Bab 2. Bertemu Kembali

1155 Words
"Lo yang tadi ngerusak mobil gue, 'kan?" tanya Aska seraya menunjuk wajah asisten rumah tangga yang masih belum diketahui namanya itu. Wanita itu diam seribu bahasa masih dengan kepala menunduk. "Aduh, kumaha ieuh(gimana ini)? Ko lalaki yang tadi mobilnya aku rusakin ada di sini?" batin wanita itu seketika mengigit bibir bawahnya keras. "Kenapa lo diam aja, hah? Lagi ngapain lo di rumah gue?" bentak Aska penuh emosi dengan kedua mata yang membulat kesal. "Maaf, Tu-an Mu-da. Aku--" wanita itu terpaksa menahan ucapannya karena pergelangan tangannya tiba-tiba saja ditarik kasar oleh sang Tuan. "Argh! Sakit, Tuan. Anda mau bawa aku ke mana?" tanyanya seraya meringis kesakitan karena kuatnya cengkraman tangan Aska. "Diem, jangan banyak omong lo!" lagi-lagi Aska membentak kasar. Pemuda itu membawa tubuh sang asisten rumah tangga memasuki kediamannya seraya berteriak memanggil sang ibu. Aska benar-benar tidak terima jika orang yang sudah merusak mobilnya lalu pergi begitu saja tanpa permintaan maaf kini bekerja di kediamannya. Terlebih, ia harus mengeluarkan uang yang lumayan besar untuk memperbaiki kendaraan beroda empat kesayangannya itu. "Aku mau diapain, Tuan? Aku mohon maaf atas kesalahan yang udah aku lakuin tadi siang," ujar sang asisten lemah dan bergetar. "Heuh! Enak aja minta maaf, seharusnya lo ganti rugi, bukan minta maaf!" Sahut Aska. "Tapi Anda juga salah lho, Tuan. Aku hampir ditabrak sama mobilnya Tuan. Untung aku langsung ngejatuhin diri ke trotoar," jawab sang asisten dengan logat Sunda kental yang menjadi ciri khasnya. "Udah diem, gue gak ngerti sama apa yang lo omongin," sahut Aska semakin merasa kesal. Pemuda itu menghempaskan tubuh sang asisten tepat di tengah-tengah ruangan luas di mana seluruh keluarganya biasa berkumpul. Aska menatap wajah wanita tersebut tajam seraya memanggil sang ibu dengan nada suara lantang. "Mami!" teriaknya dengan rahang yang mengeras kesal. "Ada apa, Aska? Datang-datang bukannya ngucapin salam malah teriak-teriak gak jelas!" sahut Anita Ibunda Askara kemudian mengalihkan pandangan matanya kepada asisten rumah tangga yang baru bekerja di kediamannya siang ini. "Bunga, lagi ngapain kamu di sini? Tugasnya pembantu itu di belakang, bukan di sini!" "Hapunten (Maaf) Nyonya Besar, aku di bawa ke sini sama Tuan Muda," jawab Bunga menundukkan kepalanya dalam-dalam. "Bunga? Nama lo Bunga?" decak Aska tersenyum menyeringai. "Pasti nama panjang lo itu, Bunga Bangkai!" "Aska! Apa-apaan kamu! Makin tua bukannya makin dewasa, malah makin kayak anak kecil kamu ya," decak Anita menatap tajam wajah sang putra. "Mam, buat apa Mami memperkerjakan si Bunga Bangkai ini di sini? Apa Mami tau apa yang udah dia lakuin sama saya tadi siang?" tanya Aska menatap sinis wajah gadis bernama Bunga. "Maaf, Tuan. Nama aku Bunga Senja, bukan Bunga Bangkai," protes Bunga merasa tidak terima jika namanya di ubah sesuka hati oleh sang majikan. "Gue gak peduli, mau Bunga Senja, kek. Bunga Bangkai, kek. Yang jelas, gue gak suka lo di rumah ini. Gue mau lo pergi dari sini sekarang juga, atau--" "Cukup, Aska!" Sela Anita bahkan belum sempat sang putra menyelesaikan apa yang dia ucapkan. "Bunga bekerja sama Mami bukan sama kamu! Jadi, cuma Mami yang berhak memecat dia, bukan kamu. Paham?" "Tapi, Mam. Dia itu udah rusakin mobil saya." "Tapi Tuan Muda yang hampir nabrak aku tadi, untung aku masih selamat." Bunga mencoba untuk membela diri dan karena seperti itu juga kenyataannya. "Kamu hampir nabrak Bunga?" Anita seketika membulatkan bola matanya. "Hampir, Mam. Cuma hampir, gak sampe ketabrak juga ko dia," sahut Aska, lagi dan lagi tatapan matanya nampak sinis menatap wajah Bunga. "Tapi Tuan nggak minta maaf, yang ada malah marah-marah sama aku, padahal lutut aku sampe berdarah lho," decak Bunga seraya memperlihatkan lututnya yang terluka bahkan masih basah akibat darah segar yang belum sempat ia bersihkan. "Astaga, Bunga. Itu lukanya belum sempat kamu obati?" Anita seketika mengernyitkan kening. "Maaf, Nyonya. Aku belum sempat bersihin luka ini karena aku 'kan langsung kerja," jawab Bunga kembali menurunkan daster rumahan yang sempat ia naikan. "Alah, dia pasti cuma pura-pura, Mam. Pokoknya, saya gak mau liat muka dia di rumah ini!" Aska kembali menegaskan penuh penekanan. Bunga diam seribu bahasa dengan kepala menunduk. Dia baru bekerja setengah hari di kediaman keluarga Hartawan Kertarajasa, mana mungkin dirinya kehilangan pekerjaan hanya dalam sekejap mata hanya karena kesalahan yang sebenarnya tidak sepenuhnya terletak pada dirinya. "Aku minta maaf karena udah ngerusakin mobilnya Tuan, tapi aku mohon jangan pecat aku, Tuan. Aku nggak tau harus ke mana lagi kalau aku gak kerja di sini," pinta Bunga lemah dan bergetar. "Lebih baik sekarang kamu obati dulu luka kamu, Bunga. Pekerjaan kamu lanjutin nanti aja," pinta Anita menatap sayu wajah sang asisten rumah tangga. "Nyonya nggak jadi mecat aku?" Bunga tersenyum lebar. "Siapa bilang saya bakalan pecat kamu, Bunga? Tidak ada yang boleh memecat kamu selain saya, paham?" Aska seketika mendengus kesal dengan kedua mata yang terpejam. Sedangkan Bunga, kedua sisi bibirnya pun semakin lebar mengembang merasa senang karena dia tidak akan kehilangan pekerjaan yang baru setengah hari ia jalani. "Terima kasih, Nyonya. Sekali lagi aku ucapkan hatur nuhun(terima kasih). Aku janji akan berkerja dengan baik di rumah ini. Eu ... aku permisi mau obati lukaku dulu, Nyonya," pamit Bunga dan hanya dijawab dengan anggukan oleh sang majikan. Bunga membungkukkan tubuhnya guna memberi hormat sebelum akhirnya berbalik dan kembali ke tempat di mana seharunya dia berada. Sedangkan Aska, lagi-lagi hanya bisa mendengus kesal menatap kepergian Bunga penuh rasa dendam. Jika ibunya sudah memberi ultimatum, maka dirinya tidak berani untuk membantah. Pemuda itu pun berbalik lalu hendak berjalan ke arah yang sama seperti Bunga. "Mau ke mana kamu, Aska?" tanya Anita. "Ke dapur, saya haus," jawab Aska santai tanpa menoleh. "Anak itu kapan dewasanya sih? Astaga!" decak Anita lalu berjalan ke arah tangga kemudian naik ke lantai dua. *** Aska mencari keberadaan Bunga di paviliun belakang di mana biasa para asisten rumah tangga berada. Ada tiga asisten yang bekerja di rumah mewah dua lantai yang memiliki halaman depan dan belakang luas tersebut. Aska berdiri di teras paviliun seraya menggegam secarik kertas. "Anda cari siapa, Tuan?" tanya salah satu asisten berdiri tidak jauh dari sang Tuan. "Si Bunga Bangkai di mana?" tanya Aska dingin. "Maksud Tuan, Bunga pembantu baru itu?" Aska hanya mengangguk dingin. "Oh, dia ada di sana, Tuan," jawab asisten rumah tangga tersebut seraya menunjuk ruangan kecil yang biasa digunakan untuk beristirahat. Tanpa basa basi lagi, Aska segera berjalan menuju tempat tersebut. Wajahnya nampak datar, dingin dan juga angkuh. Pria itu segera membuka pintu ruangan begitu saja tanpa mengetuknya terlebih dahulu. Bunga yang baru saja selesai mengobati lututnya sendiri sontak menoleh dan menatap ke arah pintu. "Tu-tuan," sapanya lemah dan bergetar, sontak berdiri tegak. Aska tiba-tiba saja melemparkan secarik kertas yang ia bawa tepat di depan wajah Bunga dan seketika itu juga meluncur bebas dan mendarat di atas lantai. Bunga seraya menahan rasa sakit segera berjongkok lalu meraih kertas tersebut dan membukanya kemudian. "Ini apa, Tuan?" tanyanya, dahi wanita berusia 20 tahun itu seketika mengerut heran. "Itu adalah kwitansi pembayaran dari bengkel dan lo harus ganti uang itu karena lo yang udah ngegores mobil kesayangan gue. Jumlahnya 35 juta!" "Apa? 35 juta?" Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD