Cry

1219 Words
Arsih menatap Sean dengan tatapan tak percaya, bagaimana mungkin pria yang menjadi musuhnya ternyata menolong dirinya. Dan sanggup berkata dengan manis diatas nasehatnya. " Tak usah merasa terharu, aku melakukan ini, murni karena rasa kemanusiaan, tak lebih. Jadi hilangkan rasa simpatymu..." Ucapan Sean sontak membuat Arsih mengibaskan tangannya yang baru selesai di perban oleh Sean. Sean mengembangkan senyum di wajah tampannya, melihat wanita di sisinya sudah sedikit dapat mengontrol emosinya. Arsih memalingkan wajahnya menatap jendela mobil. Hatinya berkecamuk, ragu. Haruskan dia mengucapkan terimakasih kepada musuhnya karena telah membantunya, atau merasa sial karena di saat seperti ini sang musuh mengetahui kelemahannya. Sean kembali menginjak pedal gas, melajukan mobilnya meninggalkan pelataran parkir apotek. Menuju jalanan yang telah mulai sepi karena hari semakin malam. " Dimana kau tinggal biar aku mengantarmu kesana, berbahaya kalau kau memaksakan diri mengemudi dalam keadaanmu yang kacau seperti ini..." Tanya Sean kepada Arsih yang menatapnya seolah tak percaya, bagaimana tidak, Sean adalah orang asing yang kebetulan dia temui di beberapa moment tidak baik. Sejenak Arsih bingung lalu kembali menguasai diri dan kemudian dia menjawab. " Tak perlu mencampuri urusan orang lain Bung Sean, dan tidak usah menjadi paranormal dadakan, aku tidak kacau, aku baik-baik saja..!!" Isak Arsih seraya memalingkan pandangannya kembali ke jendela samping. " Awalnya aku juga hendak mengabaikanmu, tapi lihatlah dirimu, jangankan diriku yang telah beberapa kali bertemu denganmu, penjahat yang melintas sekalipun pasti akan kasihan melihatmu..." Jawab Sean sedikit kesal. " Jangan kasihani aku! Siapa kau berani mengasihani aku, hah?! Aku tak semenyedihkan itu!" Teriak Arsih putus asa. " Kalau kau tak ingin di kasihani, coba kau lebih peduli kepada dirimu sendiri, berpenampilan rapi ketika depan umum, mungkin orang lain tak akan memperhatikan permasalahamu. Jadi berhentilah mengeluh. Dan syukuri saja pertemuan ini!" Sean yang melihat reaksi Arsih langsung melajukan mobil dinas yang biasa Arsih gunakan, dengan cepat. Sean Memilih kembali diam dan terus menyusuri jalanan tanpa berkata sepatahpun, Sean melirik jam di tangannya, lalu dengan lihai dia telah membelokkan mobil tersebut menuju Food Court yang ada di seberang jalan, dia berfikir Arsih pasti belum makan karena jarak mereka pulang kerja tadi tidaklah jauh. Setelah memarkirkan mobil dinas Arsih, Sean berkata " Turunlah.. dan traktir aku makan, dua hari sudah makanku terancam karena kehilangan dompet, dan saat ini perutku sangat lapar, tak mau kan kau melihat orang yang dompetnya kau sita, mati kelaparan?" Sean menoleh kearah Arsih. " Rapikan rambutmu dan usap air matamu, aku tidak sedang menculikmu, jadi aku tak ingin menjadi pusat perhatian pengunjung lain..." Ucap Sean sembari tanpa sadar tangannya merapikan rambut Arsih, lalu dia tarik dengan cepat setelah menyadari Arsih adalah orang asing baginya, lalu dia menyodorkan tissue di mobil itu. Kata-kata yang baru saja di ucapkan pria itu, membuat Arsih menatap Sean tak percaya, tanpa ada bantahan, karena dia sebenarnya ragu dengan apa yang di ucapkan pria itu, tapi dirinya tidak tega, Benarkah yang di ucapkan pria itu? Dari wajahnya tak menyimpulkan dia tengah kelaparan, tapi mengapa dia berkata begitu, benarkah dia mengalami kesulitan karena dompetnya ada padaku? Baiklah. Tak ada salahnya aku mentraktirnya, lalu mengembalikan dompetnya sesegera mungkin. " Jangan bengong, ayo turun. Aku tak mungkin turun, aku tak memiliki uang sama sekali..." Ucap Sean mengejutkan Arsih yang tengah mempertimbangkan keinginan Sean. Sean tampak menuruni mobil, lalu dia berjalan kearah pintu samping, dan membuka pintu itu untuk Arsih. " Turunlah, aku mau makan dua porsi makanan, cacing di perutku sudah menyalakan alarm..." Arsih akhirnya mengikuti turun dari mobil, dan berjalan di belakang Sean dengan wajah tertunduk, menutupi mata sembabnya. Setelah melihat kursi yang kosong, mereka berjalan kearah kursi itu lalu duduk dan memilih menu yang di meja. Sean tampak mengamati menu satu persatu, lalu dia menoleh kearah Arsih, yang duduk mematung. " Kau mau makan apa..?" Tanya Sean kepada Arsih yang kini menatap ponselnya yang terus berdering sedari tadi. Sean diam, lalu menjauh meninggalkan Arsih yang masih seperti ragu mengangkat telpon masuk mungkin karena ada dirinya, Sehingga Sean memilih memesan menu dengan mendatangi gerai makanan yang ingin dia nikmati. Dan sup ikan salmon plus telur rebus dengan minuman jus alpokat dan jeruk hangat menjadi pilihannya malam itu. Sean membawa menu ke meja dimana Arsih duduk dan kini sedang fokus menerima panggilan, Sean menghentikan langkahnya karena tak ingin Arsih merasa tak leluasa sehingga dia memilih duduk di kursi meja di balakang Arsih yang masih kosong. Arsih yang berapi-api menahan kekecewaan nya tak menyadari jika Sean ada di seberang mejanya. " Stopp! aku tak ingin mendengar penjelasanmu lagi Casey, apa yang telah aku lihat dengan mata kepalaku sendiri sudah cukup menjelaskan semuanya, dan aku tidak membutuhkan penjelasan tambahan, dan kau tak cukup mabuk untuk tidur dengan wanita lain, kau mengenaliku dengan baik tadi! jadi mulai sekarang tak usah lagi menemuiku, antara kita telah berakhir... aku tak peduli seberapa lama kita bersama." Arsih tampak menangis hingga bahunya terguncang. " Casey. Ku mohon. Biarkan aku berfikir dengan tenang, biarkan aku menganalisa semua yang terjadi selama ini, aku tak perlu tahu seberapa jauh hubunganmu dengan pramugari itu, aku juga selama ini berusaha menutup telinga dengan selentingan kabar adanya kedekatan antara kau dan pramugari, apakah itu hanya rasa kasihan atau apapun. Aku tak ingin mendengarnya lagi Casey. Ku mohon. Biarkan aku bernafas dengan tenang, apa yang aku lihat hari ini, cukup membuat dadaku sesak. Jadi, sebaiknya tanggung jawabi apa yang kau perbuat dengan wanita itu, tentangku? Abaikan saja…” Begitulah potongan kalimat yang Sean dengar melalui pembicaraan Arsih di ponsel l. Dari kalimat yang di dengarnya, Sean mengetahui bahwa Arsih belumlah menikah seperti pengakuan sebelumnya. Sean berdiri perlahan seraya mengangkat baki berisi menu yang telah dia pesan lalu berjalan memutar menuju meja dimana Arsih berada, dia meletakkan menu makanan di meja seraya berkata. " Lihatlah betapa baiknya aku memilih menu yang standart dan tidak memberatkanmu, dimana lagi kau temukan manusia sebaik aku, sudah terzholimi tapi masih baik…” Sean menyodorkan menu ke hadapan Arsih “ Makanlah sup ikan dan jeruk hangat, ini akan memperbaiki moodmu hari ini.." Sean melirik Arsih yang terlihat mengelap air mata yang terus mengalir di pipinya. Entah mengapa hati Sean sedikit terusik dengan air mata Arsih, hal yang tidak pernah dia lakukan sebelumnya, mungkinkah paska accident itu hatinya yang membeku dan keras sudah mencair dan menjadi mudah berempaty? " Makanlah segera, sebelum dingin. Semakin cepat kau makan maka semakin cepat kau pulang dan istirahat.." Lanjut Sean seraya menatap Arsih yang masih termenung memandang kosong ke meja. Lalu Sean meraih tangan Arsih dan menggenggamnya memandu untuk memegang sendok, hingga membuat Arsih terkejut. Dia mengibaskan genggaman Sean. Tapi memilih menurut untuk menikmati makanan yang ada di hadapannya. Arsih sesekali menatap Sean dengan tatapan seolah ingin meratap, lalu perlahan dia menyuapkan makanan yang ada di hadapannya, tanpa ekspresi dan bibir masih terbungkam tanpa mengeluarkan sepatah katapun paska menerima panggilan telpon. Setelah beberapa suap Arsih memutuskan untuk menghentikan makannya dan memilih meminum jeruk hangat lalu beranjak membawa bon dan pergi membayarnya tanpa menghiraukan Sean yang terlihat masih menikmati menu makanan. Setelah selesai membayar semua pesanan Arsih keluar menuju parkiran dimana mobilnya terparkir di bawah pohon. Sementara Sean masih terlihat menikmati makannya, memberi ruang untuk Arsih yang mungkin saat ini ingin menjerit dan menangis sepuasnya karena kecewa terhadap kekasihnya. Setelah menyelesaikan makannya Sean berjalan menuju mobil terparkir, dia merogoh kantongnya dimana kunci mobil itu berada. Sengaja menyimpan kunci mobil fi dalam saku celananya. Dari kejauhan dia melihat bahu Arsih berguncang seperti tengah menahan tangisnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD