10. Kini Aku Di-Bully

1425 Words
Hampir lepas lututku dengan tempurungnya. Pertanyaan Kak Arthur membuatku tiba-tiba terkejut. Apa maksudnya Kak Arthur menuduh Tiff yang mencelakai aku? * Beberapa menit yang lalu. “Apa maksudnya, Kak? Tiffany? Aku kenapa?” Kenapa tiba-tiba Kak Arthur menanyakan Tiffany kepada Tiff? Selama ini aku dan Tiff tak pernah saling berinteraksi, mustahil Kak Arthur menuduh yang macam-macam pada Tiff. “Ingat, ya!” Wajahnya masih begitu kaku menatap padaku. “Aku akan mendapatkan sebanyak mungkin bukti untuk menunjukkan kesalahanmu.” Aku menggeleng. Jelas-jelas aku tertabrak truk dan kejadian itu tak ada kaitannya dengan Tiff. Tapi kenapa tiba-tiba Kak Arthur bilang aku dicelakai oleh Tiff? Tiff yang merencanakan sesuatu untuk menghancurkanku. Itu sungguh mustahil. Lagu keroncong ini masih berputar sesuai dengan urutan lagunya. Namun karena mood Kak Arthur sudah buruk, bahkan aku sedang tak ingin menghibur Kak Arthur lagi, maka sekarang sebaiknya kumatikan saja lagu ini. Terlihat pria yang menjadi suami dari Tiff ini berbaring di sofa sambil menutup wajahnya menggunakan sebelah tangan. Kenapa sulit sekali menjangkau Kak Arthur, walau kami sudah sedekat ini? “Kak?” Aku mencoba memanggilnya lagi. Aku tahu ini adalah bunuh diri, tapi aku tak ingin Tiff diabaikan karena tuduhan mencelakai tubuh asliku. Dia tak menjawab, tapi aku tahu jika Kak Arthur kini masih terjaga walau matanya terpejam. “Aku tak melakukan apa pun pada Tiffany.” Kucoba jelaskan saja padanya. “Kak Arthur bisa bertanya pada saksi, bagaimana kronologi Tiffany mengalami kecelakaan.” “Dari mana kamu tahu jika dia mengalami kecelakaan? Sementara ketika Tiffany kecelakaan, kau juga sedang membuat drama bunuh diri sampai hampir membuatmu sekarat!” Jadi ... hari bunuh dirinya Tiff bersamaan dengan aku tertabrak truk? Ini sungguh kebetulan yang aneh. Tidak mungkin Tiff sengaja ingin bertukar arwah denganku lalu melakukan kecelakaan bersama. “Hah? Dari mana? Kau bisa jelaskan?” “Dari grup kelas,” jawabku dengan cepat. “Memang benar teman-teman kelas kemarin mengirim fotoku yang sedang terbaring di rumah sakit.” Kak Arthur hanya melirik sinis padaku lalu ia menutup matanya kembali. “Tapi ... kenapa Kak Arthur menuduh Tiff, maksudnya menuduhku mencelakai Tiffany?” tanyaku. “Bukankah sudah jelas sebabnya? Itu karena kau sangat membencinya!” jawab Kak Arthur dengan penuh penekanan. Menurutku, Tiff tidak pernah membenciku dulu. Tapi dia memang selalu sinis pada semua orang. Bukan hanya aku yang dia tunjuki wajah ketusnya, tapi semua teman sekelas. “Aku rasa tidak begitu.” Kucoba menjawab setauku. “Tak perlu diperpanjang. Aku malas bicara denganmu.” Kak Arthur pun mengeluarkan sesuatu dari celananya dan memasang Bluetooth earphone di telinga. Terlihat dia tak mau lagi bicara padaku. Karena Kak Arthur tertidur, aku pun mencoba memejamkan mata dan ikut tidur siang. Karena ini adalah momen pertama di mana Kak Arthur pulang ketika siang hari, biasanya ia tak pernah pulang dan selalu datang larut malam. * Hari ini adalah hari pertamaku untuk kembali masuk kuliah. Aku merasa bahagia karena sangat merindukan kawan-kawanku. Tapi aku yakin, reaksi mereka ketika pertama kali melihat Tiff pasti sangat buruk. Ya, seperti biasanya lah. Tiff tak pernah memasang wajah ramah pada semua temannya. Aku harus memulai dari awal dan mengumpulkan teman lagi agar mereka mau bermain bersamaku. Terutama ... Adrienna. Aku ingin kembali bersamanya seperti dulu. “Nyonya Tiff, hari ini Anda tampak lebih baik.” Nira melihat penampilanku dan memujinya. “Euuum, kau memujiku. Memang biasanya aku seperti apa menurutmu?” tanyaku pada mereka. “Anda terlalu banyak memakai aksesoris dan riasan yang tidak sesuai,” jawab Nira dengan jujur. “Ssssh!” Anggun menginjak kaki kawannya. “Ah, tidak apa-apa. Jujur saja padaku.” Maaf Tiff, bukan maksudku ingin mengataimu. Tapi seandainya kau mendengar ini semua, kuharap kau mengerti kenapa banyak orang menyebutmu aneh. Tapi tenang saja, aku akan mengubah semuanya. Akan kubuat banyak orang menyukaimu! “Nyonya akan berangkat dengan siapa hari ini?” tanya Anggun mengalihkan topik. “Aku? Naik taksi mungkin,” jawabku. “Oh, untung saja,” timpal Nira. “Kenapa memang?” “Itu, Mas Arthur sudah berangkat soalnya.” “Ah, aku tidak tertarik untuk berangkat bersamanya,” ujarku enteng. Mereka berdua pun kali ini saling bertatapan. “Apa selama ini aku selalu ingin berangkat bersamanya?” tanyaku. Seingatku, aku jarang melihat Ketua Arthur datang bersama Tiff ke kampus. Entahlah. “Iya, terkadang Anda ingin bersama Mas Arthur.” “Tunggu!” Nira meralat. “Kenapa?” tanyaku. “Apa Nyonya Tiff lupa ingatan?” tanya Nira lagi. “Iiiish!” Anggun lagi-lagi menyenggol Nira yang lebih bisa terbuka dan ceplas-ceplos. “Hahahah. Tak apa-apa. Biar aku jawab!” Aku menghentikan perkelahian mereka. “Jadi ... bukannya aku tak ingat. Aku hanya meminta pendapat kalian saja, tentang yang kulakukan dulu. Begitu. Karena ... aku pikir aku ingin berubah. Menjadi lebih baik.” Bagaimana? Itu alasan yang bagus, kan? Semoga mereka percaya. “Mas Arthur pasti senang mendengarnya.” “Sebentar, kenapa kalian selalu memanggilku Nyonya? Padahal orang lain yang menghuni rumah ini tak ada yang kalian panggil dengan sebutan Nyonya?” Akhirnya aku mengutarakan pertanyaan tentang hal yang membuatku risih selama ini. “Itu karena Anda yang meminta, Nyonya. Apa Anda lupa?” Nira lagi yang menjawab. Sementara Anggun tangannya sibuk melakukan styling pada rambutku. Aku menggelengkan kepala. “Kalau ini aku tak ingat pernah meminta hal yang seperti itu pada kalian.” “Wah, Anda terlihat cantik dengan rambut lurus, Nyonya.” Kali ini Anggun memujiku. “Terima kasih sudah melakukan ini untukku, Anggun.” Aku mengagumi keahliannya. Padahal tadi rambut Tiff ini sangat parah tadinya. Namun satu minggu terakhir saat aku dalam tubuhnya, aku juga terus melakukan perawatan pada rambutnya. Kini temanku yang kata orang buruk rupa ini pun, menjadi cukup cantik. Ok, Tiff! Jika kau melihat dirimu. Sekarang kau sangat cantik! Selain meminum jus pelangsing dan makan menu-menu diet. Aku juga melakukan perawatan pada wajahnya. Perlahan jerawat yang begitu sakit ini mengering. Walaupun belum bersih sepenuhnya, tapi setidaknya jerawat yang membatu dan sangat besar itu telah mengering. Sampai saat ini, aku belum berani mengaplikasikan make up di wajah Tiff. Menurut dokter kulit yang aku temui, mereka mengatakan jika wajah Tiff ini terkena iritasi make up. Ya, aku bukan menyalahkan kulitnya yang sensitif. Melainkan make up yang Tiff gunakan memang sudah kadaluwarsa. Pantas saja jika membuat wajahnya meradang. Dia itu pelit atau malas membeli. Suasana kampus yang aku rindukan. Gerbang masuk yang memiliki pilar putih dan gapuranya berwarna hitam, beberapa gedung tinggi yang berjajar, pohon-pohon yang aku tak tau namanya tapi memiliki bunga warna ungu, kolam di depan aula dengan air mancur yang begitu tinggi. Ah, aku merindukan mereka. “Sekarang ini, mata kuliah biokimia. Wuu, ini adalah mata kuliah kesukaanku.” Taksi menurunkan aku di depan gedung kuliahku. Aku pun turun setelah membayarnya. Ah ini menyenangkan. Aku sangat rindu dengan kampusku! Sepatu kets, celana jeans, tunik berwarna peach, ditambah sling bag yang berisi alat pribadiku, lalu tas jinjing yang berisi buku kuliah. Wah, ini sungguh stylist. Walau gendut, tapi aku percaya diri melihat penampilanku di kaca-kaca gedung yang aku lewati. Baik, sekarang waktunya aku masuk ke kelas. “Selamat pagi, kawan-kawan!” Mereka semua memandang ke arahku. Pasti mereka terkejut atau mungkin kagum melihat perubahan penampilan Tiff. “Ssst! Kalian lihat itu?” Aku mendengar sayup seorang laki-laki berbisik pada kawannya. Mereka semua kini menatapku. Saat aku menjadi Tiffany dulu, mereka adalah anak-anak yang suka membantuku untuk membawa buku-buku ke meja dosen. Tapi aku tidak tahu bagaimana perlakuan Tiff pada mereka. “Hai.” Aku mencoba menyapa mereka. Mereka terdiam sejenak saat menatapku. “Bhahaha! Babinya menyapa kita!” “Katanya, babinya sudah menyembelih diri sendiri. Kenapa sekarang hidup lagi?” Apa-apaan ini? “Coba lihat dia dandan.” Mereka menertawakan Tiff. Kenapa begini? Bukannya dulu mereka selalu takut saat melihat Tiff? “Hai, kau bisa bertahan hidup ternyata?” Dia adalah teman yang sering meminta ditraktir pada Tiff di kafe baru. “Kupikir kau akan mati! Lalu ... apa-apaan rambut ini?” “Aaaw!” jeritku kesakitan. Kenapa mereka mem-bully Tiff? “Kita semua sudah senang kamu bunuh diri.” Mereka menertawakan penampilanku yang berubah hari ini. “Wuuuu!” “Wuuu!” Gumpalan kertas itu dilempar ke arahku oleh mereka. “Hei, hei, stop!” Aku menoleh dan mendengar ada orang yang datang dari belakang membelaku. “A ... Adrienna?” Aku ingin memeluknya, aku rindu kamu. Namun dia juga tampak tak menyukai Tiff. “Berhenti melakukan hal seperti ini! Ini namanya bullying! Ayo, Tiff! Masuk dan duduklah di kursimu.” Adrienna ...! Aku terharu melihat dia yang membelaku. “Kenapa kaubela dia? Justru aku ingin balas dendam ketika dia masuk! Lihat saja, Tiff! Pembalasanku belum berhenti di sini."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD