Raquel duduk di meja bar, masih kesal dengan sikap Anin yang menurutnya angkuh sedikit aneh.
"Masih untung gue perhatian. b******k. Dasar perempuan nggak tau diuntung, bajingan."
Sudah berapa gelas ia minum, Raquel tampak baik-baik saja masih dengan umpatan-umpatan yang ditujukan pada Anin.
Menurutnya Anin wanita yang beruntung bisa mendapat Caka, laki-laki idaman di kantornya sebagai manajer keuangan.
Banyak yang mencoba mendekati Caka, tapi dia tidak menyangka Caka malah tertarik pada Anin sahabatnya.
Dia juga kaget pertama kali dikenalkan dengan Caka, sedangkan di kantor mereka banyak perempuan yang lebih dari Anin mendekati Caka, termasuk dirinya.
Siapa yang tidak tertarik coba dengan cowok tampan, mapan, humoris, humble, perhatian pada rekan-rekan nya seperti Caka, dia pun diam-diam mengagumi Caka.
Kebetulan mereka satu perusahaan, Caka bekerja sebagai manajer keuangan, sedangkan dia berada di bagian pemasaran produk jadi sering bertemu.
Niatnya dia ingin mendekati Caka, namun harapannya putus saat Anin mengenalkan Caka padanya.
"Anin bodoh. Menunda pernikahan sama aja membatalkan. Ckh, nggak habis pikir gue anjing."
"Mau di temenin,"
Raquel sontak menoleh, dan melihat Caka dalam keadaan berantakan.
"Sorry pak, gara-gara Anin bapak jadi_"
"Gapapa, cuman di tunda kok. Mungkin Anin ragu sama saya." Sela Caka tersenyum miris.
"Ckh, apa yang perlu di ragukan coba? Bapak bahkan sampai melawan restu buat pernikahan kalian. Tapi dia," Raquel menghela nafas, marah banget dia sama Anin karena berani menyia-nyiakan Caka lelaki yang ia kagumi.
"Sudah lah, mau temenin saya minum?"
"Boleh pak. Aku juga lagi pusing mikirin anak bodoh itu."
Caka tertawa. Raquel semakin terpesona dengan Caka begitu tampan saat ini.
"Oyah, ini pertama kali ini duduk berdua gini? Bahkan beberapa kantor ngadain makan malam, malah jauhan. Wkwkwk."
"Ah, iya juga ya."
Dentingan gelas keduanya berbunyi, menikmati musik jazz yang mengalun indah di dalam bar.
***
Anin menarik nafas dalam-dalam, mengontrol semua emosinya, dan menghapus jejak-jejak air matanya yang membasahi kedua pipi.
Kedua manik mata memandang setiap sudut rumah impian yang ia beli dengan hasil jerih payahnya selama bekerja sebagai Asisten General Manajer dan itu tidak gampang dia harus melakukan ini itu salah sedikit bentakan dan umpatan yang ia dengar walau sekarang sudah menjadi kepercayaan GM dan itu tidaklah gampang.
Semua ingatan itu kembali, ia mendongak menatap ke lantai dua. Sakitnya terasa saat tangan nya di lepas Caka membiarkan dirinya jatuh.
Lagi-lagi air matanya jatuh.
"Maafkan ibu nak, ibu janji mereka akan membayar semuanya. Ibu kembali agar bisa mengubah masa depan kita, ibu janji kamu akan hadir kembali dalam keadaan berbeda dan tentu nya dengan ayah yang berbeda. Untuk itu, ibu akan memberikan hukuman pada mereka semua." Anin berjalan ke lantai atas, biarpun hatinya berdenyut keras sesak memuakkan, dia harus kuat.
"Pertama, aku harus pindah dari sini." Anin memutuskan untuk menjual rumah impiannya, agar bisa memulai semuanya di tempat lain.
Anin menghubungi seseorang setelah membereskan pakaian nya.
"Halo, Gio."
"Astaga, Anin. Lu gapapa? Sorry nggak jenguk, ibu tiba-tiba kambuh."
