8. Pagi Pertama Sebagai Madu

1118 Words
Keduanya masuk ke dalam selimut yang sama. Laili mengambil posisi terlentang menghadap langit-langit kamar. Sedangkan Arya, mengambil posisi miring ke kanan menghadap Laili. Lelaki ini sepertinya akan mempunyai mainan baru yang akan selalu membuat ia tertawa. "Mau tidur kok kayak robot. Sini, lihat saya!" Arya menarik lengan baju kaus Laili, namun ditahan olehnya. "Begini saja, Tuan. Saya biasa tidur terlentang. Kalau miring ke kanan atau ke kiri leher saya menjadi sakit," terang Laili berbohong. Dalam hati berkali-kali ia beristighfar. Sebenarnya ia tak ingin berbohong, tapi ia terlalu takut dengan suasana seperti ini. "Kok Tuan lagi? Panggil sayang saja, biar lebih akrab," bisik Arya membuat perut Laili seketika bergolak. "Ha ha ha ... Tuan lucu!" Laili terbahak lebar hingga memperlihatkan deretan giginya yang putih. Cup "Kamu lebih lucu," balas Arya setelah mengecup cepat pipi sang istri muda. Laili mematung kembali, hatinya membuncah gembira saat suaminya mengatakan ia lucu sambil menciumnya. Apakah ini tandanya ia sudah jatuh cinta dengan suami tuanya? "Kok bengong sih? Ayo, sini lihat saya!" kali ini, Arya menarik bahu Laili agar keduanya saling berhadapan. Laili tidak kuat menahan tarikan tangan Arya, hingga kini ia berhadapan dengan Arya. Keduanya saling mengunci pandangan. Namun, sepersekian detik kemudian, Laili memejamkan mata tidak berani menatap wajah suaminya. "Kalau tidak buka mata, saya cium lagi nih!" ancam Arya spontan membuat Laili membuka mata. "Nah, begini cantik. Terimakasih sudah mau menjadi istri kedua saya. Harus sabar dan kuat jika selalu menjadi nomor dua, ya." "Iya, Tuan. Eh, iya Mas." "Mau kuliah di mana nanti?" "Di mana saja asal jurusan Psikologi." "Wah, hebat. Saya dukung. Namun, kamu harus janji, jangan sampai naksir teman kuliah kamu." "He he he ... iya, Mas." Laili kembali tertawa. Seorang Arya Jovan kenapa menjadi sangat manis seperti ini. "Laili." "Ya." Arya mengusap rambut Laili, lalu turun ke pipi, hidung, leher, kemudian menaikkan dagu sang istri untuk mencium bibirnya. Suasana malam yang sepi dan lampu kamar yang redup, serta alunan rintik hujan di luar membuat suana semakin sahdu, untuk dinikmati dua insan yang baru saja halal di mata agama dan negara. "Apakah boleh sekarang?" tanya Arya sambil berbisik. "Boleh apa, Mas?" "Kita bikin adik buat Dira." "Gimana caranya?" "Begini." Arya membuka kaus yang ia pakai, lalu membuka kaus yang dipakai Laili. Wanita itu hanya menurut walaupun dengan wajah memerah malu. Entah bagaimana bermula, keduanya sudah sama-sama tanpa busana. "Jangaaaaaaan!" Ririn tersentak dari tidurnya. "Huh...huh...huh..." nafas Ririn terengah-engah dengan keringat deras mengucur. Langsung saja pandangannya menyapu sisi ranjang yang biasa ditiduri oleh suaminya. Arya nampak sangat lelap sambil memeluk guling. Nafasnya pun terdengar mendengkur, tanda suaminya benar-benar terlelap. Diliriknya jam dinding yang sudah menunjukkan pukul setengah empat shubuh. "Astaghfirulloh. Ternyata hanya mimpi," gumam Ririn sambil mengusap peluh. Susah payah ia menggeser tubuhnya agar mendekat pada suaminya. Memeluk pinggang suaminya dengan erat . Air matanya turun tanpa aba-aba, sungguh ia sangat ketakutan saat ini, jika yang ada di mimpinya benar saja terjadi. "Maafkan aku yang belum benar-benar ikhlas melepasmu, Mas. Maaf," bisik Ririn di balik punggung suaminya. Suasana pagi dimulai dengan drama Anes yang merajuk tidak ingin sekolah. Gadis kecil itu menangis meraung-raung saat akan dimandikan oleh Laili. Belum lagi Doni yang tiba-tiba saja minta disetrika seragam putihnya kembali, karena jika bibik yang menyetrika kurang licin, begitu kata Doni. "Anes cape, Anes tidak mau sekolah!" teriak Anes pada Laili yang kini sedang mengeringkan tubuh Anes dengan handuk. "Emangnya semalam Anes habis ngapain? Kok cape," tanya Laili sambil tersenyum. "Anes mimpi lomba lari, Teh. Trus Anes menang. Pas bangun, Anes cape. Nafasnya ngos-ngosan," terang Anes sambil sesekali menarik masuk air hidungnya. "Oh, hanya mimpi. Teteh kirain Anes habis lomba lari beneran. Emang Anes mau jadi atlit lari?" "Mau. Biar masuk televisi." "Tahu tidak, kalau atlit olah raga yang masuk di TV itu, sekolahnya pada rajin. Tidak pernah izin kecuali sakit. Anes, masa baru mimpi kecapean lomba lari saja, sudah mau izin sekolah. Gimana mau jadi atlit?" "Iya udah deh. Anes sekolah," suara lemah Anes yang akhirnya menyetujui bujukan Laili. Pakaian seragam sekolah Anes sudah rapi, rambutnya juga sudah dikuncir ekor kuda oleh Laili. Tas sekolah juga sudah siap. Gadis kecil itu tersenyum di cermin. "Kalau Anes sudah besar seperti Teteh Laili, Anes mau cantiknya seperti Teteh, biar disayang Papa," ujar Anes membuat Laili merona. Benarkah suaminya menyayanginya? "Teeh! Baju seragam aku nih!" teriak Doni dari dalam kamarnya. "Eh, iya. Sebentar." Laili bergegas menghampiri kamar Doni, lalu mengambil kemeja sekolah untuk disetrika kembali. "Jangan lama-lama, Teh!. "Iya." Laili setengah berlari turun ke bawah tanpa memperhatikan langkahnya. Bugh! "Aaaahh..." Arya menahan tubuh Laili dengan tubuhnya. Keduanya berpose seperti berpelukan. Wajah Laili yang kaget, seketika merona saat Arya memeluknya seerat ini. Jangankan Laili, Arya pun memerah wajahnya karena malu. "Kamu tidak apa-apa, Laili?" tanya Arya saat merenggangkan pelukannya. "T-tidak apa-apa, Tuan. Permisi, saya ke bawah dulu." "Tunggu! Lain kali hati-hati ya jalannya. Untung tadi ada saya, kalau tidak kamu bisa jatuh terguling." Arya menahan lengan Laili, menatap wajah Laili dengan teduh. "Iya, Tuan." Laili mengangguk paham, lalu dengan hati-hati menuruni undakan anak tangga satu per satu. Sambil mengatur detak jantungnya yang bertalu cepat, sisa pelukan yang diberikan Arya tadi masih membekas di tubuhnya dan terasa begitu hangat. Pagi ini, pagi pertama Laili menyantap sarapan di meja makan bersama dengan keluarga Arya. Sebenarnya ia sudah menolak, tetapi Ririn memaksanya agar beradaptasi dengan status barunya di rumah ini. Laili makan dengan canggung, karena tepat di depannya ada Arya dan Ririn yang duduk bersampingan, kini memandangnya dengan intens. Rasa nasi uduk buatan bibik yang seharusnya enak ini, terasa hambar di lidah Laili. Karena pandangan dua majikannya yang tak pernah putus memperhatikannya. "Nyenyak tidur di kamar baru?" tanya Ririn membuka pertanyaan. "Nyenyak, Nyonya. Hangat, seperti ada yang memeluk." Huk! Huk! Arya tersedak. Flashback Setelah memastikan istrinya Ririn tertidur dengan lelap. Diam-diam Arya masuk ke dalam kamar Laili. Awalnya kamar itu terkunci, namun sayang, Laili lupa, jika ada pintu penghubung kamar tamu tepat di kamar Anes. Sehingga Arya masuk ke dalam kamar tamu, melalui pintu sambung yang berada di kamar Anes. Mengendap-endap ia naik ke atas ranjang agar Laili tidak terbangun. Diusapnya rambut Laili yang tergerai indah, lalu dikecupnya hangat kening istri mudanya itu. Sangat perlahan dan hati-hati, ia memeluk tubuh Laili, mendekapnya erat sambil membelai kembali rambut panjang Laili. Merasa begitu nyaman, Laili yang masih tak sadar, malah menyurukkan kepalanya di d**a Arya, membuat lelaki dewasa itu menyeringai lebar dengan hati bersorak. Ia pun ikut terlelap sambil memeluk Laili. Arya yang biasa terbangun pukul tiga shubuh, tersentak dari tidurnya. Dilihatnya jam dinding sudah pukul tiga shubuh. Dengan perlahan ia turun dari ranjang Laili, lalu keluar dari pintu sambung di kamar Anes. Ia berjalan masuk ke dalam kamarnya bersama Ririn, lalu kembali melanjutkan tidurnya. Flash back off. **** Bukan sepertinya, tapi emang ada bapak-bapak m***m yang demennya bolak-balik bae ?????
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD