"Kenapa lo nggak terus terang sama gue?" Aga bertanya.
Dea menoleh sekilas pada Aga yang duduk di sampingnya. "Soal apa?"
Setelah kejadian tadi, Aga membawa Dea pergi ke taman belakang sekolah. Dan kini mereka sedang duduk di atas kursi taman berdampingan.
"Soal Sarah yang labrak lo," jawab Aga.
"Buat apa? Nggak penting."
Aga menoleh, menatap Dea dengan alis menaut. "Lo bilang nggak penting? Jelas penting, Dea. Dia udah mengganggu kenyamanan lo. Dan lo masih bilang nggak penting?"
"Dia labrak gue karena lo. Kalau lo nggak bau kenyamanan gue diganggu sama Sarah, ya lo harus jauhin gue." Dea berucap.
"Nggak. Dia nggak berhak ngatur-ngatur gue dan dia juga nggak berhak usik hidup lo." Aga berucap dengan tegas. "Gue akan peringati Sarah lagi. Lo tenang aja. Dan gue minta lo bersikap biasa sama gue, nggak usah sok-sokan jutek kayak kemarin."
"Oh iya, sebentar." Dea meronggoh uang dalam saku seragamnya. Mengeluarkan uang dan menyodorkannya pada Aga. "Nih."
"Apa?" Dahi Aga berlipat bingung. Menatap uang tersebut sekilas dan kembali menatap Dea.
"Ongkos taksi kemarin," jelas Dea.
Aga tersenyum miring. Mendorong pelan tangan Dea yang terulur padanya. "Nggak usah. Gue ikhlas kok. Buat lo aja nanti jajan bakso."
Dea mengerucutkan bibirnya.
"Nggak mau. Ini hak lo. Ayo ambil," paksanya.
"Nggak usah, De. Maksa banget lo ya," ucap Aga kemudian menoyor pelan kening Dea.
"Ih, kebiasaan banget deh! Suka noyor-noyor gue," omel Dea membuat Aga tertawa.
"Makanya lo dengerin omongan gue," ucap Aga.
Dea menghela napas panjang. "Jangan gitu dong, Ga. Kita juga baru kenal, nggak enak gue."
"Dasar kepala batu. Emang kalau mau bantuin orang itu harus kenal lama dulu, ha?"
"Ya nggak juga sih, tapi kan---,
Aga menyimpan telunjuk tangannya di atas mulut Dea.
"Shut, nggak ada tapi-tapian," potong Aga. "Sekarang kita ke kelas, sebentar lagi bel."
"Beneran nggak mau?" Dea bertanya sekali lagi sembari mengacungkan tangannya yang memegang uang tepat di depan wajah Aga.
"Nggak, Nona. Buat lo," tekan Aga kemudian tertawa. Lantas Aga menarik tangan Dea dan berjalan bersama menuju kelas.
♡
"Alhamdulillah.... Terima kasih, Pak. Saya janji akan bekerja sungguh-sungguh dan tidak akan mengecewakan perusahaan," ucap Mira tersenyum senang.
Azka mengangguk. "Ya, saya harap begitu."
"Lalu kapan saya bisa mulai bekerja, Pak?" Mira bertanya.
"Besok sudah bisa masuk," jawab Azka.
Mira mengangguk-anggukan kepala. "Baik, Pak. Sekali lagi, saya ucapkan banyak terima kasih. Kalau begitu saya permisi."
"Ya, silahkan." Azka mengangguk, mempersilahkan Mira untuk keluar dari ruangannya.
Setelah keluar dari ruangan Azka, buru-buru Mira menghubungi Dea untuk memberitahu kabar bahagia ini. Mira menempelkan benda pipi canggih itu pada telinga.
"Halo, De."
"Iya, Bu. Ada apa? Ibu baik-baik aja, kan?" Dea bertanya dengan nada khawatir.
"Alhamdulillah, De. Ibu baik-baik aja. Bahkan Ibu ada kabar bagus buat Dea," ucap Mira dengan senyum mengembang.
"Oh, ya? Apa itu, Bu?" Dea bertanya.
"Ibu diterima bekerja di perusahaan. Ya walaupun karyawan biasa sih, De. Tapi Ibu seneng banget. Seenggaknya ada masukan setiap bulan," jelas Mira.
"Alhamdulillah. Selamat ya, Bu. Dea seneng banget dengernya."
"Iya, Sayang. Eh, Ibu lupa kalau Dea lagi sekolah. Maaf ya, De, Ibu ganggu ya?" Mira bertanya, cemas.
Terdengar suara kekehan diseberang sana. "Nggak kok, Bu. Kebetulan juga lagi jam istirahat."
Mira menghembuskan napas lega.
"Syukurlah. Kalau begitu Ibu tutup ya. Dea makan yang banyak."
"Siap, Bu."
Mira pun memutuskan sambungan telepon. Lantas melanjutkan langkah keluar dari gedung perusahaan tersebut.
♡
Dea mengerit bingung menatap Lena yang hari ini tidak begitu bersemangat. Wajahnya murung. Sekarang saja Lena tidak makan di kantin. Hanya duduk diam sembari bertopang dagu, tatapannya pun lurus ke depan melihat para murid yang berlalu-lalang di kantin.
Dea menelan kunyahannya. Meneguk minum lalu menggoncang pelan lengan Lena.