"Gapapa. Eh, lu bukannya punya kenalan yang lagi nyari rumah ya? Tawarin rumah gue dong berapapun."
"Hah? Maksudnya?"
"Mau jual rumah_"
"Sampai segitu nya lu habis nikah malah jual rumah. Gila lu, itu rumah dari_"
"Batal. Pernikahan gue batal, lebih tepatnya di tunda sih. Ya, pokoknya kabarin aja kalau ada yang mau besok gue kasih kuncinya. Jangan tanya kenapa, gue nggak bisa jelasin. Udah, itu aja. Sampai ketemu besok."
"Oh, oke."
Anin mendudukkan dirinya di tepi kasur, matanya menatap sekeliling kamar.
"Gue kemana malam ini? Kalau nunggu besok, takutnya Caka kemari semuanya malah makin runyam." Anin melihat isi rekeningnya.
"Alhamdulillah, masih ada sisa dari ganti rugi gedung. Cari apartemen aja deh yang lebih dekat kantor."
Anin pun segera pergi dari rumah yang telah ia tempati selama ini. Hasil kerja keras, namun ia akan sakit bila mengingat semuanya.
***
Keesokkan harinya… semua orang berdiri sejajar, kepala ditundukkan menatap ke bawah sebagai hormat pada pemilik Hotel.
CEO perusahaan Kingdom Group sekaligus pemilik Kingdom Hotel melihat para karyawan, mengangguk kecil menghela nafas.
"Maaf, saya terlambat." Anin merapikan rambut dan roknya agar terlihat rapi seperti bias.
Ia menunduk tanpa tau seseorang sedang memperhatikan dirinya. Atau mungkin terkejut bisa bertemu kembali setelah sepuluh tahun lamanya.
Lelaki berwajah datar dan terlihat dingin namun tidak meruntuhkan ketampanannya bak patung dewa itu.
"Bukankah kau mengajukan surat cuti untuk menikah? Lalu mengapa kau disini?"
Me-menikah? Seseorang tak dapat menyembunyikan keterkejutannya, namun tak terlihat oleh orang-orang.
Anin pun memberanikan diri menatap lawan bicara nya. Sebagai bos, Anin begitu segan pada pria tua di depannya kini.
Sikap dermawan beliau selalu ia tunjukkan, entah itu perasaan Anin saja atau memang beliau seperti itu pada semua karyawan.
Ya walaupun itu ia dapatkan setelah dua tahun bekerja sebagai Asisten beliau.
"Batal Tuan." Jawab Anin santai.
Hanya diam mendengar bisikan-bisikan karyawan lainnya.
"Khem," suara tegas menghentikan bisikan mereka, "baiklah karena kalian sudah berkumpul disini, saya Dante Bagaskara akan memperkenalkan cucu saya sebagai General Manajer Kingdom Hotel malam ini. Jadi, Nona Anin tolong siapkan semuanya."
"Baik Tuan, saya akan usahakan menyiapkan semuanya."
"Saya tau kau tidak akan melakukan kesalahan." Balas tuan Dante.
Ucapan itu seolah penenang untuk Anin, seperti kalimat tersebut ditujukan padanya atas batalnya pernikahan.
Anin kembali menunduk, sepintas lalu iris mata Anin bertemu dengan manik hitam pekat milik lelaki tinggi di belakang Tuan Dante.
***
Terlanjur mengambil cuti, Caka tak masuk kerja hari ini ia memilih mengendarai mobilnya ke rumah Anin berharap gadis itu memberinya alasan yang memuaskan.
"Bawa catatan ini, untung ada catatan tamu undangan yang hadir masih sempat ibu minta."
Caka melihat catatan undangan di kursi penumpang. Mendesah kasar, sebenarnya dia tidak rugi apa-apa selain gaun pengantin dan juga cincin pernikahan yang darinya.
Hanya saja Caka merasa dipermainkan Anin dengan menunda pernikahan mereka secara tiba-tiba itu.
Sedikit kasar menekan bell rumah Anin, Caka berteriak. "Anin keluarlah, jangan bersembunyi seperti ini. Anin, aku tau kamu mendengar ku. Anin."
Kesal diabaikan, Caka mencari kunci rumah di bawah lap kaki.
Kosong.
Ia kembali berpindah ke pot bunga, dan lagi-lagi kosong.
Caka mengacak Surai hitam miliknya, "Shit." Umpatnya merogoh saku mengambil handphone dan menghubungi Anin.
Amarah Caka semakin memuncak ketika teleponnya di abaikan.
"Mau lo apa sih, sialan." Kemudian memilih pergi dari sana.
Di tempat lain, Raquel duduk di taman kantor, jari-jarinya menari-nari di atas layar handphone miliknya.
"Anin, lu nggak apa-apa?" Send.
"Anin, lu punya masalah kah? Lu bisa cerita ke gue Nin." Send.
"Nin, gue khawatir." Send.
Raquel menghela nafas panjang, masih bingung apa yang terjadi pada Anin.
"Lu nggak ada syukur-syukur nya Nin bisa bersama dan dicintai laki-laki seperti pak Caka. Di saat semua gadis di kantor rebutan buat jadi pendamping dia, lu malah… argh… gue yang demen sama pak Caka jadi agak benci sama lu tau nggak." Raquel mendengus tak ingin lagi peduli dengan keadaan Anin.
Mukanya yang asem mengingat Anin seketika berseri melihat nama Caka di layar handphone.
"Halo pak, apa kabar."
"Baik."
"Bapak sampai dengan selamatkan semalam?"
"Kalau nggak selamat nggak mungkin ngomong sekarang kan?"
"Ah, benar." Raquel senyum-senyum sendiri, gugup berbicara dengan Caka. Tidak biasanya, dan mereka bukan orang yang sering berkomunikasi di kantor jadi agak canggung sekarang.
"Ngomong-ngomong, panggil Caka aja kalau di luar kantor. Oyah, Anin ada kabar nggak? Saya tadi ke rumah tapi kayaknya rumah kosong. Kamu tau biasanya dia kemana?"
Mendengar itu, tanpa sadar Raquel mengepalkan tangan kiri tersenyum kecut. Ngarepin apa lu Raquel.
"Nggak ada mas. Maaf manggil mas, kalau nama terkesan tidak sopan."
"Gapapa, sesuka kamu aja. Jadi beneran nggak ada kabar? Hahh… Anin kemana ya?"
"Telepon saya nggak diangkat, wa Juga nggak di balas pak eh, mas maksudnya."
"Hahaha, santai aja. Ya udah kalau gitu sampai ketemu di kantor besok."
"Bukannya mas cuti?"
"Cabut palingan. Daripada keliling nggak jelas mending kerja dapat duit apalagi setelah semua nya, saya mesti_"
"Saya ngerti kondisi mas. Kalau ada apa-apa mas bisa hubungi saya, bagaimanapun Anin sahabat saya dan saya ngerasa bersalah."
"Kamu baik sekali. Bahkan Anin sendiri terkesan menjauh seolah masalah kemarin bukan apa-apa untuknya."
"Mas gapapa?"
"Bohong kalau saya bilang gapapa, nyatanya sakit dikhianati. Kalau nggak berkhianat, Anin tidak akan lepas tanggung jawab seperti ini."
"Saya minta maaf mas atas nama Anin. Saya ngerasa nggak enak sama mas Caka."
"Bukan salahmu, tapi Anin. Saya nggak tau otak tuh orang kemana sampai tega melakukan ini. Baiklah, sampai disini dulu. See you."
"See you mas."
Panggilan berakhir, Raquel kembali mengepalkan tangan, giginya gemeretak kesal mendengar kesedihan Caka karena perbuatan Anin.
"Mau tu orang apa sih, bodoh banget jadi manusia." Dengus nya beranjak dari taman kembali ke kantor.
"Seru juga curhat sama dia, nggak kayak Anin kalau ketemu pasti ngomongin tabungan terus. Ckh, awas lu Nin." Mobil Caka membela jalanan kota jakarta, berharap dia menemukan Anin di hotel.