SYLMT 09

1133 Words
Mira tersenyum senang melihat Dea yang begitu lahap menyantap sarapannya. "Pelan-pelan makannya, De." Dea menyengir lebar. "Habis enak banget masakan Ibu," ucapnya. Mira menggelengkan kepala. "Oh iya, De. Doain Ibu ya, semoga hari ini Ibu bisa mendapat pekerjaan." Mendengar itu, seketika Dea menghentikan kunyahannya. Menatap Mira dengan alis menaut, kemudian menelan makanan dalam mulut dan meneguk minum. "Bu, jangan dulu nyari kerjaan deh. Dea khawatir kalau nanti terjadi apa-apa lagi sama Ibu. Mending hari ini Ibu di rumah aja, istirahat." Dea menatap khawatir pada Mira. "Ibu udah sehat kok, De. Ibu juga akan lebih berhati-hati lagi. Kalau di rumah aja, justru bikin kepala Ibu pening," ucap Mira. Dea menghembuskan napas panjang. "Tapi, Bu...." "Percaya sama Ibu, ya." Mira berucap dengan yakin. Dea menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya pelan. "Iya udah, tapi Ibu harus hati-hati. Dea nggak mau nanti Ibu kenapa-napa," ucapnya dengan bibir mengerucut. "Iya, Sayang. Pasti itu," ucap Mira, tersenyum hangat pada Dea. "Iya udah, sekarang dilanjut makannya." Dea mengangguk. Kembali melanjutkan memakan sarapannya yang masih tersisa sedikit. Cling! Ponsel Dea menyala, terdapat chat baru yang masuk. Dea menggeser layar ponsel dan membuka w******p untuk melihat siapa yang mengiriminya chat sepagi ini. Aga: De, selamat pagi. Berangkat bareng ya. Gue jemput lo. Kedua mata Dea membulat sempurna kala membaca isi chat tersebut. Mengabaikan sarapannya, Dea buru-buru membalas chat dari Aga. Me: Nggak usah. Gue bisa naik Ojol. Balasan chat terkirim. Tatapan Dea tak lepas dari layar ponsel. Chat darinya sudah centang biru dan itu berarti Aga sudah membacanya. Detik berikutnya, balasan dari Aga pun masuk. Aga: Ayolah, De. Please. Dea mendengus. Ternyata Aga keras kepala juga orangnya. Me: Gue bilang nggak ya nggak. Nggak usah maksa! Bisa? Mira yang melihat raut wajah kesal putrinya mengerit bingung. "Kenapa, De?" tanyanya, penasaran. Dea tersentak kaget. "Eh, Bu. Nggak apa-apa kok." "Bener?" "Iya. Bener," cengir Dea. Lantas kembali melanjutkan sarapannya. Cling! Aga: Tapi, De. Sebenernya, gue udah di depan rumah lo sekarang. "WHAT?!" Dea menjerit kencang, sampai bangun dari posisi duduknya. Membuat Mira tersentak kaget. "Nggak. Nggak mungkin. Aga kan nggak tahu rumah gue dimana," gumamnya. "Kenapa sih?" Mira kembali bertanya. Hendak menjawab pertanyaan Mira, balasan chat dari Aga keburu sampai. Aga: Kalau nggak percaya cek aja. Dea segera bergegas menuju jendela di samping pintu rumah untuk memastikan kebenarannya. Mengintip dari kejauhan. Dan ternyata benar, Aga dengan motor sport-nya ada tepat di depan gerbang rumah. "Dia beneran ada di sini," gumam Dea, menatap tak percaya. "Lho, itu bukannya Aga ya?" Mira bertanya di sebelah Dea. Dea menoleh sekilas pada Mira. "Iya, Bu." "Iya udah, sana samperin. Kasian Aga," titah Mira. Menghela napas berat, Dea berjalan keluar dari rumah dan menghampiri Aga. "Ga?" Dea memanggil setibanya di belakang Aga. Aga menoleh dan tersenyum lebar menyambut kedatangan Dea. "Ayo, berangkat." "Lo tahu darimana rumah gue?" tanya Dea, mengalihkan pembicaraan. "Zaman udah modern kali, De. Gue bisa lacak dari handphone lo," ucap Aga tanpa memudarkan senyum. Dea manggut-manggut mendengarnya. "Terus kontak nomor gue?" tanyanya, kembali. "Gue dapet dari Mbah Dukun," jawab Aga dengan asal. "AGA!" Aga menyentil dahi Dea. "Udah deh, nggak usah banyak tanya. Sekarang ayo kita berangkat, nanti keburu siang." Dea mendengus kesal sembari mengusap dahinya. "Iya udah, tunggu sebentar. Gue ambil tas dulu di dalam." Dea kembali masuk, mengambil tas sekaligus pamit pada Mira. Setelah itu ia kembali menghampiri Aga. "Ayo." "Ayo kemana?" Aga bertanya dengan menampilkan wajah sok polos. "Sekolah lha," jawab Dea dengan alis sedikit menaut. "Oh, gue kira kemana." "Emang lo pikir kemana?" heran Dea. "KUA. Barangkali udah siap jadi makhrom gue," cengir Aga sembari menaik-turunkan kedua alisnya. Dea bergidik ngeri dan Aga malah tertawa. "Nggak jelas lo!" seru Dea. "Sini helmnya," lanjutnya seraya menyodorkan tangan pada Aga. Alih-alih memberikan helm pada Dea, justru Aga membalas uluran tangan Dea dan mengarahkan punggung tangannya pada bibir gadis itu. "AGAA!!" ♡ Kedatangan Aga ke sekolah dengan membonceng Dea membuat suasana sekolah dibuat heboh. Dea menjadi malu saat menjadi pusat perhatian seperti ini. Begitu motor Aga terparkir, buru-buru Dea turun dari atas motor. Tak lupa melepas helm dan langsung menyerahkannya pada Aga. Dea dapat mendengar jelas bisikan-bisikan dari para murid yang berada di sekitarnya. Karena merasa terganggu, Dea segera melangkah pergi meninggalkan Aga. "Ih, alay banget sih. Dasar netizen Indonesia!" rutuk Dea dalam hati. Aga yang sudah biasa menjadi pusat perhatian bersikap santai, lain halnya dengan Dea. Aga segera menyusul langkah lebar Dea. "Ngapain sih buru-buru banget jalannya. Tenang aja kali, nggak usah gugup." Dea menoleh sekilas pada Aga. "Gue cuma nggak suka kalau ada orang yang nyinyirin gue," ucapnya jujur. Aga terkekeh pelan. "Lo harus biasakan itu." Langkah Dea tiba-tiba terhenti. Mendongak menatap Aga. "Maksud lo?" Aga mengangkat bahu acuh. Lantas berjalan meninggalkan Dea. "Ih, aneh banget sih itu orang. Emang nggak jelas si Aga!" Dea mendumel sembari menatap punggung Aga yang semakin menjauh. Dea melanjutkan langkahnya menuju kelas. Namun saat Dea akan menginjak undakan tangga menuju lantai dua, tiba-tiba seseorang menariknya dengan kasar. Lalu dengan sekejap sebuah tangan melayang begitu saja pada pipi kanan Dea. Plak! Hening sejenak. Dea memegang pipinya yang baru saja ditampar. Dea bisa merasakan jelas efek dari tamparan itu. "Ini akibat lo nggak mau jauhin Aga!" Sarah menatap Dea dengan murka. "Lo emang cewek penggoda! Gue nggak salah samain lo sama kupu-kupu malam!" "Cukup ya, Sar! Lo nggak berhak---," ucapan Dea terhenti. "Nggak berhak apa?! Lo yang nggak berhak untuk deket-deket sama Aga! Aga itu milik gue. Dan selamatnya akan jadi milik gue! Lo itu siapa? Hanya orang baru yang datang dalam kehidupan Aga dan mengacaukan hubungan gue sama Aga!" sentak Sarah. Dea menggelengkan kepala. "Nggak ada kaitannya sama gue tentang putusnya hubungan lo sama Aga. Bukannya lo sendiri yang udah khianati Aga?!" Sarah menggeram marah. Kedua tangannya terkepal kuat. "Jaga omongan lo!" "Itu kenyataannya!" sentak Dea. "Berani lo sama gue!" Tangan Sarah kembali melayang hendak menampar pipi Dea. Sontak Dea terpejam kaget. Namun sekian detik berikutnya Dea tak merasakan apa-apa pada pipinya. Dengan perlahan, Dea membuka kedua mata dan terkejut melihat Aga yang sedang menahan tangan Sarah. "Lepasin!" Sarah berusaha melepaskan cekalan tangan Aga. "Jangan pernah lo ganggu, Dea." Aga menekankan setiap katanya. "Aga kamu apaan sih?! Dia yang udah rusak hubungan kita, kan?!" Aga berdecih mendengarnya. "Hubungan kita berakhir karena lo, Sarah! Siapa yang bisa bertahan sama orang yang nggak menghargai kesetiaan?!" Sarah menelan salivanya susah payah. Masih berusaha melepaskan cekalan dari Aga. Satu tangan Aga yang lainnya, menekan kedua pipi Sarah. Membuat gadis itu meringis kesakitan. "Lupain gue dan jangan ganggu Dea," tekannya. "Argh, Aga. Lepasin, sakit!" ringis Sarah. "Aga udah, kasian dia." Dea menatap tak tega pada Sarah. Aga menoleh sekilas pada Dea. Kemudian ia melepaskannya kedua tangannya dari Sarah. "Inget omongan gue tadi!" Kemudian Aga merangkul pundak Dea dan membawanya pergi dari hadapan Sarah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD