Ravelio memang iblis yang keras kepala dan hanya ingin menang sendiri. Salahkanlah pundi-pundi uang berlebih yang dimiliki oleh pria itu hingga membuatnya semakin besar kepala dan suka bertindak seenak jidatnya.
Jelas-jelas tadi Karinka sudah mengalah dan mengatakan akan datang ke rumah pria itu setelah menyelesaikan kuliahnya nanti, sekaligus ingin memastikan keadaan Karinna yang sudah membuatnya penasaran setengah mati. Namun, seolah Karinka adalah seorang pembohong ulung, kini mobil yang dikendarai oleh Ravel sudah berhenti di depan lobi kampusnya.
"Jemputanmu, Rin?" tanya suara yang tiba-tiba terdengar dari belakang tubuh Karinka dan sukses membuat gadis itu tersentak kecil lalu buru-buru menolehkan kepalanya beberapa derajat untuk menatap ke arah sang pemilik suara.
"Ya, ampun, Rel. Buat kaget aja kamu!" omel Karinka kecil sambil mengusap dadanya naik turun karena suara Farrel sempat membuatnya terkejut tadi.
"Sorry, sorry," balas Farrel sembari menyengir dan menggaruk tengkuk bagian belakang yang sebetulnya tidak terasa gatal sedikit pun.
"Mobil hitam itu jemputan kamu, Rin?" ulang Farrel sekali lagi karena kini mobil sedan yang dimaksud oleh pria itu sudah berhenti tepat di depan mereka.
Karinka ingin mengatakan tidak, tetapi sayangnya kaca mobil di bagian kiri perlahan terbuka dan menampakkan sosok sang pemilik yang sedang duduk di balik kemudi dengan kacamata hitam yang bertengger di tulang hidungnya.
Aduh, ngapain, sih, orang ini di sini?! Udah dibilang juga nanti disamperin, malah datang ke sini. Kok bisa-bisanya, ya, aku suka sama orang semena-mena begini, gerutu Karinka di dalam hati sebelum Farrel menepuk pundaknya dan membuat gadis itu terkejut untuk yang kedua kalinya.
"Itu Mas-nya lihatin kamu, Rin," kata Farrel dengan gerakan dagu yang menunjuk ke arah mobil Ravel. Gadis itu lantas mengikuti arah gerakan dagu Farrel dan benar saja, Ravel sedang menatap ke arah mereka dengan tatapan yang tidak dapat dideskripsikan.
Bohong jika Karinka bilang jantungnya tidak jumpalitan di dalam rongga d**a saat ini. Hanya dengan jarak radius seratus meter saja jantung Karinka sudah bertalu tak karu-karuan, apalagi kalau ditatap seperti saat ini. Namun, sayangnya debaran kali ini bukanlah debaran yang menyenangkan seperti biasanya, melainkan debaran yang berasal dari perasaan takut dan ngeri. Karinka merasa tatapan yang dilayangkan oleh Ravel padanya tampak seperti seekor singa yang sudah mengincar mangsanya sejak lama, hanya tinggal menunggu waktu untuk menerkam saja.
"Masuk," titah Ravel. Meskipun pria itu masih duduk di dalam mobil, tetapi Karinka masih bisa mendengar jelas kalimat bernada otoriter yang meluncur dari mulutnya.
Tak ingin menyulut emosi Ravel semakin tinggi, akhirnya Karinka pun memutuskan untuk berpamitan pada Farrel. Gadis itu melambaikan tangannya beberapa kali sebelum menuruti titah Ravel yang menyuruhnya untuk masuk ke dalam mobil.
Begitu pintu kendaraan beroda empat itu tertutup, Ravel langsung menginjak pedal gas, meninggalkan area lobi kampus Karinka yang masih dipenuhi oleh lumayan banyak mahasiswa dari program studi lain. Ulah Ravel sukses membuat tubuh Karinka tersentak ke depan kemudian menubruk sandaran jok yang ada di belakangnya.
Oi, ini orang gila apa, ya? batin Karinka memaki di dalam hati. Namun, mulutnya terlalu kelu untuk menyuarakan kalimat tersebut. Alih-alih mendapatkan balasan dari Ravel, gadis itu lebih berkemungkinan besar untuk dilempar keluar dari mobil pria itu.
"Kita mau ke mana, Mas?" tanya Karinka.
"Seat belt." Bukannya menjawab sesuai konteks pertanyaan, Ravel malah memberi titah pada Karinka tanpa mau repot-repot untuk menolehkan kepalanya dan menatap ke arah gadis itu. Setelahnya, tidak ada lagi suara yang terdengar di dalam mobil itu. Ravel dan Karinka sama-sama memilih untuk bungkam, membiarkan kesunyian mengambil alih seisi mobil itu.
Karinka tidak tahan lagi dengan keheningan yang sedang menyelimutinya dan Ravel saat ini sehingga ia pun memutuskan untuk memulai topik pembicaraan.
"Mas, aku mau ketemu Mbak Iin boleh nggak? Sejak siuman kemarin aku belum ketemu dia sama sekali."
"Masuk aja ke liang kubur sana."
Karinka sontak menolehkan kepalanya ke sebelah kanan setelah mendengar balasan yang dikeluarkan oleh mulut jahat Ravel. Gadis itu tidak menyangka kalau Ravel mampu mengucapkan kalimat seperti itu. Meskipun pria itu memang memiliki pribadi dingin seperti kulkas delapan pintu sejak orok, tetapi seingat Karinka, mulut Ravel tidak pernah sejahat itu sejak mereka saling mengenal—beberapa tahun silam.
"Mas, nggak lucu bercandanya," elak Karinka yang masih menganggap bahwa ucapan Ravel adalah sebuah lelucon yang tidak pantas untuk dipercayai.
"Memangnya aku kelihatan lagi bercanda sekarang?" tanya Ravel dengan sebelah alis yang terangkat. Pria itu sempat membalas sejenak tatapan Karinka sebelum kembali fokus pada jalanan di depan sana.
"Apa kematian seseorang pantas untuk menjadi bahan bercandaan, Karinka?" tanya Ravel menambahkan. Suara pria itu sedingin es di Kutub Utara, begitu juga dengan wajahnya. Tidak ada ekspresi berarti yang terlukis di sana.
"Bu--bukan gitu maksudku, Mas," gumam Karinka terbata. Namun, gadis itu masih tidak bisa sepenuhnya percaya pada ucapan Ravel.
"Jadi, gimana maksudmu?"
"Mbak Iin pasti nggak kenapa-napa, Mas. Mbak Iin nggak mungkin ninggalin aku," kata Karinka dengan suara bergetar.
Karinka tidak pernah sekali pun membayangkan dirinya akan ditinggal seorang diri di dunia ini oleh Karinna. Meskipun kakaknya itu sudah melakukan perbuatan yang tidak terpuji, tetapi Karinka masih tetap menghormatinya, apalagi ketika mengingat betapa banyak jasa dan materi yang sudah Karinna berikan untuk membantunya. Mendengar kabar kematian Karinna dari mulut Ravelio sungguh terasa seperti bom yang meledak secara tiba-tiba bagi Karinka.
"Ya, istriku memang udah baik-baik aja di ATAS SANA ...." Ravelio menekan dua kata terakhir di dalam kalimatnya sembari menyunggingkan senyum asimetris di bibir. Sudut bibir pria itu semakin tertarik ketika melihat ketakutan di mata Karinka sebelum gadis itu memutuskan kontak mata mereka dan menundukkan kepalanya. "Terlebih ada anak kami yang menemani ibunya," lanjut pria itu dengan nada sarkatis.
Tangan Karinka bergetar di atas pangkuannya. Fakta yang baru saja diketahuinnya benar-benar mengguncang mental gadis itu. Rasanya untuk mengeluarkan satu patah kata dari mulut saja terasa sulit karena tenggorokannya seperti tercekik oleh tangan tak kasat mata saat ini.
"Kenapa diam?" tanya Ravel dingin. "Ke mana keberanian mulutmu yang menjawab terus dari tadi?" lanjut pria itu.
"M--mas ... a--aku ... aku minta maaf," cicit Karinka tergagap. Setelah berusaha menetralkan keterkejutannya, gadis itu akhirnya mampu bersuara lagi.
Mendengar permintaan maaf yang terlontar dari mulut Karinka sontak membuat tangan Ravel mencengkram roda kemudi lebih erat daripada sebelumnya. Urat-urat di tangan pria itu pun tampak bermunculan. Kalimat Karinka membuat perasaan benci dalam diri Ravel semakin menjadi-jadi pada gadis itu.
"Permintaan maaf-mu nggak bisa membuat istri dan calon anakku hidup lagi," balas Ravel dengki. "Ingat Karinka, nyawa harus dibalas dengan nyawa. Tunggu aja tanggal mainnya, Adik Ipar yang Manis," sambung pria itu dengan senyum. Bukan senyum menawan seperti yang pertama kali Karinka lihat dua tahun silam di taman panti asuhan, melainkan senyum bengis yang sarat akan kebencian.