13. Ternyata Dia Mencintai Tiffany!

1110 Words
“Maukah kau menjenguk Tiffany denganku? Anu ... tapi jika kau tak mau, aku akan menjenguknya sendiri. Cukup beri tahu saja di mana dia dirawat. Aku mohon.” Kutundukkan kepala saat aku meminta dan memohon pada Adrienna. Kuharap dia mau menemani atau setidaknya memberikan alamatnya saja. “Aku tidak akan membiarkanmu menjenguk Tiffany sendirian.” Adrienna pun berdiri dan mengambil tas nya. “Aku akan mengawasimu.” “Kau mau pergi, Na?” “Iya, aku cabut duluan aya.” Senyum pun terbit, walau Adrienna masih sinis, setidaknya dia mau mengantarku. “Makasih, Na.” Dia berjalan mendahuluiku. “Cepatlah! Aku tidak suka dengan orang yang lelet.” Ah, Adrienna. Bisa-bisanya dia mencuri kata-kata Kak Arthur. Haha. Biasanya dia yang disebut lelet oleh saudara kembarnya. "Oke, Na. Tapi pelan-pelan.” Tubuh gendut ini membuat aku sulit berlari untuk mengejar Adrienna. "Aduh!" Belum lagi ada tangga kantin yang pijakannya tak terlihat karena lemak yang menumpuk di perutku. Akhirnya kita sampai di parkiran mobil. Tadi aku datang ke mari menggunakan taksi, jadi tidak ada mobil yang bisa kugunakan sekarang. Lagipula aku ragu dengan tubuh gendut ini, bisakah tubuh ini duduk di kursi kemudi? Aku takut perut ini menekan pada stang kemudi. “Na, kau mau menyetirnya?” tanyaku padanya. “Iyalah! Mana mungkin aku nyuruh kamu!” “Oh, makasih, Na.” Adrienna menatapku, entah kenapa dia merasa aneh atau heran. Tapi dia kemudian menggelengkan kepalanya. “Sudahlah, ayo naik!” Kami pun naik ke mobil milik Adrienna dan aku duduk di kursi samping temanku ini. Dalam setengah perjalanan kami saling diam dan tak menyapa. Akhirnya aku pun memulai percakapan dengannya. “Adrienna, aku selalu suka dengan cara berpakaianmu.” Wanita di sampingku ini akan merasa senang sekali bila kupuji penampilannya. Jadi, jika ingin mendekatkan diri dengannya, pujilah dia. Dengan tulus tentunya. Tiba-tiba dia pun melakukan rem dadakan dan kami menepi. Adrienna menoleh padaku. “Kau bilang apa?” “Aku hanya bilang jika aku sebenarnya selalu suka dengan caramu berpakaian. Bagiku, kau ini orang yang memiliki ketertarikan lebih pada dunia fashion, benar, kan?” Adrienna mengangguk. “Ya, memang benar. Aku menyukai fashion. Tapi kenapa kamu mengatakan ini padaku sekarang? Kau ingin agar aku mau mengakuimu sebagai kakak ipar?” Segera kugerakkan tanganku di depan. “Tidak! Tidak! Aku ... hanya mengatakan yang ada di pikiranku saja. Tak ada maksud lain.” Teman perempuan yang duduk di sampingku ini pun kembali menginjak pedal gas sehingga kendaraan yang kami naiki pun kembali berjalan. “Aku ... sudah menyerah untuk urusan itu.” Tiba-tiba saja aku berkata demikian. “Maksudmu? Kau menyerah untuk menjadi istri kakakku?” “Ah, iya!” Aduh, aku salah bicara. Saat menjadi Tiffany, memang aku akan menyerah untuk menyukai ketua Arthur. Tapi kini aku menjadi Tiff, aku harus bertekad untuk membuatnya menyukaiku. “Kalau begitu bisa kau lepaskan kakakku? Aku melihatnya sangat kasihan. Dia mendapat banyak tekanan dari orang tuaku bahkan orang tuamu juga.” Aku menoleh pada Adrienna. Tadi aku hanya salah bicara, sekarang aku harus jawab apa. “Untuk masalah itu, aku ... aku tidak bisa berbuat banyak. Maaf,” jawabku sederhana. “Jadi kau akan terus bertahan dengannya? Padahal kamu tahu dia mencintai wanita lain?” Pertanyaan Adrienna cukup menjebak, aku tak tahu harus menjawab apa. “Anu ... rumah sakitnya masih jauh?” Kucoba untuk mengalihkan pembicaraan. “Sebentar lagi. Aku tak akan mengantarmu jika kau tak menjawabnya. Apa kau akan terus bertahan dengan pria yang sudah jelas mencintai wanita lain?” Pertanyaan Adrienna kembali menyudutkan. “Maaf, Na.” Tiba-tiba saja aku menangis. “Aku mencintainya, sangat mencintainya. Aku hanya bisa menyukainya dalam diamku dan bertahan di sampingnya walau aku tau dia milik orang lain. Kau juga tau perasaanku pada kakakmu, kan? Jika memang dia harus bahagia dengan wanita lain, aku sudah rela melepasnya. Hatiku sudah ikhlas untuk meninggalkan perasaan yang ada padanya. Sebenarnya aku tak berharap lebih, aku hanya ingin hidup bahagia.” “Apa yang kau katakan?” tanya Adrienna sambil menggelengkan kepala. Aku hanya mengatakan saja perasaan yang ada dalam hatiku sebagai Tiffany. Entahlah, aku berpikir selalu nyaman saja jika bicara pada Adrienna. Mungkin sekarang dia akan merasa ucapanku barusan sangatlah aneh. Tiba-tiba saja Adrienna membelokkan mobilnya, aku pun melihat ke sekeliling dan baru menyadari jika kita ternyata sudah sampai di rumah sakit. “Kita sudah sampai?” tanyaku pada Adrienna. “Hmm, turunlah.” Semoga Adrienna tidak merasa aneh dengan ucapanku tadi. “Apa yang mau kaulakukan dengan menjenguk Tiffany?” tanya Adrienna selagi kita berjalan menyusuri lorong rumah sakit. “Tidak ada. Aku hanya ingin melihat bagaimana kondisinya.” “Kau tidak sedekat itu dengannya, kenapa mau menjenguk Tiffany?” tanya Adrienna penuh selidik. Kenapa aku dicurigai begini? Maksudku, apa Adrienna juga menuduh Tiff melakukan sesuatu pada tubuh asliku? “Teman-teman yang lain sudah menjenguk Tiffany, sepertinya hanya aku yang belum menjenguknya seorang. Hal itu membuatku merasa buruk.” “Apa? Kau biasanya juga tidak pernah mau menjenguk siapa pun kawan kita yang sakit. Jika kau merasa buruk, kenapa tidak dari dulu melakukannya?” “Apa?” Aku pura-pura tidak mendengar saja. Mana mungkin kukatakan jika aku ingin menjenguk tubuh asliku. Adrienna hanya memutar bola matanya dan nampak kesal padaku. “Apa kamarnya masih jauh?” tanyaku pada Adrienna. “Di depan.” Kami berbelok pada sebuah ruang rawat inap. Begitu aku masuk, terkejut aku dengan keberadaan seseorang yang telah lebih dulu ada di sana. “Ka ... kak Arthur?” panggilku pada orang tersebut. Jujur, aku merasa aneh. Kita berdua tidak terlalu dekat, sampai kak Arthur mau menunggui tubuh asliku di sini. Apa di dalam tubuhku ada Tiff yang asli? Apa dia menyadari jika ada Kak Arthur di dekat tubuhku? “Sejak kapan?” Aku bertanya sambil berdiri berseberangan dengan pria itu. “Aku harap kamu tidak terkejut, Tiff,” ucap Adrienna padaku. “Bukankah sudah tau ini dari dulu?” “Tahu apa?” Aku tidak pernah merasa memiliki kedekatan khusus pada Kak Arthur. Aku yakin, kedekatan Kak Arthur denganku selama ini adalah karena organisasi. “Jangan pura-pura lupa lagi deh.” “Ngapain kamu bawa dia?” Kak Arthur membuka mulutnya. “Kak,” panggilku yang tak ia gubris. “Aku pergi dulu. Jaga jangan sampai seujung kuku pun dia menyentuh perempuan yang aku cintai.” Ucapan Kak Arthur sebelum pergi membuat bunga dalam hatiku seakan bermekaran. Aku menutup mulut tak percaya, rasanya ingin menangis. Ternyata selama ini Kak Arthur menyukaiku? Tanpa kusadari, air mata bahagia ini menetes. “Sudah kubilang jangan menangis!” tegur Adrienna padaku yang berada dalam tubuh Tiff. Dia tidak tahu jika aku ini Tiffany dan aku ini sedang menangis karena bahagia. “Jadi ... jadi sebenarnya, Kak Arthur menyukaiku?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD