panjang dan berat. “Diva, lo kenapa?” Ucapan itu sangat pelan, nyaris menyerupai bisikan, namun sanggup menembus kesadaran Diva. Diva yang sudah mengenali jenis suara berat yang menggelitik telinganya itu langsung menoleh ke samping dan terkesiap. Andrew! Andrew Janson Maynard sudah duduk tepat disampingnya. Tiara entah sudah pindah kemana. Namun, bukan itu yang membuat Diva membeku di tempatnya, melainkan jarak antara wajahnya dengan wajah Andrew. Sangat dekat! Lagi-lagi, Diva bisa merasakan hangat napas laki-laki itu. Aroma maskulin dari tubuh Andrew bahkan bisa tercium olehnya. Sedetik kemudian, Diva bangkit dari duduknya. Guru yang sedang menjelaskan di depan kelas, teman-teman Diva, bahkan Andrew, langsung menatap heran gadis itu. “Diva?” panggil Andrew. Nada suaranya menyiratkan kebingungan yang teramat sangat. Diva mengalihkan pandangan dan menatap sang guru yang masih setia berdiri di depan kelas. “Bu… saya… saya permisi sebentar ke toilet!” Diva langsung berlari dan meninggalkan kelas tanpa mendengar jawaban dari gurunya. Jantungnya berdebar-debar tidak karuan. Gadis itu tidak melangkahkan kakinya menuju toilet, namun ke atap gedung sekolah. Tempat para siswa biasa melarikan diri kalau mereka sedang jenuh dengan pelajaran. Satu kata yang sulit terucap… Hingga batinku tersiksa… Tuhan tolong aku jelaskanlah… Perasaanku berubah jadi cinta! (Zigaz- Sahabat Jadi Cinta) Diva menatap pemandangan dihadapannya dengan perasaan yang mulai sedikit tenang. Sepoi angin menerpa wajahnya, memainkan anak rambutnya. Ya, perasaannya sedikit membaik sekarang. Sekarang dia berada di lantai tiga, tepatnya di atap gedung sekolah. Berada dekat dengan langit. Diva menyesali tindakannya yang terlihat bodoh dan kekanakan. Lari dari masalah adalah tindakan seorang pengecut. Padahal selama ini, Diva selalu menghadapi semua masalahnya, tak peduli seberat apapun itu, karena Andrew akan selalu ada untuknya. Deg! Lagi-lagi hanya dengan memikirkan dan menyebut nama Andrew dalam hati membuat jantung Diva berdebar cepat. Ini benar-benar aneh! Masa sih dia suka sama sahabatnya sendiri? Imposibble! Nonsense! Nggak mungkin banget. Diva sudah terlanjur mengetahui semua tentang Andrew. Kelakuan, sikap, sifat, watak, semuanya. Dari hal yang paling baik tentang Andrew, sampai kelakuan busuk sahabatnya itu, Diva tahu semuanya! Semuanya secara lengkap. Nggak mungkin dong kalau sekarang tahu-tahu Diva malah… menyukai Andrew? “Lo aneh….” Diva terkejut dan langsung memutar tubuhnya. Andrew berdiri hanya 5 cm di depannya. Menatapnya dengan tatapan yang heran dan berusaha mencari tahu apa yang sedang terjadi melalui mata gadis itu. Diva membuang muka dan kembali memutar tubuhnya untuk melihat pemandangan yang terhampar. Andrew mendekati gadis itu dan berdiri di sampingnya. “Berapa lama sih kita saling kenal dan bersahabat, Diva? Kenapa sekarang lo malah seperti sedang menyembunyikan sesuatu dari gue? Kalau ada masalah, lo kan bisa cerita sama gue, jangan dipendam sendirian. Itu gunanya sahabat, bukan?” Andrew melirik Diva sekilas. Tatapan mata gadis itu kosong. Kedua tangannya mencengkran pagar besi yang ada dihadapannya. Andrew menghela napas dan mengikuti jejak Diva, menatap pemandangan di depan mereka. “Kalau ini tentang Jo, lo tenang saja. Gue yang akan jamin dia nggak akan ngelakuin hal kurang ajar kepada lo seperti tempo hari itu. Gue nggak akan biarin tangan haram dia menyentuh tubuh sahabat gue!” desis Andrew dingin. Darahnya mendidih ketika dia harus menyebut nama Jo. Ingin sekali rasanya menghadiahi laki-laki itu sebuah bom terdahsyat di abad ini, yang akan langsung menghancur-leburkannya menjadi serpihan-serpihan kecil, bahkan sebelum Jo bisa mengenali kalau benda tersebut adalah sebuah bom. Sementara itu, Diva berkecamuk dalam pikirannya sendiri. Gadis itu merasakan nyeri dalam hatinya. Benar-benar aneh. Hanya karena Andrew berkata bahwa mereka adalah sahabat, Diva merasa hatinya berdenyut. Hei, bukankah memang itu kenyataannya? Andrew Janson Maynard dan Diva Lucynda Evelyn memang bersahabat, bukan? Tidak akan pernah ada hubungan spesial diantara mereka berdua sampai kapanpun. Diva tersenyum getir mendengar kata hatinya. Tiba-tiba, dengan satu gerakan cepat, bahkan tanpa Diva sadari sepenuhnya, Andrew menarik lengannya, membawa tubuh gadis itu dalam dekapannya. Andrew memeluk tubuh Diva dengan keseluruhan fisik dan jiwanya. Andrew bisa merasakan bahwa tubuh Diva berubah kaku dan menegang, namun Andrew justru mengeratkan pelukannya. Rasa nyaman, aman, tenang dan damai menyelimuti tubuh Diva. Kini Diva lebih rileks menerima pelukan Andrew yang hangat namun terkesan tiba-tiba itu. Perlahan, kedua lengan gadis itu terangkat dan melingkarkannya di leher Andrew. Andrew tersenyum kecil ketika tahu Diva membalas pelukannya. “Mungkin sekarang lo belum bisa cerita masalah lo apa, tapi gue yakin lo bakalan cerita nantinya. Lo tau kan kalau gue selalu bisa lo andalkan? Gue sayang sama lo, Diva. Lo sahabat gue. Lo orang yang paling penting dalam hidup gue. Lo sudah gue anggap seperti adik gue sendiri, dan gue nggak mau sesuatu yang buruk terjadi sama lo….” Andrew berkata dengan nada tegas. Mendengar itu, hati Diva serasa diiris. Diva mencoba menahan airmata-nya agar tidak tumpah keluar, namun sia-sia. Semakin ditahan airmata-nya, rasa sakit dihatinya semakin kuat. Menyadari bahwa bahunya basah, Andrew berniat untuk menguraikan pelukannya. Namun tindakannya itu ditahan oleh Diva. “Jangan! Jangan dilepas pelukannya. Biarin seperti ini sebentar lagi…,” ucap gadis itu lirih dan dengansuara yang tersendat. “Diva? Lo nangis? Lo kenapa?” tanya Andrew cemas. Di bahu Andrew, Diva menggeleng lemah. “Gue… nggak… pa-pa… Ndrew. Biarin gue kayak begini, sebentar saja….” Airmata Diva mengalir dengan cepat. Namun gadis itu tidak berniat untuk menghapusnya. Andrew yang tidak mengerti hanya bisa mengangguk dan makin mempererat pelukannya pada Diva. Diva makin sesegukan. Hatinya makin berdenyut. Rasa sakit itu makin terasa dan Diva sama sekali tidak mengerti mengapa dia bisa merasakan rasa sakit itu. Namun, satu hal yang diketahui dan disadari Diva saat ini. Gue sayang sama lo, Ndrew… lebih dari seorang sahabat. Gue… gue suka sama lo. Diva mengaku dalam hatinya. “Apakah sudah bisa dimulai?” Dua orang yang duduk berdampingan itu saling menatap dan tersenyum dengan hangat lalu mengangguk mantap. Laki-laki itu menjulurkan tangan kanannya, menjabat dengan tegas uluran tangan yang disodorkan oleh pria paruh baya di depannya. “Anda ikuti semua ucapan yang saya katakan nanti…,” kata pria itu dan diangguki kepala oleh si laki-laki muda. “Saya terima nikah dan kawinnya Diva Lucynda Evelyn binti Surya Saputra Effendi dengan mas kawin seperangkat alat shalat dan Al-Qur’An dibayar tunai!” tegas si laki-laki muda. “Bagaimana para saksi? Sah?” tanya si pria paruh baya yang dijawab dengan koor oleh para tamu undangan. “Alhamdulillah….” Diva menjabat tangan laki-laki muda itu dan mencium punggung tangannya dengan pelan. Kemudian sang laki-laki tersebut mencium puncak kepala Diva dan memeluk tubuh gadis itu dengan erat. Lalu… Diva tersentak hebat dan langsung bangkit dari tidurnya. Napasnya tersengal dan jantungnya berdegup kencang. Diva mengerutkan kening dan berusaha mengingat lagi mimpi yang didapatnya beberapa saat lalu. “Mimpi? Gue mimpi nikah?” gumam gadis itu. “Tapi… sama siapa? Kok gue nggak bisa melihat dengan jelas, ya?” Tak jauh dari tempat Diva, Andrew juga tengah duduk bersila di atas tempat tidurnya. Laki-laki itu sudah terjaga lebih dari dua jam yang lalu. Namun, sejak dia terjaga karena mimpi yang didapatnya, sampai sekarang jantung Andrew masih berdebar-debar dengan hebatnya. Pikirannya hanya tertuju pada mimpi yang didapatnya. “Gadis itu… gadis yang gue nikahin itu… Diva?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD