Chapter 3 [Sang Pendeta Agung]

1621 Words
Happy reading! - - - - Aku bergerak keluar dan turun dari kereta itu, mataku tertegun menatap kuil besar Roxane, yang tampak sangat indah, dan aura cerah yang di pancarkan bangunan suci ini sangat terlihat, aku menatap sekitar dan banyak sekali orang yang mengunjungi kuil. "Nona, saya akan tunggu nona di luar gerbang." Ucap sang pengemudi itu, aku mengangguk. "Terima kasih louis." ujarku, pria paruh baya itu mengangguk, lalu ia pergi membawa kereta kuda itu keluar dari gerbang. Aku melangkahkan kaki ku menuju dalam kuil, ketika sampai di sana, aku kebingungan harus melakukan apa untuk menemukan pendeta Mathias. Aku melihat seorang gadis dengan pakaian putih panjang yang di mataku tampak seperti pakaian pendeta. "Permisi nona pendeta." Aku memanggil gadis yang tengah membawa tiga buah buku yang tidak ku mengerti tulisannya, aku sedikit mengernyit menatap buku yang di pegang nya. "Maaf ada yang bisa di bantu?" Gadis itu menyadarkan ku, dengan segera aku angkat bicara. "Aku ingin menemui pendeta Mathias, apa beliau ada?" Tanya ku. "Jika ingin menemui pendeta Mathias, nona bisa pergi ke ruang administrasi di sana untuk membuat janji temu." ujar pendeta itu sembari tangannya mengarah ke sebuah koridor yang tampak dari kejauhan sangat ramai. 'Ramai sekali, apa jangan-jangan aku akan sulit menemuinya? tapi aku tidak yakin jika bisa datang lagi ke sini lain waktu, dan aku tidak bisa pulang terlalu sore...' "Maaf nona, memang hari ini agak ramai, apa nona buru-buru?" tanya pendeta itu, aku tertawa pelan dengan wajah kaku. "Ah tidak apa-apa, aku akan coba membuat janji temu, kalau boleh, bisakah kau beritahu aku prosedur nya?" tanyaku. "Caranya mudah kok, nona hanya perlu membuat surat kemudian menstampel surat tersebut pada petugas kami di sana, lalu di masukkan ke kotak yang sudah tertulis nama pendeta yang ingin di temui, begitu nona." Jelas gadis itu, aku mengangguk mengerti. "Begitu ya, terima kasih atas informasinya, semoga hari mu menyenangkan." ujarku sembari tersenyum. "Tentu nona, semoga keberkahan Omnia senantiasa menemani mu nona." ucapnya, aku mengangguk kemudian bergerak menuju ke tempat dimana aku membuat janji temu dengan pendeta Mathias. ⬛⚪⬛ Tetapi "Hahhh....yang benar saja.." gumam ku sembari menghela nafas. 'Ini sih sudah pasti aku akan sangat sulit dapat janji temu.' Ruangannya ramai sekali, aku melihat sebuah meja tempat untuk menulis surat tapi seperti suasananya yang sangat padat bahkan ada antrian yang panjang. Dan aku juga melihat sebuah kotak yang tertulis nama pendeta Mathias dimana kotak itu hampir sangat penuh. Aku menoleh ke berbagai arah, dan kembali menghela nafas. 'Sebaiknya aku keluar berjalan-jalan sebentar, sampai mejanya sedikit lebih sepi.' Aku memutar tubuhku dan keluar dari ruangan tersebut, aku tidak tahu harus pergi kemana, jadi aku hanya mengikuti naluri ku saja. Kakiku melangkah keluar dari bangunan kuil, lalu mataku melihat ke kanan dan kiri, di sisi kiri sangat ramai entah keramaian apa itu, sedangkan sisi kanan lebih sepi. Langkah ku memilih arah kanan, aku terus berjalan sembari memandang sekitar, dan memperhatikan bangunan kuil yang sangat besar itu. 'ada ruangan apa saja ya kira-kira? Di masa lalu aku tidak pernah pergi ke kuil selain hanya untuk upacara kedewasaan, karena tidak ada kepentingan juga.' "Saat itu juga aku tidak begitu memperhatikan bangunan ini." 'Jika di perhatikan seksama ternyata lebih indah dari dugaan ku, dan juga suasana nya menenangkan walau ramai, tapi nyaman.' Aku terus berjalan, dan mataku tidak henti-hentinya melihat setiap sisi dan sudut daerah kuil, tiba-tiba. DHUK! Tanpa sengaja aku menabrak seseorang hingga aku terjatuh kebelakang, aku langsung meringis sakit. "Ah, maafkan aku nona, aku tidak melihat jalan, apa ada yang sakit?" Tanya seseorang sembari mengulurkan tangannya padaku. Aku memperhatikan tangan itu, kemudian aku melihat si pemilik tangan, surai putih dan manik magenta, pria itu menatapku dengan sorot terkejut. Sedangkan aku melihat nya dengan sorot bingung karena ekspresi nya. Aku bergerak menerima tangannya, "Aku tidak apa-apa." Ucap ku, Kupikir ia mendengar ku, tetapi ia malah diam, dan menatapku dengan sorot tertegun. 'kenapa dia melihatku seperti itu?' Bahkan tanganku sudah menyentuh tangannya, tetapi dia masih tidak bergeming, akhirnya aku mencoba melambaikan tangan ku yang lain di depan wajahnya, dia langsung tersadar dan terkejut. "Ah, maaf aku melamun." Pria itu langsung membantuku berdiri, kupikir tangan ku akan segera di lepas tapi dia malah menahannya dan kembali menatapku. Aku mengangkat kedua alisku tanya, "Maaf tuan, tangan ku..." Ujar ku, pria itu menatap tangan nya yang masih menggenggam tanganku, terdiam sebentar. "Oh benar, aku minta maaf, aku benar-benar minta maaf." Dia terus mengucapkan maaf dengan salah tingkah bersemu merah, aku hanya tertawa pelan dan tersenyum. "Tidak apa-apa." Ucap ku dengan lucu, pria itu kembali terdiam, dengan tatapan yang sama, aku tidak tahu maksud dari tatapannya. 'Aku rasa interaksi nya sudah cukup aku ingin memeriksa meja itu lagi, mungkin sudah sepi.' "Kalau begitu aku pergi dulu." Ujarku sembari membungkuk sedikit, lalu hendak kembali ke ruangan sebelumnya, tetapi tertahan karena pria itu bergerak memegang lenganku. "Ma-maaf, b-bo-boleh beritahu nama mu?" Tanya pria itu, aku menatap bingung, dan mataku bergerak ke arah tangannya yang memegang lenganku. "Ah maaf aku menarik tanganmu." Dia langsung melepasnya, tapi dia tetap melihat ke arahku, aku hendak ingin membuka suara. "Arion." Terdengar suara seorang pria di belakang ku, suara itu pernah kudengar, dan membuat ku kembali terbayang wajah pendeta yang mendoakan ku waktu itu ketika hukuman mati ku terjadi. Aku menoleh ke sumber suara tersebut, benar saja, seorang pria dengan pakaian pendeta nya yang berwarna putih emas, rambutnya berwarna hitam kemerahan dengan mata hijau zamrud, dan membawa sebuah buku bersampul kulit hitam. "Pendeta agung mathias." Panggil pria yang tadi menahan lenganku. "Kudengar kau mencari ku, ada apa Arion?" Pendeta itu bertanya pada pria yang di panggil Arion itu. "Aku diminta untuk memberitahu pendeta agung, bahwa yang mulia kaisar mengadakan pertemuan dengan para petinggi bangsawan, pendeta agung harus menghadiri pertemuan tersebut sebagai perwakilan kuil." Jelas arion pada pendeta mathias. "Begitu, baiklah, kapan pertemuan itu diadakan?" Tanya pendeta mathias. "Malam ini, jam delapan di aula B istana kekaisaran." Jelas pria yang di panggil arion, pendeta Mathias mengangguk-angguk. "Baik, terima kasih atas informasinya, kalau begitu aku permisi."ucap pendeta Mathias dan hendak berjalan pergi. "Tunggu!" Aku dengan reflek melangkahkan kaki ku dan tangan ku menahan jubah pendeta Mathias, pria itu terkejut dan memutar tubuhnya mengarah pada ku, aku menatapnya dengan mata membulat. Seketika suasana sunyi sesaat, dan otak ku kembali berjalan. "Uwahh! Mohon maaf atas ke tidaksopanan ku." Ucapku langsung melepaskan tangan ku dari jubahnya dan membungkuk dengan panik. "Ah tidak apa-apa, ada apa nona? Apa ada yang bisa ku bantu?" Tanya pendeta itu dengan senyum ramah, aku bergerak mengangkat kepalaku dan menarik nafas kemudian menghembuskan perlahan. "Maaf pendeta agung mathias, aku tahu ini tidak sopan, tapi boleh aku minta waktu untuk bicara? Ini seperti nya akan memakan waktu cukup lama." Ujar ku dengan ragu. Pendeta mathias sempat terdiam sebentar dengan wajah yang tampak berpikir, aku segera kembali angkat bicara. "A-aku minta maaf karena meminta waktu pendeta Mathias tiba-tiba, pasti pendeta Mathias sibuk sekali, ta-tapi aku mohon beri aku waktu sebentar saja untuk bicara dengan pendeta agung, aku tidak tahu apa aku bisa kembali kesini di lain hari, ka-karena itu, aku mohon pendeta Mathias..." Ujarku dengan nada memelan. "Ah sebenarnya tidak masalah, tapi..." Dia terdiam sembari menatap arion yang berdiri di belakang ku. "Tidak perlu khawatir pendeta agung, aku hanya ingin tahu nama nona ini." Pria itu tersenyum pada pendeta mathias kemudian menatapku. "Jadi siapa nama mu?" Aku terdiam sebentar, aku sedikit terpana dengan wajahnya yang tampan dan lembut. "Aku..." Aku terhenti sebentar, aku mengerutkan alisku dan menggeleng. 'Aku tidak ingin lagi membawa nama Garthside, sudah niatku keluar dari sana, suatu saat nanti aku pasti akan bertemu lagi dengannya tidak lagi sebagai bagian dari bangsawan, karena itu...' Kemudian aku menatap arion dengan senyum, "Aku Eloise, Eloise Somnivera." Pria itu semakin menarik sudut bibir nya, kemudian ia membungkuk sopan padaku. "Aku Arion, Arion Valdric Ryknight, salam kenal nona Somnivera." Arion tersenyum padaku. "Tidak masalah jika kau memanggilku Eloise." Ujarku. "Baiklah kalau begitu aku akan memanggil mu Eloise, kau bisa memanggilku Arion, kalau begitu aku permisi pendeta agung, dan Eloise." Ia menahan kalimatnya kemudian memegang sejumput surai ku. "Kapan-kapan kita akan bertemu lagi." ucapnya lalu melepas rambutku dan berjalan pergi. Aku menatap kepergian dengan tertegun, pipiku sedikit memerah, tetapi aku langsung menggelengkan kepalaku dan menepuk pipiku. "Apa kau baik-baik saja nona?" tanya pendeta Mathias, aku menoleh dengan sorot terkejut. "A-ah iya! aku tidak apa-apa, maaf..." ucapku sembari menautkan tanganku. "Tidak masalah nona, baiklah kalau begitu mari kita bicara di ruangan ku." ujarnya sembari berjalan memasuki bangunan kuil melalui pintu yang berbeda dimana aku keluar. Aku berjalan mengekor di belakangnya, sembari menatap punggung pendeta Mathias. 'Sepertinya dia bisa bertarung, punggung nya cukup lebar untuk ukuran seorang pendeta yang biasa berdoa di kuil, tetapi Reithel lebih lebar sih...' Seketika terbesit di bayangan ku, ingatan dulu, dimana aku masih sering bersamanya dan menemani Reithel ketika latihan sendiri, saat itu aku selalu duduk tidak jauh di belakangnya, memperhatikan apa yang ia lakukan— PLAK! Reflek aku bergerak menampar diriku sendiri. 'Apa yang kau pikirkan Eloise bodoh...' "Apa kau baik-baik saja nona??" Aku mengangkat wajahku dan tampak pendeta Mathias ada di hadapanku dengan raut wajah khawatir. "Ah tidak apa-apa, maaf hanya tiba-tiba saja aku teringat memori buruk, ahahaha." ujarku sembari tertawa renyah. "Begitu, kalau kau merasa sakit atau apa, jangan sungkan untuk memberitahu ku ya." ucapnya dengan senyum, aku membalas senyumnya dan mengangguk. "Baiklah, kita sudah sampai di ruangan ku." ia memutar tubuhnya, aku bergerak ke samping untuk melihat pintunya, mataku menangkap sebuah papan yang tertulis sebuah nama. 'Mathias Theodore Roxane?' Seketika tubuhku membeku, dan teringat kembali dengan bayang-bayang dimana putra mahkota yang memenjarakan aku, kaisar yang memutuskan hukuman mati ku, dan pangeran kedua anjing penjaga kekaisaran yang membunuh Rinni di depan ku. 'Aku pikir mata zamrud pendeta Mathias, hanyalah mirip dengan anggota kekaisaran, tetapi ternyata.' "Silahkan masuk nona." 'Dia juga anggota kekaisaran...' - - - To be continued
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD