Resmi, Dante Bagaskara menunjuk Adyatma Mahavir Bagaskara cucu satu-satunya sebagai Presdir Kingdom Group yang baru.
Acara serah terima jabatan dilangsungkan secara tertutup, dihadiri jajaran direksi, komisaris dan beberapa selebritas yang bekerja sama dengan Kingdom Group.
Perusahaan yang berkecimpung tidak hanya dengan perhotelan, tetapi juga bisnis properti serta salah satu Agensi Hiburan yang menaungi beberapa selebritas terkenal baik di dalam negeri serta mancanegara.
Tuan Dante membalikkan kursi kebanggaannya, menyambut sang penerus. Namun yang ia dapat malah tatapan tak suka.
“Apa-apaan ini!? Kakek, bukan ini yang kamu maksud. Presdir Kingdom Group? Jangan melucu. Masih untung aku tidak mengamuk mendengar pujian-pujian yang sama sekali tidak masuk akal mereka. Jelas sekali, hanya pencitraan.”
“Kalau saya tau akan dibohongi, saya tidak akan kembali memilih jadi gelandangan disana.” Lanjut Adyatma tidak suka dengan kebohongan sang kakek.
Tuan Dante tau, cucu nya ini sangat benci kebohongan. Tetapi jika ia jujur, Adyatma tidak akan kembali seperti perkataan lelaki itu.
“Lakukan saja dengan baik, lagipula kau hanya mengambil alih hotel sedangkan lainnya… “
“Akan dilakukan lain kali. Begitukah?”
Tuan Dante mengangkat bahu tak lagi ingin berperang adu mulut dengan Adyatma memilih beranjak dari sana.
“Bian. Urus anak keras kepala ini, jangan biarkan dia sampai berani kabur.” Ujar tuan Dante kemudian berlalu pergi dengan wajah penuh kelegaan.
Lega bisa menjadikan cucu nya menjadi pemimpin Kingdom Group. Apapun kedepannya, itu sudah jadi resiko dan tuan Dante tidak menyesali hari ini.
“Kakek,” pemuda lain memanggil.
Tanpa menoleh atau menghentikan langkahnya, tuan Dante berkata. “Ikut denganku jangan mengganggu kakakmu.” Ajaknya.
Sementara di dalam sana, Adyatma berteriak-teriak mengabsen semua penghuni kebun binatang.
Fabian melepas headset nya. “Bagaimana, sudah lega?” Tanyanya santai.
“Kau bajingan.”
“Em, ajaran lu.”
“Udah sih kagak usah manyun mulu mending kita ngopi, gue udah urus semuanya termasuk ruangan ini bakal diubah sesuai selera lu sebagai penghuni. At least, lu bisa di dekat dia kan.” Fabian tersenyum menyeringai, Adyatma menatapnya tajam.
“Nona Anindya.”
“Tutup mulutmu sialan.” rahang Adyatma mengeras, entah malu atau apa, saat ini dia tidak ingin berurusan dengan sang pemilik nama.
“Hai, sudah datang.”sapa Fabian melambaikan tangan.
Membuat Adyatma tersentak pelan, merapikan jas miliknya dan mencoba tidak peduli walau ekor mata sibuk mencari cela untuk melihat Anindya di belakangnya.
Sial. Fabian mempermainkannya. Kenapa Anindya ada disini!?
“Ruangannya?”
Fabian menggeser Adyatma, lelaki itu hampir ke jengkang ke depan kalau saja kakinya tak kokoh.
Kesal, sudah pasti. Bola mata Adyatma menyala bagai bara api yang siap menyembur keluar, begitu marah merasa dipermalukan oleh Fabian.
Adyatma geram. “Kau,”
“Abaikan dia.” Potong Fabian cepat. “Jadi gini, ruangannya tolong di buat seperti yang kita omongin sebelumnya ya.”
“Lho, bukan di tempat_”
“No. Itu tempat kita berdua.”
Te-tempat berdua? Adyatma merasa terbakar, telinga nya begitu gatal mendengar ucapan Fabian.
Berdua katanya? Cih, jangan mimpi.
“Sshh… “ Fabian meringis, merasakan hawa panas di punggungnya. Lazer si bos nyala keknya. Wkwkwk.
“Oke, baiklah. Itu saja?” Tanya Anindya enggang melihat ataupun melirik pria di belakang Fabian sebab ia merasa atmosfer disana sedikit berbeda.
“Tolong sediakan tempat untuk Lily.”
“Lily?”
“Yes.”
“Ah, perlu meja yang seperti apa? Sepertinya dia seorang gadis.”
“Seekor kelinci.”
“A-ah!” Tanpa sengaja Anindya melirik Adyatma yang juga melihat ke arahnya.
“Kenapa reaksimu seperti itu? Apa tidak boleh seorang laki-laki memelihara kelinci? Apa ada undang-undangnya?” sentak Adyatma sinis.
Gadis itu terkejut tiba-tiba di sentak, padahal dia nggak ngomong apa-apa. Apa sih, salah minum obatkah?
***
Raquel menikmati pemandangan sore hari di kamar hotel, tak menyangka ia benar-benar bisa menginap.
Ia menoleh menatap ponselnya yang berdering di atas kasur. Siapa?
Seketika senyuman lebar terpancar dari kedua sudut bibir, menatap layar ponsel dalam genggamannya.
“Oh my Gosh… mimpi apa gue sampai pak Caka nelpon. Anin, lu bener-bener bego sumpah.” Ia pun segera menekan tanda terima, namun deringan lebih dulu mati membuatnya mendesah panjang.
“Yaah, kok mati. Haish, Rael bego.” Gerutunya, menyesal tidak menerima cepat telepon Caka.
“Apa telpon balik aja terus bilang tadi lagi di kamar mandi? Haish. Alasan klasik banget anjir. Terus gimana dong, pasti dia kecewa sekarang. Nggak boleh, sudah cukup disakiti Anin, lebih baik jadi obat buat dia.” Senyumnya semakin melebar, segera menekan tanda panggil berharap Caka menerimanya.
Yes. Hati Raquel bersorak, Caka menerima telepon darinya.
“Halo mas, maaf tadi aku_”
“Maaf mbak, anda mengenal pemilik ponsel ini?”
“Eh? Ini siapa? Mas Caka dimana? Lo siapa, berani banget pegang hp orang.”
“Aduh mbak, maaf atulah jangan omelin saya… saya cuman pelayan bar yang melayani mas nya. Mbak, yang namanya mbak Anindya ya? Mohon segera datang ke Neon mas nya sudah mabuk.”
“Ah, baiklah. Tolong jangan biarkan dia kemana-mana mas.”
“Cepat kemari.”
Raquel dengan cepat menyambar tas kecil milik nya dan keluar dari kamar.
Saat keluar dari lift, Anindya menatap gadis itu heran. Apa terjadi sesuatu, dia terlihat terburu-buru. Tunggu, apa yang dilakukan gadis itu disini?
Anindya pun menghampiri resepsionis. “Ada apa?” Tanya Kinan sedang memantau para tamu, melihat Anindya tampak berpikir.
“Em, boleh lihat daftar tamu nggak? Maksud saya, gadis yang keluar tadi.” Kata Anindya.
“Kenal?”
“Ya, teman.”
“Beneran?”
“Iya. Dia Raquel mbak.”
“Walah, kirain. Lihat sendiri gih, kamu punya kuasa juga kan?”
Anindya tersenyum kecil, “Makasih mbak.” Segera melihat daftar tamu dan mengangguk kecil.
Mata cantik Anindya tampak memandang lekat list daftar tamu, tampak memikirkan sesuatu.
Apa mereka akan bertemu sekarang?
Seingatnya, seminggu setelah pernikahannya dengan Caka, teman-teman kantor pria itu mengadakan makan malam sampai Caka tak pulang.
Kalau benar… baiklah, biarkan saja. Anindya tersenyum pada gadis ber tag Bianca sebagai salah satu penjaga resepsionis.
“Makasih,”
“Sama-sama bu.”
“Oyah, nanti kalau orangnya datang…” terdiam sebentar lalu melanjutkan. “...mungkin dia akan kembali besok, jadi berikan layanan tambahan. Katakan saja, dari saya.”
“Baik Bu.”
“Thanks. Duluan mbak, mau ngurus sesuatu.” Katanya pada Kinan.
“Oke.”
“Bu Anin, tunggu sebentar.” Gio berlari kecil menghampiri Anindya yang kini menoleh padanya.
“Gue ngirim nomor di wa, hubungi mereka. Teman kost tadi nelpon katanya ketua tim dia lagi nyari rumah buat satu keluarga gitu. Siapa tau rumah lu bisa buat mereka.”
Anindya merogoh saku dan melihat nomor telepon yang dikirim Gio.
“Alhamdulillah, terima kasih Gio. Gue bener-bener berterima kasih banyak ke elu nya.”
“Sama-sama.” Gio terkekeh kecil melihat senyum Anindya akhirnya kembali.