you

2862 Words
Gwen menghabiskan waktunya sepanjang hari di rumah Tiara tanpa niat kemana – mana. Dia hanya berguling, tengkurap, rebahan, kemudian menatap kosong langit – langit kamar sahabatnya itu tanpa banyak komentar berarti. Bahkan usul Tiara ntuk keluar dari kamar- sekali saja sekedar makan malam dengan keluarganya – yang berarti secara tak langsung mengusir ia secara halus ntuk kembali pulang kerumah, ia tolak. Dia tak sanggup kemana – mana. Tak ingin meninggalkan jejak ditempat manapun dengan suasana hati seperti ini. Hal itu semakin membuatnya yakin ntuk menginap disini. Tiara menghela napas melihat sahabatnya tiduran di ranjangnya. Dia tau Gwen sudah menelpon kakaknya, Rere ntuk mengabarkan bahwa ia menginap disini dan memberi pesan kalau – kalau Andrew menelponnya, bilang pergi kemana saja asalkan tak memberitahu keberadaannya. Hal itu membuatnya menghela napas. Tak menyangka persahabatan selama 3 tahun yang terjalin penuh tawa dan canda itu, akan rapuh seperti ini. Lebh rapuh dari rumah bobrok. “Gwen..” Panggilnya ketika sahabatnya itu duduk di atas ranjangnya sambil mengubek – ubek isi tas lalu mengeluarkan semua isinya. Berusaha mencari kesibukan. “Makan yuk. Lo gak makan ’kan daritadi?” Tanyanya sambil membawa nampan berisi nasi putih dengan lauk ayam bakar penyet super pedas dan semangkuk cah jamur kesukaannya serta jus melon. Dalam kondisi normal, mungkin Gwen akan bertepuk tangan seperti anak kecil dikasih makanan kesukaan, tapi dengan kondisi seperti ini, dia hanya menggeleng lemah. Tak bernafsu. “Makasih, Tiara. Tapi gue gak lapar.” Ia menjawab dengan tatapan fokus ke arah Tiara. Menguatkan penolakannya. Tiara mendesah pelan dan meletakkan nampan berisi makanan kesukaan Gwen itu di meja kecil samping ranjangnya. Lalu duduk menyamping dan tersenyum penuh pengertian. Berusaha memberitahu pada sahabatnya ini, bahwa masih banyak cowok yang jauh, jauh lebih baik, tak b***t di dunia ini. Dan menyayanginya. Tentu saja. “Termasuk Andrew.” Batinnya menjawab spontan. “Gwen..” Dia mengelus rambut sahabatnya itu. “Jangan siksa diri lo dengan cara seperti ini. Lo harus makan kalau gak mau sakit. Please, Gwen.” “Tapi, Tiara, Gue gak—“ “No more argue, Gwen.” Potongnya cepat dan menggenggam tangan Gwen yang terasa rapuh. “Kalau lo ngeyel gak mau makan, jangan salahin gue akan...” “Akan apa?” Gwen mengikuti gerakan Tiara yang mengeluarkan ponsel dari sakunya. “Akan nelpon Andrew dan bilang sejujur – jujurnya kalau lo ada disini dan –“ “Oke... oke!” Gwen mengangkat tangan dan berteriak frustasi ketika Tiara tersenyum kemenangan. “Gue akan makan.” Putusnya lalu mengambil ponsel Tiara dan menyembunyikan di saku seragamnya. Dia tak mau kecolongan. “Asal ponsel lo ada di tangan gue.” “Silahkan.” Tiara tersenyum dan mengangkat nampan dari atas meja lalu meletakkan di atas ranjang. Biar saja ponselnya disita Gwen semalaman, asalkan sahabatnya mau makan. Gwen menatap menu kesukaannya itu dengan tak berselera dan memasukkan makanannya perlahan ke dalam mulut lalu mengunyah pelan. Makanan ini enak, sangat enak. Tapi ada yang kurang. Ada yang hambar. Tentu saja. dia tau apa yang membuat semua makanan kesukaannya menjadi tak berasa. “Biasanya...” Gwen mendesah sambil menyuap lagi makanannya ke dalam mulut. ia menatap makanannya dan Tiara secara bergantian dengan menerawang. Seolah tubuhnya ada disini, jiwanya terbang entah kemana. “Andrew akan menyuapin sambil ngomel – ngomel mengalahkan mama kalau gue gak mau makan. Dia akan menyuapi gue dengan porsi besar tanpa tanggung – tanggung. Gak peduli kalau pipi gue menggembung kayak balon saking banyaknya. Tapi gue suka. If you wanna know how it felt, that so comfortable, Tiara.” Suara lirih itu membuat Tiara terhenyak ketika Gwen tetap melanjutkan makannnya dengan air mata menetes di pipi. Membasahi pinggiran piringnya. “I know, love, (I'm a sucker for that feeling), Happens all the time, love, (I always end up feelin' cheated.), You're on my mind, love, (or so that matter when I need it.), It happens all the time- love, yeah. Will he love me like I loved you?, Will he tell me everyday?, Will he make me feel like i’m invincible with every word he'll say?, Can you promise me if this was right: Don't throw it all away?, Can you do all these things?, Will you do all these things, Like we used to?, Oh, like we used to... *A Rocket To The Moon - Like We Used To* *maaf, liriknya aku ubah yah. soalnya ini yang nyanyi sebenarnya cowok dan biar matching gitu ama ceritanya. ‘_’v *author seenak jidat. ♥ ♥ Andrew tak keruan rasa di kamar. Dia hanya berguling seperti trenggiling, lalu tengkurap dengan tangan terentang lebar melewati ranjang seperti penyu terdampar di tengah pasir, hingga akhirnya berubah posisi menjadi telentang dengan kedua lengan dijadikan alas kepalanya. Persis seperti orang berjemur di tengah pantai tropis tanpa pelindung apapun. Dia menatap langit – langit kamar dengan membuang napas lalu menariknya kembali. hanya ada satu kata yang sukses membuat ia seperti ini. membuatnya seperti cowok pengangguran, dipingit, apapun sebutannya. Gwen. “Tuhan..” Dia menutup wajah dengan kedua tangan dan mengusap keras. Dia sungguh frustasi sekarang dengan perubahan Gwen. Dia tak sanggup menerima semua perubahan ini. tidak bisa. Betapa dia merindukan Gwen yang hangat setiap mereka bertemu, yang selalu membuat ponselnya berdering sepanjang waktu dan terdengar jeritan minta tolong dari seberang sana ntuk diselamatkan dari masalah yang ia buat sendiri, membuatnya mengomel tanpa henti namun tak berhenti mencemaskan. dia menikmati semua itu hingga terasa sakit ketika kehilangannya. “Apa gue mencintainya? kalau iya, kenapa gue malah bilang itu semua akal – akalan ntuk bikin dia senyum lagi? Oh Tuhan.. betapa bodoh, pengecut, sinting hambaMu yang satu ini.” Andrew menggumam sambil mengambil bantal lalu menutup wajahnya dan menekan kuat – kuat hingga ia tak bisa bernapas. Sekedar ingin tahu apakah sakit yang ia rasakan sekarang ini sama dengan sakit apabila ia menekan bantal terlalu keras ke wajahnya hingga tak bisa bernapas. Aku baru tau kalau sakit dihati lebih mengerikan daripada sakit di fisik. Kenapa? Karna kau tak tau dibagian hati mana yang teriris luka, yang meneteskan darah terus menerus, dan kau tak bisa melakukan apapun selain merasakannya hingga kau lelah menanggung semuanya. Tapi... Apa yang harus dia lakukan ketika ia mengucapkan kalimat sakti- yang konon bisa membuat siapa saja memeluk bahagia atau tersenyum malu itu, ternyata membuat Gwen pucat seperti ia baru saja berkata ingin pergi ke medan perang dan tak tau kapan kembali. wajah pucat pasi itulah yang membuat ia tanpa sadar mengatakan bahwa semua ini adalah lelucon belaka! BAH! “Andrew.. Andrew kenapa, sih, lo bisa g****k banget kayak gini?! Lo cowok pinter apa anak bawang?!” Gerutunya sambil duduk di tepi ranjang dan mengacak – acak rambut. Dia sungguh frustasi hingga mendekati gila. “Apa yang harus gue lakuin agar lo seperti dulu, Gwen? Don’t you know that, i really, really missing about us.” Ponselnya berdering dan dia melirik malas. Sms dari nomor tak dikenal itu awalnya membuat ia berkerut kening, tapi ketika ia membaca isi pesannya, mau tak mau dia tersenyum miris. Dengan cepat ia membalas sms itu dan melempar kembali ke belakang- entah mendarat dimana ponsenya itu, dia tak peduli. Dia hanya peduli dengan hatinya yang masih berdenyut sakit. “Gue benar – benar cinta sama lo kayaknya, Gwen. Semoga lo juga.” From : 081xxx Andrew, Ini gue Tiara. Lo jangan khawatir, Gwen dirumah gue dengan yah.. you know what deh. dia mau makan dengan sedikit paksaan. Kalau lo tanya ponsel gue lari kemana, silahkan tanya sahabat tercinta lo itu. yang jelas, dia aman sama gue dan lo bisa bernapas tenang. Reply to : 081xxx Thank you so much, Tiara lo udah kasih tau kabar Gwen. Keep in touch yah tentang dia. gue ingin tau sedetail apapun tentang Gwen. Gue tersiksa, Tiara. Tapi.. gue gak mungkin muncul kan? gue titip salam dan bilang sama dia kalau memungkinkan... Gue mencintai dia, entah sejak kapan. Dan maaf kalau baru sadar sekarang dengan semua ini setelah semuanya mungkin agak terlambat ntuk mendapat balasan. “And don't you know, My heart is pumping, Oh, it's putting up the fight. And I've got this feeling, That everything's alright. Don't you see? I'm not the only one for you, But you're the only one for me... (Secondhand Serenade-Stay Close, Don’t Go) Tiara menghela napas membaca pesan balasan Andrew dari ponsel cadangan yang selalu ia simpan di lemari belajarnya. Dia melirik Gwen yang meringkuk di sudut ranjang seperti janin dalam kandungan. Dia mematikan ponselnya itu lalu meletakkan kembali dalam laci, kemudian mendekati Gwen dan mengelus rambut hitam sahabatnya itu dengan sayang, kemudian membungkukkan badan agar bisa berbisik, “Tersenyumlah, Gwen sekarang, Andrew mencintai lo.” ♥ ♥ Andrew bolak – balik di depan gerbang sekolah persis seperti kucing jantan kebingungan ingin melamar kucing betina pujaannya. Jam tangan pemberian Gwen yang ia nobatkan menjadi barang paling ia sayangi itu sudah ratusan kali ia pandangi dan menunjukkan dengan malas dan lambat jarum panjang semakin maju mendekati bel masuk bernyanyi. Namun yang ia tunggu tak kunjung tiba. Membuat ia frustasi sekali lagi. “Nunggu Gwen, Ndrew?” Suara berat itu tau – tau berdiri di belakang dan membuat ia nyaris melonjak kaget. Dia berdehem lalu melirik Tom yang sekarang menepuk pundaknya seolah ia sahabat lama. bukan beberapa hari yang lalu baru masuk ke sekolah ini dan mengetahui masalah penting kenapa Gwen, sahabat yang diajak kenalan itu membuatnya ketakutan. Yah.. Tom tau masalah dia, Gwen, dan Jo yang lebih mirip seperti lingkaran setan dengan gadis itu sebagai tumbal persembahan. “Sialan lo, Tom! Gue kira si Jo!” “Yaaa maaf. Habis lo mondar – mandir mulu sih daritadi, makanya gue samperin. By the way, denger cerita lo kemaren soal dia ama Gwen, bikin gue penasaran bagaimana wajah tuh anak. Secara.. dia kan gak masuk beberapa hari?” “Ehm.. kayaknya ada yang mencari gue nih.” Terdengar nada suara berat bercampur geli di belakang mereka. Membuat Andrew membeku di tempat. Dia merasakan peredaran darah di tubuhnya berhenti di satu titik. Membuat ia merasa menggigil menahan emosi yang meletup – letup. Dia berbalik dan menatap Jo yang hanya tersenyum sinis. Tak mempedulikan bahwa kehadirannya membuat cowok di hadapan ia ini ingin melayangkan satu atau dua tonjokan di wajah. “Ngapain lo disini?” “Ngapain gue disini?” Jo mengulang kalimat itu dengan nada geli dan tertawa terbahak – bahak. Seolah – olah Andrew sedang