"Len," panggil Dea.
"Hmm." Lena berdehem tanpa menatap Dea.
"Lo kenapa sih? Nggak kayak biasanya," heran Dea. "Lo liat deh, langit aja hari bagus banget. Cerah juga, warnanya biru-biru manja. Masa lo nya malah mendung sih, Len? Cerita sama gue," lanjutnya.
Lena menarik napas dalam-dalam. Memutar posisi duduknya menjadi berhadapan dengan Dea. Saat Lena hendak berucap, tiba-tiba terhenti saat Aga dan Satria datang menghampiri mereka.
"Hai, Ladies!" Satria menyapa dengan senyum lebarnya. Mulut Lena yang sudah terbuka, kembali terkatup. Menghembuskan napas panjang dan kembali menatap datar ke depan.
"Hai," jawab Dea.
Kemudian Satria duduk di bangku depan mereka. Sedangkan Aga mendudukan tubuhnya disamping Dea.
"Dea, lo tahu nggak?" Satria bertanya.
"Tahu apa?" Dea bertanya balik.
"Tadinya gue mau deketin lo, tapi ada yang ngelarang."
"Siapa?" Dahi Dea berlipat bingung.
"Tuh...." Satria memberi kode lewat mata ke arah Aga. Dea pun mengikuti arah mata Satria dan terkejut saat menyadarinya.
"Aga?" tanyanya, memastikan.
"Iya." Satria mengangguk mantap.
Dea tersenyum miring, lalu menoleh pada Aga. "Kenapa nggak bolehin Satria deketin gue?"
"Karena gue nggak mau," jawab Aga dengan santai.
"Tapi gue mau kok," ucap Dea mengalihkan pandangannya dari Aga. "Kan asik kalau punya temen banyak."
"Tuh, Ga. Dengerin," timpal Satria.
"Ah, lo deketin Dea bukan buat dijadiin temen. Tapi dijadiin mantan," sahut Aga membuat Satria dan Dea tertawa bersama.
Tatapan Satria kemudian teralihkan pada Lena yang sedari tadi diam membisu. "Kenapa si Mak Lampir? Sariawan lo?" tanyanya pada Lena.
Lena mendelik tajam pada Satria. "Apaan sih lo?" ketusnya.
"Sensi amat, Mbok." Satria berucap.
"Berisik!" sentak Lena.
Satria mengangguk-anggukan kepala sembari memasang wajah sok ketakutan. "Ampun, Ndoro."
Aga tersenyum tipis melihat tingkah Satria. Kemudian ia mendekatkan wajahnya pada telinga Dea. "Nanti pulang bareng ya," bisiknya.
Dea menoleh. "Sarah gimana?"
Aga berdecak. "Nggak usah pikirin dia. Jadi gimana?"
Dea tersenyum. "Iya."
♡
"Anak-anak, Ibu ada kabar gembira untuk kalian semua."
"Kabar gembira apa, Bu?" tanya Rangga, mewakili.
Ibu Rere tersenyum lebar, mengedarkan pandangannya menatap murid seisi kelas. "Dua hari lagi sekolah kita akan mengadakan kemping bersama!"
"YEAY!!!" sorak gembira seisi kelas.
"Yes! Akhirnya, gue nggak sabar pengen cepet-cepet kemping!" Lena berseru senang pada Dea.
"Eh, awww...." ringisnya sembari memegang perut.
"Len, kenapa?" tanya Dea, panik.
"Nggak apa-apa, De. Biasa, gue lagi datang bulan." Lena menyengir lebar, membuat Dea menghembuskan napas lega.
"Gue kira kenapa. Jadi daritadi murung karena itu?"
Lena cengengesan bodoh sembari menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Iya. Abis sakit banget. Bawaannya jadi gitu deh."
Dea terkekeh pelan. Menggeleng-gelengkan kepalanya. Namun saat mengingat sesuatu yang melintas di pikirannya, senyum Dea perlahan memudar. Aga yang menyadari itu segera menggeret kursinya mendekati Dea.
"Kenapa lo? Nggak suka kemping? Payah," ucap Aga, tersenyum mengejek.
"Enak aja!" sentak Dea, tak terima. "Gue suka kali kemping. Sok tahu!"
"Terus kenapa nggak sehappy yang lain?" Aga menaik-turunkan kedua alisnya.
Dea menunduk. Bibirnya mengerucut. "Gue takut mabuk lagi. Karena pasti naik bus berangkat ke lokasinya," cicitnya pelan.
Aga tersenyum miring. "Lo tenang aja. Kan katanya kalau cuma duduk disamping kaca bus dong," ucapnya.
"Iya sih," ucap Dea. Mendongak menatap Aga kembali. "Tapi gue takut," lanjutnya.
"Takut apa? Bilang sama gue."
"Takut tempat duduknya direbut paksa orang lagi," ucap Dea. Mengerjapkan matanya berkali-kali.
Aga terdiam sejenak. Saat menyadari ucapan Dea sedang menyindir dirinya, Aga langsung tertawa. Mengacak puncak kepala Dea. "Rese lo, ya. Lagian gue ogah duduk disamping lo. Nanti yang ada dimuntahin lagi sama lo."
Dea ikut tertawa bersama Aga, saat mengingat hari itu.