Laili yang tadinya ingin berangkat naik ojek online, tetapi tidak jadi. Ririn bersikeras meminta Laili diantar oleh Arya, suami mereka. Karena memang sekolah Laili dan juga Doni tidak terlalu berjauhan, lagi pula searah dengan kantor Arya. Dengan berat hati, Laili akhirnya mengikuti saran Ririn. Sebenarnya bukan ia tak suka, ia hanya malu saja. Apalagi saat mengingat semalam Arya hampir saja mencium bibirnya.
"Kucing tetangga kita suka melamun lho, Bang. Eh, besokannya hamil," sindir Arya mengajak Doni berbicara. Tetapi matanya melirik Laili yang kini menahan senyum.
"Masa sih, Pa? Siapa yang hamilin?" tanya Doni dengan polosnya.
"Ya suaminya, masa Papa yang hamilin. Ha ha ha ha ..." Doni dan Arya terbahak, sedangkan Laili mati-matian menutup mulutnya agar tidak ikut terbahak.
"Laili."
"Ya, Tuan."
"Kamu sakit?"
"Nggak."
"Kenapa diam saja?"
"Saya jatuh cinta."
Ckkkkiiittt....
"Allahu Akbar!" pekik Laili dan Dono yang kaget karena Arya tiba-tiba saja menginjak rem dengan kuat.
"Ada apa, Pa?" tanya Doni keheranan.
"Nggak papa, Don," jawab Arya canggung, sambil mengusap peluh yang bercucuran di dahinya. Laili tertawa kecil, ekor matanya melirik Arya yang kini juga sedang melihat ke arahnya.
"Tuan, saya turun di depan ya. Mau fotokopy," ujar Laili sambil menunjuk toko alat tulis yang melayani juga fotokopy. Lokasinya yang tidak jauh dari sekolah Laili.
"Yang itu?" Arya memastikan tempat yang disebutkan Laili.
"Iya, Tuan." Arya memarkirkan mobilnya di depan toko. Laili turun, lalu mengeluarkan beberapa kerta dari dalam tas ranselnya. Dengan sabar, Arya menunggu Laili yang terlihat mengantre, sedangkan Doni sudah berulang kali melirik jam tangannya.
"Telat lho nanti Doni, Pa," ujar Doni sambil memperlihatkan jam tangannya.
"Sabar. Itu sebentar lagi Teh Laili selesai."
"Kenapa ga ditinggal saja, Pa? Kan sekolahnya di depan tuh. Paling tiga ratus meter lagi."
"Nanti kalau Teh Laili diculik, kita repot," bisik Arya.
"Oh, gitu. Ya udah deh." Doni mengalah. Ia membuka jendela mobil.
"Teh, ayo cepetan!" teriak Doni membuat Laili menoleh ke belakang.
"Lho, udah berangkat aja. Sekolah Teteh di depan sana, deket kok," jawab Laili.
"Kata Papa, Teteh ga boleh ditinggal, nanti diculik," sahut Doni yang spontan saja membuat rona merah tercetak di kedua pipi Laili. Akhirnya ia kembali masuk ke dalam mobil setelah membayar kertas fotokopy. Arya masih memperhatikan Laili dari spion, membuat Laili salah tingkah.
"Alhamdulillah, sampai. Hati-hati ya," pesan Arya.
"Iya, Tuan. Saya pamit."
"Kenapa tidak salim?"
"Eh iya, lupa." Laili menyeringai, lalu memajukan tubuhnya mendekat kepada Arya.
"Bang, itu teman kamu bukan?" Doni menoleh keluar.
Cup
Secepat kilat Arya mencuri cium pipi Laili, tanpa disadari oleh Doni. Laili yang dicium tiba-tiba, tentu saja kaget bukan kepalang. Wajahnya sudah merona malu karena kelakuan Arya.
"Iseng, ih!" Laili turun dari mobil dengan kesal, sambil mengusap kasar pipinya yang tadi dicium oleh Arya.
Arya tersenyum senang, ia kembali menginjak pedal gas secara perlahan. Tujuan berikutnya dalah sekolah Doni, yang berjarak satu kilometer dari sekolah Laili. Inilah salah satu nikmatnya beristri dua. He he he ...
Dengan wajah bersemu merah, Laili berjalan masuk ke dalam kelas. Tak dipedulikannya satu dua tatapan adik kelas atau teman seangkatannya yang memandang iba padanya. Rupanya, peristiwa ia diputuskan oleh Danu di kantin, menjadi trending topik di sekolah. Bahkan masih saja menjadi pembicaraan hangat setelah berlalu tiga minggu.
"Kalau simpanan Om-Om, lain ya wajahnya," celetuk salah seorang teman Danu yang kebetulan lewat di depan Laili.
"Eh, Eko. Mulut apa em*er sih? Boc*r betul!" balas Laili yang entah dari mana keberanian itu datang. Eko sampai terperangah, ia tidak sangka Laili bisa menyahuti ucapannya dengan ketus.
"Tumben lu berani, Li. Biasanya mingkem aja," timpal Eko henak berjalan meninggalkan Laili.
"Omongan sampah ya harus dibantah. Siapa yang bilang sama lo, gue simpanan Om-om? Biar gue sobek-sobek mulutnya," sahut Laili berapi-api, dengan posisi tangan berkacak pinggang.
"Mantan lu tuh!" tunjuk Eko dengan dagunya. Ada Danu yang kini dengan pongahnya duduk dekat jendela sambil mencibir Laili.
Dengan langkah lebar, Laili masuk ke dalam kelas dan langsung menghampiri Danu yang memasang wajah masa bodoh. Semua teman-teman mereka di kelas ikut memperhatikan keduanya.
Brraak!
Laili menggebrak meja Danu dengan tas ranselnya.
"Masalah lu apa sama gue? Bukannya gue udah lu putusin dan bikin gue malu? Belum puas sampe situ? Hah?" Laili menarik kerah baju seragam Danu dengan sekuat tenaga, hingga Danu terhuyung dan tentu saja ditertawakan teman-temannya.
Plaak!
"Geser tangan lu! Ga sudi gue di pegang sama simpanan Om-om kayak lu!"
Plaak!
Plaaak!
Laili menampar wajah Danu dua kali sekuat tenaga, hingga Danu tersungkur di lantai.
"Ban**i lo! Beraninya sama perempuan!" bentak Laili yang sudah habis kesabarannya.
"Ada apa ini? Laili, Danu. Kalian berdua ke kantor, sekarang!" titah Bu Gyta wali kelas mereka dengan wajah kesal.
****
Sementara itu di kantor, Arya baru saja selesai memimpin rapat proyek pembangunan jalan tol di di Kota Semarang. Ia terpilih sebagai kepala proyek di sana, sehingga dalam waktu dekat, mungkin ia akan segera berangkat ke Semarang untuk urusan pekerjaannya. Pagi yang semangat baginya, karena mempunyai dua istri yang akur dan gemesin. Arya tersenyum tipis bila mengingat wajah kesal Laili saat ia cium di mobil tadi.
"Maaf, Pak Arya. Ada telepon dari sekolah Mbak Laili," ujar sekretarisnya.
"Oh oke, terimakasih."
[Hallo, Assalamualaykum]
Wajah Arya nampak panik, ia segera menutup teleponnya setelah mendengar pengaduan dari wali kelas Laili, lalu berlari keluar ruangannya sambil memegang ponsel dan juga kunci mobilnya. Tempat yang akan ia datangi saat ini adalah sekolah Laili.
Mobil ia kendarai dengan kecepatan sedang, karena jalanan ke sekolah Laili memang tidak terlalu besar. Tak sabar rasanya ingin melihat keadaan Laili yang baru saja bertengkar dengan teman lelakinya. Mobil pun sampai di parkiran sekolah. Arya segera turun dari mobil, lalu melangkah lebar menuju kantor Kepala Sekolah SMU Bina Bangsa.
Tuk
Tuk
"Permisi," ujar Arya dari balik pintu.
"Masuk."
Arya membuka pintu kantor cukup besar, lalu masuk ke dalamnya.
"Permisi, Bu. Saya wali dari Laili," ujar Arya memperkenalkan diri.
"Ah, iya Pak. Mari silakan duduk." Ibu Kepala Sekolah mempersilakan Arya untuk duduk. Sedangkan Laili dan Danu masih berdiri mematung menghadap tembok.
"Ada apa ya, Bu?" tanya Arya tak sabar.
"Laili baru saja menampar Danu."
"Hah? Laili menampar anak laki-laki?" Arya menggeleng tidak percaya.
"Danu mengatakan saya simpanan Om-om, Bu," rengek Laili mengadu, tetapi tidak berani berbalik melihat ke arah Arya.
"Apa benar itu, Pak?"
"Astaghfirulloh. Fitnah itu, Bu. Tega sekali teman-temannya memfitnah istri saya."
Ibu Kepala Sekolah terhenyak mendengar ucapan Arya barusan.
"Maksud Bapak?"
"Kemarin, Laili sudah menikah dengan saya secara siri. Jadi saya ini suami sahnya."
"Hah? Apa?"
*****