Karinka tentu saja bukanlah anak yang sepenurut itu. Buktinya kini gadis itu nekat memanjat pagar rumah—tempat Ravel mengurungnya. Ya, tidak ada kata lain yang cocok untuk mendeskripsikan kondisi Karinka saat ini karena Ravel mengunci pintu pagar dan tidak memberikan kuncinya pada gadis itu. Beruntung pagar rumah yang tingginya sebatas d**a itu memiliki teralis-teralis yang saling merekat satu sama lain sehingga bisa dijadikan pijakan untuk kaki Karinka.
Helaan napas penuh kelegaan meluncur dari mulut Karinka setelah dirinya sudah berada di luar pagar rumah. Gadis itu mengucap syukur di dalam hati karena tidak membawa barang-barang yang akan menyulitkan pelariannya itu.
Mengeluarkan ponsel dari saku celananya, Karinka lantas memesan ojek online dengan titik yang sudah langsung mengarah pada posisinya saat ini karena ia belum pernah mendatangi kawasan perumahan itu sebelumnya. Lagi-lagi Karinka mengucap syukur di dalam hati karena tidak butuh waktu yang lama sampai ojek online yang dipesannya kini sudah berhenti di depannya.
"Neng Ka ... rinka?" tanya pengemudi ojek online dan langsung dibalas dengan anggukan kepala oleh Karinka sebelum sebuah helm berwarna hijau disodorkan ke hadapan gadis itu.
"Sesuai titik, ya, Neng?" tanya sang pengemudi memastikan.
"Iya, Pak," jawab Karinka membenarkan. Setelahnya, tidak ada percakapan lagi di antara keduanya sampai motor yang dikendarai oleh pengemudi itu berhenti di depan pagar rumah indekos Karinka.
Begitu sampai di dalam kamar, Karinka langsung membersihkan diri kemudian berbaring di atas tempat tidurnya. Meskipun pikiran gadis itu berkecamuk, tetapi ia merasa lebih aman di kamar indekos-nya daripada harus berada di rumah asing yang tidak pernah ditempatinya.
Dasar, Ravel memang suka bertindak seenak jidatnya.
"Ah, Kak Iin ke mana, sih, sampai-sampai suaminya bisa menggila kayak tadi?" gumam Karinka bertanya pada dirinya sendiri sembari menatap pada langit-langit kamarnya dengan pandangan menerawang.
Gadis itu tiba-tiba merindukan sosok Karinna yang belum sempat dilihatnya sejak siuman kemarin. Ketidakhadiran gadis itu membuat Karinka bertanya-tanya, tetapi tidak berani menyuarakannya pada Ravel, mengingat sikap pria itu yang berubah seratus delapan puluh derajat dari biasanya. Karinka takut dirinya akan dilahap hidup-hidup oleh pria itu karena tatapan tajam yang selalu dilayangkan ketika mereka bertatapan. Baik disengaja maupun tidak. Sudah seperti seekor singa betina saja si Ravel itu.
Terlalu sibuk dengan pemikiran di dalam benaknya, kantuk pun akhirnya datang menghampiri Karinka hingga membuat kedua netra gadis itu terpejam lalu masuk ke alam mimpinya.
*
Seorang gadis menatap nanar ke arah sepasang kekasih yang baru saja melangsungkan acara pertunangan di depan sana. Tepatnya di salah satu ballroom hotel berbintang lima. Meskipun hatinya sedang berdarah-darah saat ini, tetapi gadis itu tetap memaksakan seulas senyum lebar di bibirnya sebelum berjalan pelan menghampiri sepasang kekasih itu untuk mengucapkan selamat kepada mereka. Gadis itu mengambil napas kemudian menghelanya dengan pelan, berusaha menutupi sesak di d**a sebelum benar-benar berdiri di hadapan sepasang kekasih yang sedang kasmaran itu.
"Selamat, ya, Mbak Iin sama Mas Ravel atas pertunangan kalian," kata gadis berusia dua puluh tahun itu pada pasangan kekasih yang tersenyum sangat lebar saat ini. Keduanya tampak sangat bahagia di acara pertunangan mereka dan hal tersebut sukses membuat gadis terasa ditampar telak oleh kenyataan yang menyakitkan.
"Semoga cepat naik ke pelaminan, ya," lanjut gadis itu menambahkan sembari berusaha menahan suaranya agar tidak terdengar pilu dan bergetar, padahal sesak sudah melingkupi dadanya yang sedang berdarah-darah saat ini.
"Makasih, ya, Karin," balas Karinna sembari membawa sang adik angkat ke dalam pelukannya. Kristal bening yang sedari tadi Karinka tahan sontak meluncur dari kedua netra kecokelatanya tanpa bisa ditahan lagi. Menyadari Karinka yang meneteskan air matanya, Karinna pun langsung mengurai pelukan mereka dan menatap sang adik angkat dengan tatapan yang lembut. "Jangan nangis dong. Masa di hari bahagianya Mbak, adik satu-satunya malah nangis gini, sih," seloroh Karinna sembari mengusap lelahan bening yang jatuh di kedua belah pipi Karinka.
Semoga kalian bisa saling membahagiakan satu sama lain, ya ... kalian sama-sama adalah orang yang berarti untuk aku. Mbak Iin selalu menemani hari-hariku seperti kembar identik yang tak terpisahkan, sementara Mas Ravel adalah ... cinta pertamaku, meskipun dalam diam, batin Karinka pilu di dalam hati tanpa mampu menyuarakannya. Gadis itu tidak ingin merusak hari bahagia Karinna dan Ravel, padahal jauh di dalam lubuk hatinya, gadis itu ingin sekali berteriak menyuarakan perasaannya pada sang pujaan hati. Namun, apa daya ia tidak bisa melakukan itu karena ucapannya seolah tertahan di ujung tenggorokan dan enggan keluar.
"Nggak sedih kok. Justru aku malah bahagia. Akhirnya Mbak dapat seseorang yang bisa jagain Mbak nanti," balas Karinka menampik spekulasi Karinna sembari tetap menjaga nada suaranya agar tidak terdengar lirih dan bergetar. Setelahnya, gadis itu kemudian beralih pada sosok yang sedang berdiri di sebelah sang kakak angkat, Ravelio Panduwinata.
"Sekali lagi selamat, ya, Mas. Satu langkah lagi untuk jadi suaminya Mbak Iin," kata Karinka lalu menjabat tangan Ravel dan menatap lekat pada sosok tinggi dan tegap yang sedang balas menatapnya saat ini. Karinka meraup pemandangan sosok rupawan yang ada di hadapannya itu serakus mungkin, seakan-akan tidak ada lagi hari esok untuk menatap wajah itu.
"Makasih, ya, Karin," balas Ravel dengan senyum sangat tipis yang terpatri di bibirnya.
Mas ... aku titip Mbak Iin, ya. Semoga Mas memang adalah jodoh yang dikirimkan oleh Tuhan untuk membuatnya bahagia supaya aku bisa berlapang d**a mengubur perasaan ini, batin Karinka sebelum memutuskan tatapannya dari kedua netra Ravel dan diikuti dengan jabatan tangan keduanya yang juga terlepas.
Setelah membatin dalam hatinya, Karinka pun mulai berjalan menjauhi pasangan pemilik acara mewah itu tanpa berniat untuk menoleh lagi.
Ayo, kita buka lembaran baru, Karinka, batin gadis itu menyemangati dirinya sendiri sebelum benar-benar menghilang dari pandangan Karinna dan Ravelio.
"Argh ...."
Erangan serah tiba-tiba meluncur dari mulut Karinka sebelum ia terduduk di atas tempat tidur dengan napas terengah-engah seperti seorang atlet yang habis berlari puluhan kilometer. Indra penglihatan gadis itu menatap nyalang ke seluruh penjuru kamar, sementara peluh sebesar biji jagung meluncur ke pelipisnya. Gadis itu baru saja mengalami mimpi buruk. Namun, sayangnya mimpi buruk itu bukan yang pertama kali menghampirinya, melainkan sudah berulang kali selama setahun terakhir.
Takdir seolah menertawakan nasib malang Karinka hingga mengirimkan mimpi yang membuat gadis itu selalu terbangun dari tidurnya dengan napas yang terengah-engah seperti habis dikejar hantu. Semesta seolah mengejek dirinya yang menyedihkan karena tidak bisa memiliki sosok yang dicintainya. Hanya bisa menatap sosok itu berbagi kasih dengan sang istri, tanpa bisa Karinka ikut andil di dalamnya. Gadis itu lantas tersenyum miris di antara kucuran keringatnya lalu meraih selembar tisu untuk menyeka cairan asin yang membasahi dahi dan pelipisnya.
Karinka baru saja hendak beringsut dari tempat tidur ketika mendengar pintu kamarnya diketuk dari luar. Akibat dari kesadarannya yang belum sepenuhnya pulih, gadis itu langsung membuka pintu kamarnya tanpa mengintip terlebih dahulu melalui celah gorden jendela.
Begitu pintu terbuka lebar, kedua netra Karinka langsung menemukan sosol Ravel yang berdiri di ambang pintu kamarnya dengan kedua tangan yang terlipat di depan d**a. Beringsut mundur, Karinka hendak menutup pintu kamarnya, menghindar dari pria itu. Namun, seolah bisa membaca gerakan gadis itu, salah satu tungkai Ravel yang terpasang sepatu pantofel mengkilap sudah lebih dulu menahan laju pintu hingga berhenti bergerak.
"Mas mau ngapain di sini?" tanya Karinka yang kini sudah bersembunyi di balik pintu dengan kepala yang sedikit menyembul keluar. "Ini kos cewek," tambah gadis itu mengingatkan.
Tanpa membalas ucapan Karinka, Ravel langsung menerobos masuk begitu saja, mendorong pintu kamar Karinka hingga gadis itu terhuyung beberapa langkah ke belakang lalu menutup pintunya hingga menghasilkan bunyi yang cukup keras dan mengundang perhatian sekitar.
"Mas ngapain masuk?!" tanya Karinka yang kini sudah berang dengan kedua netra yang membola, berharap dapat mengintimidasi Ravel hingga membuat pria itu keluar dari kamarnya. "Aku teriak, ya! Mas jangan macam-macam di sini. Ini kos isinya perempuan semua!" desis gadis itu menambahkan.
"Diam!" bentak Ravel dengan nada suara yang tidak terlalu tinggi. Pria itu tidak ingin tetangga kamar Karinka mendengar suaranya hingga menimbulkan kegaduhan.
"Kalau Mas mau aku diam, keluarlah."
"Memangnya kamu siapa sampai berani memberi perintah seperti itu padaku?" Ravel menaikkan sebelah alisnya. Tak ada sedikit pun kegentaran di dalam diri pria itu ketika ditatap sedemikian tajamnya oleh Karinka. Tentu saja tatapan gadis itu tidak berefek apa-apa padanya karena Ravel adalah pria yang selalu mendominasi di manapun ia berada. Aura otoriter selalu menguar pekat.
"Aku pemilik kamar ini," jawab Karinka berang. Meskipun perasaannya pada Ravel masih menggebu-gebu tanpa berkurang sedikit pun sejak dulu, tetapi gadis itu tidak akan melanggar idealismenya dengan membiarkan seorang pria masuk ke dalam kamarnya. Bagaimanapun ruangan itu adalah tempat yang sangat privasi baginya.
"Lalu?" tanya Ravel dengan sebelah alis yang terangkat. "Aku bahkan bisa membali bangunan ini sekarang juga kalau mau," lanjut pria itu menambahkan dengan nada pongah di dalam suaranya.
Cih, sombong! desis Karinka membatin di dalam hati. Sombong-sombong gitu juga kamu tergila-gila setengah mati sama dia, lanjut salah satu sisi di dalam diri gadis itu menimpali.
"Nggak usah sombong, Mas. Nanti uangnya ditarik balik sama Tuhan," ujar Karinka memberi nasehat. "Mending Mas keluar sekarang daripada ada isu-isu nggak enak dari tetangga sebelah," lanjut gadis itu dengan nada yang lebih lembut daripada sebelumnya.
"Nggak usah banyak ngomong!" sentak Ravel membalas. "Cepat kemas barang-barangmu! Sekarang!" sambung pria itu memberi titah dengan nada tegas yang tidak ingin dibantah.
"Memangnya kita mau ke mana?" tanya Karinka heran.
"Ke neraka. Tapi kamu aja. Aku nggak."
Karinka mendelik ketika mendengar jawaban yang baru saja meluncur dari mulut pria yang berdiri di hadapannya itu. Malas melanjutkan dialog lebih banyak dengan Ravel, Karinka memilih untuk menelepon Karinna saja. Namun, kedua netra gadis itu membelalak lebar ketika mengetahui fakta bahwa ponsel Karinna berada di tangan Ravel. Pria itu bahkan mengangkat benda pipih yang sudah retak di beberapa bagian itu dengan ekspresi dingin.
"Ke--kenapa ponsel Mbak Iin bisa sama Mas?" tanya Karinka tergagap. Gadis itu diam-diam meringis di dalam hati ketika melihat keadaan ponsel mahal Karinka yang sudah hampir tidak berbentuk itu.
Jangan-jangan apa yang dibilang sama Mas Ravel tadi pagi itu benar? batin Karinka bertanya pada dirinya sendiri di dalam hati. Kini ekspresi gadis itu berubah khawatir dan perlahan memucat, takut-takut pada fakta yang akan menamparnya telak setelah ini.
"Memangnya orang yang udah di dalam tanah bisa angkat telepon, Karinka?" tanya Ravel tajam dan retoris.