Anita berjalan ke arah dapur dengan wajah yang ditekuk kelas. Jelas sekali terlihat dari sorot matanya bahwa wanita itu sedang dalam keadaan tertekan. Bunga yang tengah melakukan tugasnya segera membungkuk memberi hormat seraya menyapanya sopan.
"Selamat siang, Nyonya. Apa Nyonya mau aku buatkan teh hangat?" Bunga menawarkan.
"Buatkan saya s**u hangat aja, Bunga. Tubuh saya lemes banget," pinta Anita, menarik kursi makan lalu duduk seraya memijit pelipis wajahnya yang terasa pusing.
"Baik, Nyonya," jawab Bunga segara melakukan apa yang diperintahkan.
"Ternyata harta tidak menjamin kebahagiaan seseorang ya," ucap Anita secara tiba-tiba membuat Bunga seketika merasa tertegun. "Dulu sebelum saya menikah sama Ayahnya Aska, saya berpikir bahwa kehidupan saya akan sempurna karena saya punya suami kaya raya, tampan dan hidup saya akan terjamin, tapi ternyata saya salah, Bunga. Saya gak bahagia sama sekali."
Anita benar-benar memuntahkan apa yang selama ini ia pendam. Dibalik penampilan yang glamor, dibalik wajahnya yang selalu terlihat ceria, tersimpan luka yang begitu dalam, luka yang tidak pernah dia beritahukan kepada siapapun.
Bunga dengan perasaan canggung meletakan gelas berisi s**u hangat di atas meja tepat dihadapan Anita. "Saya turut prihatin atas masalah yang menimpa Nyonya Besar, tapi percayalah Nyonya, Tuhan tidak akan memberikan cobaan melebihi batas kemampuan hambanya. Setiap manusia diberi cobaan yang berbeda-beda sesuai dengan kapasitasnya masing-masing, Nyonya," jawab Bunga menatap sayu wajah sang majikan. "Ada manusia yang diuji oleh harta, ada juga pasangan memiliki banyak harta tapi dia diuji dengan hal lainnya, seperti diuji oleh wanita ketiga, bahkan diuji sama anak-anak mereka, tapi Nyonya, aku yakin Nyonya pasti bisa melewati semua ini. Yang namanya masalah itu hanya perlu dilewati, diselesaikan apabila sudah menemukan jalan keluarnya, jika tidak! Ya ... serahkan semuanya sama yang di atas, alias pasrah sama ketentuan Tuhan Yang Maha Esa."
Anita seketika tertegun setelah mendengar penuturan asisten rumah tangganya. Penjelasan panjang lebar yang baru saja dijabarkan oleh gadis ini benar-benar padat dan berisi. Anita tersenyum ringan seraya menatap wajah Bunga penuh rasa kagum.
"Usia kamu berapa, Bunga? Dari cara kamu bicara, kamu seperti orang sudah merasakan manis, asam, garam kehidupan," tanya Anita.
"Umurku baru 20 tahun, Nyonya. Kalau dibilang udah pernah merasakan manis, asam, garam kehidupan, ya ... kebanyakan sih pahitnya kehidupan yang aku rasakan selama ini," jawab Bunga seraya tersenyum cengengesan. "Kedua orang tuaku udah meninggal, Nyonya, dan aku punya satu adik yang masih sekolah."
"Kamu yatim piatu?"
Bunga menganggukkan kepalanya dengan wajah datar.
"Astaga, Bunga. Saya doakan semoga kamu mendapatkan suami yang baik, kaya dan bisa membahagiakan kamu dan adik kamu, satu lagi, suami yang setia," ucap Anita tulus dari lubuk hatinya yang paling dalam.
"Terima kasih, Nyonya. Aku aminkan doa Nyonya itu."
"Andai saja saya punya anak perempuan seperti kamu, Bunga. Mungkin saya punya seseorang yang akan saya jadikan tempat curhat," lirih Anita menatap sayu wajah sang asisten rumah tangga. "O iya, saya sampe lupa. Tolong siapkan air hangat sama kain bersih dan bawa ke kamarnya Aska."
"Hah? Buat apa, Nyonya?" Bunga seketika mengerutkan kening, Aska adalah orang yang paling ingin dia hindari di rumah ini.
"Saya menampar Aska tadi, padahal dia baru aja di tampar sama Ayahnya. Eu ... kamu bantu dia obati luka di mukanya dia ya. Kamu kompres bekas tamparan saya tadi, pasti rasanya sakit banget" Anita seketika menghela napas panjang.
"Ba-baik, Nyonya," jawab Bunga dengan perasaan malas.
"Yaaah! Balik lagi ke kamar itu dong? Aduuuh! Kenapa Nyonya gak obati lukanya Tuan Aska sendiri sih? 'kan dia yang nampar anaknya?" batin Bunga menggerutu kesal.
"Saya istirahat dulu, tolong kamu rawat Aska ya," pinta Anita seraya berdiri tegak dan hanya dijawab dengan anggukan oleh Bunga.
***
20 menit kemudian, Bunga nampak sudah berdiri di depan pintu kamar Askara Wijaya dengan membawa wadah kecil berisi air hangat lengkap dengan kain bersih persis seperti yang diperintahkan oleh Anita. Gadis itu pun menarik napas panjang lalu menghembuskannya secara perlahan sebelum akhirnya mengetuk pintu kamar.
"Tuan, ini aku. Nyonya memintaku buat mengobati luka Tuan," sahut Bunga dengan nada suara lantang, tapi dia sama sekali tidak mendapatkan jawaban. "Tuan Aska! Boleh aku masuk?"
Pintu pun akhirnya dibuka dari dalam dalam. Aska dengan wajar kusutnya nampak berdiri tepat dibelakang pintu menatap wajah Bunga datar.
"Eu ... Nyonya memintaku buat bawain air hangat ini, Tuan. Kata Nyonya, mukanya Tuan harus dikompres," ucap Bunga merasa gugup.
"Masuk," pinta Aska singkat masih dengan raut wajah yang sama.
Pria itu pun berjalan ke arah sofa yang berada di sudut kamar lalu duduk dengan menyandarkan punggung berikut kepalanya juga dengan kedua mata yang terpejam. Bunga mengikuti Aska dari arah belakang lalu duduk di lantai tepat di depan sofa berwarna hitam di mana Aska berada.
Aska seketika membuka kedua matanya. "Lagi ngapain kamu di situ?" tanyanya dingin.
"Eu ... itu, Tuan, anu--"
"Duduk dekat saya dan bantu saya kompres muka saya ini, Bunga."
Bunga bergeming menatap wajah Aska dengan perasaan bingung.
"Kenapa kamu diem aja, Bunga? Kamu diperintahkan buat mengobati luka saya, 'kan?" tanya Aska lagi-lagi bersikap dingin tidak seperti biasanya.
Dengan perasaan ragu, Bunga perlahan mulai bangkit lalu duduk tepat di samping Aska dengan memangku wadah kecil berisi air hangat.
"Itu wadahnya simpan di meja, Bunga. Kalau tumpah, gimana?"
"Oh iya, maaf saya lupa, Tuan. Maaf," jawab Bunga terbata-bata lalu meletakan apa yang dia bawa di atas meja.
"Tuan Aska kasian banget, gak biasanya dia murung kayak gini," batin Bunga seraya membasahi kain yang ia bawa untuk mengompres wajah Askara.
Bunga hendak mengompres rahang Aska yang masih terlihat memerah bahkan sedikit membengkak. Namun, gadis itu terpaksa menahan gerakan tangannya saat sang majikan tiba-tiba saja memeluknya erat dengan kepala yang terkulai lemas di atas bahunya.
"Lepaskan aku, Tuan. Apa yang--"
"Sebentar aja, Bunga. Biarkan saya memeluk kamu sebentar aja," sela Aska lemah dan bergetar. "Saya tak punya tempat untuk bersandar, biarkan saya meminjam tubuh kamu untuk sekedar menenangkan hati saya, Bunga. Saya benar-benar tertekan. Mengapa saya harus terlahir sebagai anak dari Daddy saya, Bunga? Lebih baik saya terlahir dari keluarga miskin dari pada saya harus punya ayah kayak dia. Saya gak mau disamakan kayak Daddy! Saya nggak mau!"
Bunga seketika bergeming, nada suara lemah juga terdengar putus asa membuatnya merasa terenyuh. Dia yang awalnya hendak mengurai pelukan kini melakukan hal yang sebaliknya. Gadis itu perlahan mengusap punggung Askara Wijaya pelan mencoba untuk menenangkan.
"Kalau Tuan mau menangis, nangis aja. Aku bakalan pura-pura gak ngedenger suara Tuan."
Bersambung