Suasana kuliah menjadi tak menyenangkan. Aku pikir dengan banyak uang semua menjadi mudah, namun jika kita berangkat ke kampus dan tak memiliki teman, ternyata hidup seperti ini lebih sulit daripada kehidupanku yang dahulu.
Dulu aku merasakan jika kehidupan kampusku sangat sulit. Banyak sekali kebutuhan yang harus dipenuhi, ya bukan hanya kebutuhan sih, melainkan juga keinginan.
Aku banyak menghamburkan uang pada hal-hal yang tak penting namun di sisi lain aku juga kesulitan untuk membayar kebutuhan-kebutuhan perkuliahanku yang tidak murah. Sering aku berandai-andai berkata pada diri sendiri. Seandainya aku kaya seperti Tiff, Seandainya aku menjadi Tiff. Sering sekali aku berandai seperti demikian.
Lalu ketika semuanya tercapai dan Tuhan menempatkanku di posisi seorang Tiff, ternyata aku masih saja merasa kesulitan. Karena kehidupan perkuliahan yang Tiff jalani ini sangat jauh dari kehidupanku sebelumnya.
Tiff tidak memiliki teman, bahkan banyak kawan sekelas yang secara terang-terangan mengatai Tiff di depannya. Kemudian, ada juga kawan yang pura-pura baik untuk mendapatkan keuntungan darinya. Sangat menyakitkan jika memiliki teman seperti itu.
Dulu aku dengan Adrienna memang seperti itu. Adrienna sering memberiku uang atau barang-barang mahal yang ia terlanjur beli namun tak suka. Sehingga barang itu pun pasti menjadi milikku untuk selanjutnya. Hal itu dia lakukan karena aku banyak membantunya. Ya, aku ini banyak membantu Adrienna, termasuk dari amarah Ketua Arthur yang tidak kenal ampun. Jadi ... kita memang saling memanfaatkan dan tidak ada kepalsuan di antara kita.
Berbeda dengan circle pertemanan Tiff. Bagaimana ya menjelaskannya? Yang jelas aku lihat dari mereka hanya ada keuntungan sepihak, begitu saja.
“Aku benar-benar kasihan padamu, Tiff.” Menggumam sendiri di kantin.
Sungguh menyedihkan, tak ada seorang pun yang mau satu bangku dengan Tiff. Mereka menganggap manusia sebesar ini hanya bagaikan angin yang perlu dilihat atau dianggap keberadaannya. Tapi, wajar juga. Aku dulu tak pernah ingin sebangku denganmu, Tiff. Maafkan aku. Ternyata sesakit ini menjadi dirimu.
Mungkin Tiff menunjukkan sifat dominan dan egois itu karena hal-hal seperti ini. Ia tak ingin terlihat jika dia juga menginginkan pertemanan. Lebih baik tak memiliki teman, daripada yang hanya memanfaatkan atau hanya manis di depan.
“Adrienna!” Aku memanggil kembaran Kak Arthur agar mau duduk denganku.
Dia menoleh dan melihatku sejenak, lalu ia mengalihkan pandangannya mencari bangku lain yang kosong. Seakan dia tak melihat jika ada bangku kosong di dekatku.
Ya, wajar sekali sih. Dulu ketika aku sering bersama dengan Adrienna, kita sering menghindar dari Tiff. Bahkan terkadang, kita sering urung datang ke kantin jika ada Tiff di sini. Kami selalu mencari tempat makan lain yang tidak ada Tiff-nya. Entahlah, dulu aku dan Adrienna takut ada keributan jika bersama dengan Tiff dalam satu ruangan. Dulu dia sering membentak, menghardik bahkan mempermalukan orang lain jika ada tidak sesuaian dengan orang tersebut.
Ah, Tiff. Kenapa kita harus bertukar posisi? Menyedihkan sekali. Makan di kantin sendirian itu sangat menyedihkan.
Tuhan, aku tidak jadi ingin bertukar tempat dengan Tiff. Kembalikan aku pada tubuh asliku, Tuhan.
Mi di depanku seakan telah bertambah menjadi dua kali lipat. Padahal itu karena aku tidak berselera untuk menyentuhnya. Selain itu, karena aku sedang menjaga makananku dan tidak memakan sembarang makanan. Tapi entahlah, tiba-tiba saja aku ingin datang ke kantin untuk membeli mi, walau aku tidak memakannya.
Adrienna tampak duduk di sudut sebelah sana bersama kawan yang lain. Mereka yang bersama Adrienna bukanlah teman sekelas, melainkan teman seorganisasi. Aku dulu masuk organisasi Dewan Mahasiswa karena keinginanku sendiri. Aku yang mencalonkan diri ini, tak disangka bisa menduduki posisi sebagai sekretaris Dewan Mahasiswa yang kerjanya banyak di sekitar Kak Arthur.
Beruntung sih, tapi sedih juga. Bisa dekat dengan orang yang kita suka namun tak bisa memilikinya. Oh, ya, satu lagi kenapa aku ingin menjadi Tiff. Yaitu karena ingin menjadi lebih dekat dengan Kak Arthur dan bisa memilikinya. Aku memikirkan setiap hari akan terjadi keromantisan di antara kami.
Ah, buang jauh-jauh pikiran itu.
Hubunganku dengan Kak Arthur dulu masih bisa dikatakan mending. Daripada sekarang, kita berada dalam satu kamar namun tak pernah saling sapa. Tubuh sebesar ini dianggap angin lewat begitu saja oleh pria dingin itu. Selama aku menjadi Tiffany, kami sering mengobrol. Lalu, Kak Arthur ini ... walau dia tipe pendiam, namun dia cukup perhatian di situasi-situasi tertentu. Kebaikannya kadang tak bisa diduga karena dia selalu melakukannya dengan tiba-tiba begitu saja.
Sementara Adrienna, dia dipaksa masuk oleh papanya Kak Arthur agar anak itu mau belajar berorganisasi dan mandiri. Namun yang ada, dia selalu melimpahkan padaku semua tugasnya. Apalagi jika dia baru saja membuat kekacauan, itu adalah tugasku untuk menutupi dan membereskan kekacauan yang dibuatnya.
Sering sekali ketua marah padanya, namun pada akhirnya aku yang membantu Adrienna sehingga dia dimaafkan oleh ketua.
Tanpa sadar aku tersenyum-senyum sendiri jika mengingat masa lalu yang kuhabiskan bersama sahabat terdekatku. Apa sekarang dia sudah melupakanku?
“Hei, gendut! Apa kau sudah selesai makan? Bisa kamu pergi dari sini? Kami juga ingin duduk!” Mereka bukan mahasiswa yang kukenal. Entah dari jurusan apa, tapi sangat tidak sopan jika dia memanggil Tiff dengan sebutan seperti itu.
Daripada meladeni mereka, aku mengalah dan pergi saja dari tempat tersebut. Berdiri dan keluar dari bangku.
“Aduh!” Aku merasa ada yang tersangkut di kakiku sehingga aku terjungkal. Untungnya tubuh gembrot ini tak sampai jatuh.
“Hahahahah!” Mereka menertawaiku terbahak-bahak.
Pantas jika dulu Tiff marah. Sudahlah! Tak perlu dibahas.
“Awas, babi ngamuk! Nanti ngadu dia ke papanya.”
“Terus papanya negur dosen.”
“Terus dosennya ngeluarin kita.”
“Hahahah!”
“Ngeri lah! Cuma ngisengin babi bunting bisa di-DO dari kampus.”
“Hahahah! Sekarang nggak takut lagi! Di DO? Ya, tinggal pindah kampus! Begitu aja kok repot.”
Mereka benar-benar keterlaluan. Jangan menangis Tiffany, jangan nangis! Yang mereka bully adalah Tiff, bukan Tiffany. Jangan menangis.
Aku mencoba keluar dari situasi tersebut dan menghampiri bangku Adrienna. Seperti biasa, anak itu memang selalu pura-pura tak kenal dengan Tiff. Tapi seandainya bisa bilang, aku ingin memberitahu jika aku ini Tiffany. Setidaknya, Adrienna, berpihaklah padaku. Kumohon!
“Na!” panggilku padanya.
Teman-temannya langsung melirik pada Adrienna. Sementara Adrienna sendiri pura-pura tak melihatku.
“Na, apa kau tau di mana Tiffany dirawat? Maukah kau menjenguk Tiffany bersamaku?”
Spontan dia menoleh dan melihat ke arahku. “Aku tidak salah dengar?”