"Kamu ke sini mau cari siapa?" Anita kembali bertanya dengan kening yang dikerutkan.
Bukannya menjawab pertanyaan Anita, yang dilakukan oleh Eva adalah pura-pura terisak lalu berjalan mendekat. Wanita itu tiba-tiba memeluk tubuh Anita tanpa sungkan membuat ibunda dari Askara itu seketika merasa heran.
"Aku ke sini mau ketemu Aska, Tante, tapi aku dicuekin sama dia," rengek Eva, istilah so kenal dan so dekat pantas di sematkan kepadanya.
Anita sontak mengurai pelukan. "Kamu belum jawab pertanyaan saya, sebenarnya kamu ini siapa?"
"Eu ... sebenarnya aku pacarnya Aska, Tante, tapi beberapa hari yang lalu dia mutusin aku."
"Kalau kalian udah putus, itu artinya Aska bukan pacar kamu lagi dong." Anita tersenyum simpul.
"Tapi aku hamil anaknya Aska, Tante."
Kedua mata Anita seketika membulat sempurna. "Apa? Ka-kamu pasti bohong, 'kan? Gak mungkin kamu hamil anaknya Aska."
"Anak sama Ibu sama aja, sama-sama b******k," batin Eva merasa kesal.
"Mana mungkin aku bohong, Tante. Aku beneran hamil anaknya Aska, bayi di dalam kandungan aku ini cucunya Tante. Tega banget Tante ngomong kayak gitu sama aku." Eva merengek manja, kedua matanya pun mulai menitikkan air mata.
Anita seketika menarik napas panjang lalu menghembuskannya secara perlahan. Wanita itu pun memijit pelipis wajahnya yang tiba-tiba saja terasa pusing. Aska dan suaminya baru saja bertengkar hebat pagi ini, apa yang akan terjadi dengan Aska jika Hartawan suaminya mengetahui kabar mengejutkan ini?
"Kamu tunggu sebentar di sini, Tante panggil putra Tante sekarang juga," ujar Anita berjalan ke arah pintu lalu hendak membukanya. Namun, pintu tersebut terkunci dari dalam. "Astaga! Kenapa pintunya di kunci segala sih?" Anita seketika mendengus kesal.
Wanita itu pun mengetuk pintu secara kasar bahkan terdengar tidak sabar. Beberapa saat kemudian, pintu pun dibuka dari dalam.
"Gue 'kan udah bilang pergi ya, per--" bentak Aska seketika menahan ucapannya. "Mami?" gumam Aska dengan kedua mata yang membulat sempurna.
"Jawab pertanyaan Mami, apa bener wanita ini hamil anak kamu?" tanya Anita menatap tajam wajah sang putra.
"Eu ... ya gak tau 'lah, Mam. Saya 'kan udah putus sama dia," jawab Aska seraya menggaruk kepalanya sendiri yang tiba-tiba saja terasa gatal.
"Aku hamil anak kamu, Ka. Tega banget kamu ngomong kayak gitu," rengek Eva seraya terisak, entah dia benar-benar menangis atau hanya berpura-pura saja untuk menarik simpati Anita.
"Diem lo, Eva," bentak Aska sinis. "Apa lo lupa kalau lo udah gak perawan waktu kita pertama kali melakukan hal itu, hah? Siapa tau lo juga pernah tidur sama cowok lain!"
Anita seketika melayangkan telapak tangannya ke udara lalu mendarat di wajah Askara keras dan bertenaga. Aska sontak memejamkan kedua matanya, rasa sakit akibat tamparan sang ayah saja masih belum pulih sepenuhnya, sekarang dirinya harus mendapatkan tamparan kedua dari sang ibu di tempat yang sama pula.
"Mami," gumam Aska menatap nanar wajah sang ibu.
"Siapa yang ngajarin kamu kurang ajar kayak gini, Aska? Kotor sekali mulut kamu!" bentak Anita benar-benar merasa kecewa. "Kalau kamu berani berbuat, seharusnya kamu juga berani bertanggung jawab, bukan malah cari-cari alasan klise buat lari dari tanggung jawab. Dasar ya, anak sama ayah sama aja!"
"Jangan samakan saya sama Daddy, Mam? Saya sama dia itu beda!" tegas Aska penuh penekanan.
"Beda gimana? Kalian berdua sama aja, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Sama-sama hobi mempermainkan wanita!"
Aska terdiam mendengar kalimat terakhir yang baru saja diucapkan oleh Anita. Bagi kebayangkan anak di luaran sana, seorang ayah adalah panutan bagi putranya. Banyak dari mereka yang mengidolakan sosok seorang ayah bahkan tidak sedikit yang ingin menjadi seperti ayah mereka. Ayah adalah panutan, ayah adalah guru pertama bagi seorang anak, tapi tidak untuk seorang Askara Wijaya.
Dia begitu membenci sipat Hartawan yang sudah terkenal mata keranjang bahkan sudah beberapa kali selingkuh dari sang ibu. Dirinya tidak ingin disamakan dengan sang ayah, tapi tanpa sadar jiwa seorang Aska sudah menyerupai seperti ayahnya. Istilah buah jatuh tidak jauh dari pohonnya, nyata adanya.
"Mami kecewa sama kamu, Aska," tegas Anita penuh penekanan. "Kalau bener wanita ini hamil anak kamu, maka kamu harus tanggung jawab dan nikahi dia. Paham?"
"Tapi gimana caranya kita bisa tau kalau dia beneran hamil, Mam? Meskipun iya si Eva ini hamil, saya gak yakin kalau anak yang ada di dalam kandungannya dia itu anak saya," Aska masih melakukan pembelaan.
Anita mengalihkan pandangan matanya kepada Eva. "Kita ke Dokter kandungan, kami harus memastikan kalau kamu beneran hamil, Eva."
"Tante gak percaya kalau aku beneran hamil?" Eva terlihat gugup.
"Bukan masalah percaya atau gak percayanya, Eva, tapi segala sesuatu itu harus dibuktikan. Kenapa? Kamu takut diperiksa ke Dokter kandungan?" tanya Aska tersenyum menyeringai.
"Si-siapa bilang aku takut?" jawab Eva terbata-bata. "Oke, kalau Tante sama kamu ingin kita ke Dokter kandungan, besok kita ke Rumah Sakit," ucapan terakhir Eva sebelum akhirnya berbalik dan meninggalkan kediaman Askara Wijaya.
Sepeninggal Eva, Aska seketika berbalik dan hendak melangkah. Ia mengusap rahangnya sendiri yang terasa panas dan nyeri akibat tamparan sang ibu. Hari ini benar-benar hari yang luar bagi seorang Askara, ia mendapatkan dua tamparan dari ibu dan ayahnya sendiri.
"Tunggu Mami, Aska. Mami belum selesai ngomong sama kamu," pinta Anita mengejar sang putra.
"Gak ada yang harus omongin lagi, Mam. Saya lelah, saya mau istirahat," jawab Aska dingin hendak menaiki satu-persatu anak tangga.
"Gimana kalau Daddy kamu sampai tau kamu ngehamili seorang wanita?" tanya Anita membuat Aska sontak menghentikan langkah kakinya.
"Gak apa-apa, Mami bilang aja sama Daddy kalau saya menghamili Eva biar saya diusir sekalian," jawab Aska lalu melanjutkan langkah kakinya.
"Dasar anak nggak tau diri," decak Anita kesal. "Mami belum selesai bicara, Aska. Mau ke mana kamu? Dasar gak sopan!"
Aska mengabaikan teriakan sang ibu. Kedua kakinya terus saja melangkah menaiki satu-persatu anak tangga hingga dia benar-benar tiba di lantai dua.
Sedangkan Anita, dia menatap punggung sang putra dengan kedua mata yang berkaca-kaca. Anita sama sekali tidak menyangka bahwa dirinya telah melahirkan duplikat dari suaminya sendiri yang merupakan seorang penjelajah wanita. Selama ini dia bertahan dengan suami seperti Hartawan semata-mata demi Aska sang putra. Dia ingin kehidupan seorang Aska terjamin. Namun, jauh di dalam lubuk hati seorang Anita, ia sadar betul bahwa harta tidak menjamin seseorang hidup bahagia, melainkan cinta dan perhatian dari seorang suami'lah hal yang paling berharga di dunia ini.
"Ya Tuhan, semoga saja Aska tidak menjadi seperti Ayahnya. Aku rela menikahkan dia dengan wanita manapun asalkan Aska menjadi suami yang setia, tidak seperti Mas Hartawan yang hobi bermain wanita, tidak masalah jika wanita itu bukan berasal dari keluarga kaya raya seperti kami," batin Anita penuh harap.
Bersambung