melempar lelucon super lucu hingga ia merasa kram di perutnya. “Tentu saja ntuk sekolah, Andrew. Tapi kalau lo mau jawaban jujur, tentu saja gue pengen ketemu Gwen. Sahabat lo yang—“ “Jaga omongan lo, son of b***h!” Andrew menarik kasar kerah bajunya dan berbisik garang tepat di depan muka. Dia takkan terima tujuh turunan Jo menghina sahabat yang ia cintai itu! “Sudah, Andrew.. udah..” Tom menarik mundur lengan Andrew agar melepas pegangan di kerah Jo yang tak terintimidasi dengan tatapan cowok yang siap menghajar ia hingga babak belur ini. Tarikan di lengannya membuat ia dengan terpaksa melepas kerah baju Jo dengan gigi saling bergemeratak menahan emosi ntuk tak melayangkan pukulan bertubi – tubi. Sedangkan Jo, merapikan bajunya yang kusut dan tersenyum seolah tak terjadi apa – apa. Dia pura – pura buta bagaimana ekspresi Andrew yang siap membunuhnya itu dengan tangan terkepal dingin dan anak baru-entah siapa namanya dia tak peduli, menatap ia tajam sambil menahan lengan Andrew agar tak menyerangnya. Semua itu membuat ia tersenyum sinis. “See you at class, Andrew.” Ucapnya dan dia merangkul tas dengan sebelah pundak dan berjalan santai masuk seolah tak ada apa – apa. Melihat kepergian Jo yang seperti pahlawan yang selamat dari medan perang, membuat ia menatap Tom dengan tatapan apa-lo-gila–hah! “Kenapa lo tahan gue, Tom?! Dia menghina Gwen dan gue gak terima! Lo seharusnya biarin gue hajar dia! bukannya nahan seperti anak kecil yang takut ketika ada ular gede di depannya!” “Justru gue sedang nyelamatin lo dari ancaman kursi panas BP, Andrew. Jo sengaja begitu karna dia ta kelemahan lo dan memanfaatkannya! Dia ingin liat lo kalah, Andrew! Gue tau lo eneg liat mukanya, dan gue pun juga begitu, tapi bukan lewat emosi lo bisa numpahin semua itu dan biarin dia menang. Lo harus tenang dan terlihat tak terpancing dengan semua umpan busuk itu.” Ucapan bernada tenang itu membuat ia terdiam. mencerna setiap perkataan Tom dalam otaknya dan dalam hati dengan sangat, sangat terpaksa, mengiyakan semua ucapan itu. “Lo tau..” Andrew menatap Tom yang hanya angkat bahu, “Ucapan sok bijak lo itu adalah alasan gue masuk Rumah Sakit Jiwa suatu saat nanti.” “Gue akan menjenguk lo tiap hari kalau sampai terjadi, Ndrew.” “Hayooooo...” Sebuah tepukan ringan mendarat di punggung Andrew dan membuat cowok itu terkejut lalu menoleh ke belakang. dia melihat Arny tersenyum manis. “Lo berdua ngapain disini? Part time menjadi satpam sekolah, yah?” Tom menggeleng dan mengedipkan mata ke arah Arny. Membuat cewek itu berkerut kening semakin dalam. “Gue lagi nungguin lo. cewek yang menjadi tulang rusuk gue yang hilang sejak dalam kandungan nyokap.” Andrew hampir saja menyembur tawa mendengar ucapan Tom yang gombal itu. dia melirik Arny yang tersenyum sekilas lalu menatap cowok di sampingnya itu. “Lo masih percaya kalau kita jodoh, Tom?” Dan Tom mengangguk penuh mantap. Semanta ketika ia ditanya apakah dirinya benar – benar anak SMA atau bukan. “Maka lo jangan patah hati, Tom.” Jawab Arny dan Tom tersenyum geli mendengarnya. Sungguh, gadis di depan dia ini sanggup membuat isi kepalanya serasa jungkir balik. “Terimakasih atas peringatan dininya, Arny.” “Hai...” Sapaan riang dari belakang Arny membuat mereka bertiga menoleh. Andrew merasa semua kecemasan yang memberati punggungnya, kini terbang bebas ke awan ketika melihat Gwen memeluk erat lengan Tiara. Tatapan mata mereka bersirobok dan ia menghela napas miris ketika mata yang ia rindukan hingga nyaris gila itu cepat – cepat beralih ke arah lain dengan tatapan ketakutan. Gwen merasa sekujur tubuhnya dilempari oleh batu besar dari belakang. tangan Arny yang bergelayut manja di pundak Andrew membuatnya sakit sendiri. keakraban telak seolah membenarkan semua dugaannya tepat di depan mata membuat ia ingin menjauh sekarang juga. Dia tak sanggup melihat orang yang ia cintai entah sejak kapan, saling merangkul tepat di depannya. Lebih baik dia mati daripada melihat itu semua. “Hai, Gwen.” Sapaan Andrew seolah menyiram alkohol di lukanya yang masih berdarah. Sakit. Dia membuka matanya yang sempat terpejam ntuk mengurangi rasa sakit itu dan merasakan suaranya bergetar. Entah menahan tangis yang hendak meluncur keluar, atau ketakutannya akan cowok. “H-ha-i, N-ndrew.” Tom tersenyum mengerti mendengar balasan Gwen. Dia melirik Andrew yang menghela napas berat dan wajahnya semakin miris saja. entahlah, melihat semua itu membuat ia merasa simpati. “Halo, Tiara, Gwen. Tumben datang pagi.” “Emangnya lo mau kami datang jam berapa, Tom? Subuh?” Semprot Tiara membuat ia tertawa terbahak – bahak. “Duilee.. galak amat lo, Tiara. Kan gue Cuma nanya doang. Soalnya lo selalu datang paling akhir dan hampir beberapa kali dicegat satpam , kan?” “Are you stalking me, Tom?” Desis Tiara mati kutu karna tingkahnya yang hampir selalu dicegat satpam setiap ia nekat menerobos pagar sekolah, diketahui Tom, si anak baru tengil ini. “Gue suka melihat keadaan sekitar, Tiara.” “Lo udah sarapan, Gwen?” Tanya Andrew sambil mendekati Gwen yang spontan langsung menjauh. Membuat ia memilih mundur selangkah dan hatinya merasa teriris ketika Gwen menghela napas lega. “U-udah kok ama Tiara.” Tiara merasakan lengannya dicekal semakin erat. Tanda Gwen ingin melarikan diri dari situasi ini. dia menatap Andrew dan menghela napas. “Permisi bapak – bapak penjaga gerbang, kami mau lewat.” Ucapnya membuat Tom tergelak dan membungkukkan badan persis seperti prajurit menyambut kedatangan ratu. “Silahkan Ratu Tiara, Ratu Gwen.” “Gue ikut.” Arny melepas rangkulan di pundak Andrew dan menghampiri mereka berdua. “Yuk.” Ajak Tiara dan mereka berjalan bertiga memasuki kelas. Meninggalkan Andrew yang tak lepas menatap kepergian Gwen. Melihat itu, Tom menepuk pelan pundaknya. “Sabar, Drew. Mungkin Gwen butuh waktu ntuk pulihin ini semua.” Andrew mengangkat bahu dan tatapannya beralih ke arah Tom yang sekarang tersenyum sendiri seperti orang gila. Sebuah pemikiran hadir mengetuk otaknya. “Lo naksir ama Arny, yah?” “Hah?” Tom melongo bego. Terlalu kaget dengan pertanyaan Andrew hingga otaknya error seketika. Dan tawa Andrew meledak. Cukup ntuk mengurangi sedikit sakit di hatinya. “Lo naksir sama Arny, yah?” Melihat Tom hanya melongo bego, dia melanjutkan. “Kalau iya, gue bisa kok bantu lo supaya deket ama dia. bahkan pacaran.” Tawaran manis itu langsung ia sambar tanpa menunggu pengulangan. “Serius lo bisa?” “Yaiya dong!” “Yakin banget. gue gak percaya ama lo yang lebih mirip tukang tipu daripada pencomblang handal.” “Sialan!” Andrew langsung menepuk kepala Tom dengan keras hingga cowok itu kesakitan. “Lo harus yakin sama gue, Tom.” Ucapnya sambil ngelonyor pergi dengan tas tergantung d pundak kanan. Nada percaya diri tinggi itu membuat Tom mengekor di belakangnya dengan penuh antusias. Persis seperti anak kecil yang mengikuti kemanapun kakeknya pergi ketika tak mendapat jawaban yang memuaskan. “Oh yah? kenapa?” “Karena..” Tau – tau Andrew berbalik badan dengan cengiran semakin lebar. “Dia mantan pacar gue.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD