"Hahh… "
"Ada apa, tidak suka dengan saya?" Adyatma Mahavir Bagaskara, lelaki tinggi berwajah tampan pahatannya begitu sempurna dengan badan yang profesional, tapi salahnya apa? Kok menatap dingin begitu?
"Oh? Tidak pak."
Anindya langsung nahan nafas, takut salah lagi. Jangan sampai nambah masalah, masalahnya sudah terlalu berat buat berurusan sama bos barunya ini.
Bukan apa-apa, sejak Anindya masuk ruangan yang biasanya penuh semangat tiba-tiba suram.
"Ada lagi pak, yang perlu saya catat?" Tanya Anindya siap mencatat apa yang tidak lelaki dingin sukai.
"Kamu."
"Oh?"
"Ah oh ah oh. Saya bilang kamu. Catat itu, saya tidak suka padamu."
Lah? Yang suka sama anda siapa ya? Kalau saja Anindya bisa mengatakan itu langsung, mungkin saat ini gelas di tangan orang itu melayang ke arahnya.
"Baik pak."
"Keluar lakukan dengan benar saya tidak suka kegagalan."
"Baik pak, permisi." Anindya balik badan, perlahan melangkah keluar. "Bosmu menyeramkan." Bisiknya ketika berpapasan dengan Fabian Antoine sekretaris pribadi tuan Dante yang tidak lain sahabat Adyatma Mahavir Bagaskara.
Jabatan mereka hampir sama, hanya saja tugas Fabian menemani tuan Dante diluar hotel, sementara Anindya berkuasa di dalam hotel.
Lelaki itu hanya tertawa kecil menghampiri Adyatma. "Selamat pagi bos."
"Hem."
"Idih, sok keren."
"Sialan."
Bian tertawa mengulurkan tangan. "Selamat datang bro, gue harap lo betah disini Adyatma jangan kabur-kaburan lagi." Katanya membuat lelaki itu mendengus kesal.
"Tidak usah di ungkit bisa kali."
"Bisa asal pinjam seratus."
"Miskin amat."
"Setan."
Lagi-lagi Bian tertawa lalu duduk dan berkata, "Gue berharap Lo tetap disini bro beneran. Kesehatan kakek bermasalah, karena itu gue seret Lo balik biar bisa gantikan beliau."
"Kenapa harus saya? Ada tuh cucunya yang lain."
"Lo cucu kandungnya bego, otomatis semua warisan jatuh ke elu. Pake otak lah."
"Ckh, serah. Kakek dimana sekarang," tanya Adyatma. Tatapannya tertuju pada layar laptop miliknya, melihat biodata lengkap seorang Anindya Basmara.
Aku menemukanmu. Batin Adyatma menahan gejolak gembira. Gadis itu benar-benar Anin si gadis penolongnya.
***
"Kemana sebenarnya Anin? Apa dia di dalam sana?" Caka terus bertanya pada dirinya sendiri kemana Anindya.
Caka keluar dari mobil, tatapannya tertuju pada gedung hotel berbintang tujuh sudah pasti fasilitas dan pelayanan yang melampaui standar tinggi yang ada.
Karena itu, Caka sering merasa kesal bila melihat jabatan Anindya lebih tinggi darinya.
Merasa direndahkan.
"Setelah menikah, Anindya harus keluar dari pekerjaannya gue nggak mau tau. Ckh." Caka merogoh saku mengambil benda pipih hadiah ulang tahun dari Anindya.
Lebih tepatnya, ngotot pengen dibelikan iPhone keluaran terbaru oleh Anindya biar nggak ngerasa direndahkan. What??
Terlebih Anindya sering mendapat bonus dari bos nya, sudah pasti Caka tidak akan menyia-nyiakan kesempatan itu. Hanya saja bila Anindya bertahan di dalam sana setelah menikah, sebagai laki-laki dia akan kalah dan Caka tidak suka.
Anindya menghela nafas panjang melihat beberapa karyawan yang kenal dekat dengannya menunggu di luar ruangan GM.
"Apa yang terjadi, kenapa batal?"
"Sudah pasti calon suaminya selingkuh. Iyakan mbak?"
"Tapi nggak mungkin, gue liat calon suaminya keliatan orang baik-baik."
"Don't judge the book by its cover, sama seperti cover luarnya serem tapi dalamnya nggak, begitu juga sebaliknya. Nothing is impossible."
Gio berdehem, lelaki Jawa itu mendekati Anindya. "Mba Kinan sama yang lain Anind saya bawa dulu, penting." Ucapnya pada seniornya kemudian menarik Anindya pergi.
"Lho, kok gitu? Mas Gio mah, kita juga pengen tau kali kenapa nikahan mbak Anin gagal." Kata Alesha salah satu orang yang terlalu ingin tahu kehidupan seorang Anindya.
Alesha ingin mendengar pembelaan Anindya berharap bisa menemukan cerita seru hari ini terlebih itu soal Anindya.
"Udah udah bubar, itu urusan Anind lebih baik balik ke posisi masing-masing sebelum GM keluar. Yang ada Anindya lagi yang kena." Kinan tau banget Alesha seperti apa, mulutnya ember.
"Untung belum dateng kemarin, kalau nggak rugi duit undangan." Celetuk Alesha berlalu pergi.
Kinan hanya geleng kepala.
"Rumahnya, yakin mau banting harga gitu aja?" Tanya Gio tanpa sadar tangannya masih memegang lembut pergelangan tangan Anindya.
"Mau gimana lagi, gue butuh. Terus sekarang tinggal dimana?"
"Di,"
"Oh, jadi ini alasannya."
Anindya sama sekali tidak terkejut, dia tau ini akan terjadi. Berbeda dengan Gio merasa tidak enak hati takut Caka menyudutkan Anindya dengan tuduhan yang tidak jelas.
"Nin," Gio melepas pegangan ketika melihat lirikan tajam Caka.
Anindya pun berkata pada Gio, "Soal tadi nanti kita obrolin lagi." lalu balik badan menatap Caka.
Sorot mata tajam penuh emosi Caka tak membuat Anindya takut. "Kita ke tempat lain mas, nggak enak disini." Ajak Anindya.
"Takut ketahuan selingkuh?" Senyum Caka merekah, terlihat remeh.
"Sorry, tapi ini bukan seperti…" Gio menghela nafas panjang.
Anindya lebih dulu menarik Caka keluar dari area lobi hotel, dan langkahnya terhenti ketika Caka menepis pegangannya kasar.
"Aku benar-benar rendah ya di matamu dengan apa yang kamu punya selama ini?"
Bayangan ketika Anindya berada di ambang kematian terlintas, membuat dadanya sesak namun mencoba tersenyum walau gemuruh suara memintanya memukul pria di hadapannya terdengar jelas.
"Mas, aku nggak pernah berpikiran seperti itu. Kenapa selalu kesana pembahasannya?"
"Kenyataan Anindya."
"Soal apa?"
Kamu tanya soal apa? Jangan-jangan apa yang kulihat hari ini lah yang mengacaukan pernikahan kita. Benar?"
"Kamu salah mas, aku sama Gio cuman temen seperti kamu dan teman-temanmu."
"Cih, setelah kemarin mempermalukan aku dan keluargaku, kamu masih bisa santai masuk kerja. Apa kamu nggak punya malu Nin? Pernikahan kita di tunda tanpa alasan yang jelas. Sebenarnya apa yang terjadi sama kamu Nin, kenapa tega batalin mimpi kita. Kenapa Nin, kenapa? Jawab aku." Caka tak dapat menahan emosi meninggikan oktaf suara, alhasil beberapa orang terlihat menyorot keduanya.
"Karena aku sudah tau siapa dirimu sialan." Seandainya Anindya tidak memikirkan jalan kedepannya, mungkin saat ini tamparan sudah ia layangkan.
Inilah Caka dan dramanya, bodohnya Anindya dulu mau-mau aja di bodohi oleh drama lelaki tak tahu malu ini.
Sedari tadi kesabarannya diuji dengan terus berucap lembut, menahan gejolak ingin membunuh lelaki di depannya. Sabarnya benar-benar dibuat seluas mungkin agar tetap pada rencana.
"Kasih aku jawaban yang masuk akal Nin, aku punya salah sama kamu? Apa ibu melakukan sesuatu sampai tega kamu buat aku malu." Kata Caka masih menuntut penjelasan atau mungkin pembelaan Anindya.
"Maaf mas, aku belum siap. Nikahan kira cuman di tunda mas, bukan batal."
"Cuman katamu? Wah," Caka mengepalkan tangan, menatap Anindya nyalang. "Pernikahan yang katamu cuman adalah impian kita, Nin. Mas mau bahagia sama kamu, menua bersama kamu. Tapi apa?"
Tai kucing menua bersama. Mati di tanganmu, iya. Batin Anindya.
"Kamu nggak rugi apa-apa loh mas, aku yang keluarin uang buat_"
"Oh, jadi mau mengungkit itu. Mulai pintar hitung-hitungan sekarang? Biar apa Nin, aku butuh penjelasan bukan dihina seperti ini."
"Mas, aku hina kamu dimana nya sih? Yang kukatakan emang_"
"Itu kamu hina aku Nin. Sumpah Nin, apa seperti ini watak perempuan yang aku perjuangkan bahkan di saat harus melawan wanita yang melahirkan ku."
"Mas,"Anindya menahan geram. Kedua tangan nya mengepal kuat di sisi tubuh ramping miliknya.
Tatapan Anindya mungkin terlihat biasa saja, namun seseorang dapat melihat ada luka besar di sana.
Caka menarik tangan Anindya, memberikan catatan tamu undangan.
"Ini, kamu ganti semuanya. Kamu kan yang bilang semua uang dari catering pernikahan segala embel-embel nya kamu yang bayar. Nah, ini sekalian."
Dengan bingung Anindya membuka catatan undangan tersebut, matanya membulat sempurna. "Ma-mas, kamu buka undangan_"
"Ibuku yang melakukannya." Potong Caka tanpa malu mengakui perbuatan ibunya.
"Terus kenapa aku yang mesti balikin semuanya?"
"Loh, kamu kan yang paling bertanggung jawab. Semua di atur sama kamu, yaudah sekalian. Aku juga nggak punya simpanan lagi, kakak mau buka restoran jadi harus bantu-bantu. Bukannya aku udah ngomong sama kamu? Kenapa permasalahkan sekarang."
What the hell. Anindya bodoh, kenapa harus bertanya sih. Bukankah ini pernah terjadi sampai-sampai biaya pernikahan kalian kamu lah yang menanggungnya dengan alasan ini.
Perlu diingat lagi, biaya pernikahan akan diganti oleh Caka itulah janji sebelum memutuskan menikah. Dan Anindya ingat jelas, semua tabungannya habis tanpa di ganti.
"Mas tau kok Nin, mas belum setara dengan pencapaian kamu selama ini. Apa mas salah berharap kita bersama? Mimpi mas hanya kita bisa bersama membina rumah tangga yang bahagia, dan anak-anak sebagai pelengkap. Salah ya Nin mas mengharapkan semua itu? Maaf, kalau mas masih belum bisa_"
"Khem, Nona Basmara." Seseorang datang menyela. Anindya secepat kilat menoleh mendengar suara Fabian.
Siapa lagi dia. Cih, sombong sekali. Batin Caka melihat wajah di belakang pria yang memanggil Anindya.
Tatapan Anindya langsung tertuju pada Adyatma, kemudian menunduk. "Maaf pak," ucapnya.
"Bisa ikut sebentar, ada yang perlu pak Adyatma rubah." Ajak Fabian.
"Baik mas."
"Anin, aku belum_"
"Maaf mas, dia bos Anin. Jangan bahas sekarang ya, nanti malam kita ketemu di tempat biasa. Please," potong Anindya melihat Caka sekilas kemudian mengikuti langkah Adyatma dan Fabian.
"Sial. Lagi-lagi dia merendahkan ku. Awas lu Anin, lu nggak akan bisa lepas dari gue." Kesalnya berlalu pergi.
"Itu tadi Caka? Berarti Anin emang masuk kerja dong hari ini." Raquel menatap Hotel mewah di depannya.
Impiannya selama ini pengen menghabiskan waktu di hotel bintang tujuh beberapa hari biar ngerasain jadi orang sukses.
Apalagi Kingdom Hotel, impian semua orang begitu juga diri nya.
Hari ini dia ingin melakukan reservasi buat seminggu ke depan, tak menyangka melihat keberadaan Caka.
Dari muka asam Caka, Raquel yakin Anindya lagi-lagi mengabaikannya.
"Mau lu apa sih Nin, lama-lama beneran gue gampar lu sialan." Gerutunya melanjutkan langkahnya memasuki lobi hotel.
Tatapannya tak sengaja bertemu pandang dengan Anindya yang tengah bersama dua laki-laki tampan.
"Gila. Tuh muka mulus amat dah buset. Pantes Anin betah kerja disini, tamunya bening semua anjir." Raquel tersenyum melambaikan tangan ke arah Anin, namun Anin mengabaikan, membuang muka memilih kembali mengikuti dia laki-laki tampan tadi.
"b******k. Sombong amat anjir."