Aska menatap tubuh Bunga dari ujung kaki hingga ujung rambut. Gadis itu masih mengenakan jenis pakaian yang sama, daster yang sudah sedikit usang dengan rambut yang digerai hampir memenuhi punggung. Namun, dibalik pakaian lusuh yang dikenakan oleh gadis itu tersimpan sesuatu yang sangat indah, Aska yakin betul hal itu karena meskipun penampilannya sangat tidak enak dipandang, tapi kulit tubuhnya terlihat seputih salju.
"Gak usah tegang gitu, Bunga. Rasanya bakalan sakit di awal, tapi gue akan meminimalisir rasa sakit itu sebisa mungkin," ujar Aska berdiri tepat di depan pintu yang sudah ia tutup dan kunci.
Bukannya menanggapi ucapan sang Tuan, Bunga tiba-tiba saja duduk di atas lantai masih dengan tubuh yang membelakangi sang majikan. Hal tersebut tentu saja membuat Aska merasa heran, dia berjalan menghampiri lalu berdiri tepat di depan Bunga dengan wajah yang terlihat kesal.
"Lo lagi ngapain?" tanya Aska menunduk menatap wajah Bunga.
"Aku mohon jangan kayak gini, Tuan. Aku tau aku salah, tapi jangan meminta aku buat melayani Anda dengan menyerahkan mahkota satu-satunya yang aku miliki sebagai seorang perempuan," jawab Bunga dengan kepala menunduk. "Aku akan berusaha buat ngumpulin uang dan akan aku ganti semua uang Anda."
Aska memejamkan kedua matanya sejenak seraya tersenyum menyeringai. "Kalau lo mau mohon-mohon kayak gini, buat apa lo datang ke kamar gue, hah?" Bentaknya kesal. "Lo mau ngumpulin uang dari gaji lo sebagai pembokat di sini, gitu? Gak bakalan bisa, Bunga. Gak bakalan bisa!"
"Aku yakin pasti bisa, Tuan. Aku hanya perlu ngumpulin gajiku selama 17 bulan, setelah itu aku bakalan bayar lunas hutangku sama Tuan," lemah Bunga akhirnya mengangkat kepala memberanikan diri menatap wajah Askara.
"Tapi gue maunya lo bayar sekarang, gimana dong?"
Bunga kembali menundukkan kepala seraya menggigit bibir bawahnya keras. "Mungkin Tuan udah biasa melakukan hubungan intim dengan pacar, Tuan, tapi nggak dengan aku. Di sentuh sama laki-laki aja aku gak pernah. Haram bagiku untuk melakukan hubungan terlarang selain sama suamiku. Aku mohon, Tuan. Aku mohon!" lirih Bunga seraya menelungkupkan kedua telapak tangannya di d**a memohon dengan sangat dengan kedua mata yang berkaca-kaca.
Aska seketika berjongkok tepat di depan Bunga. "Gue gak mau tau, pokoknya lo harus melayani gue malam ini," ujarnya tegas dan penuh penekanan. "Kalau lo gak mau, gue minta lo minggat dari rumah ini sekarang juga."
Bunga diam seribu bahasa seraya memalingkan wajahnya ke arah samping. Tatapan mata Askara terlihat tajam, bahkan sangat tajam bak burung elang yang siap untuk menerkam. Namun, Bunga akan melakukan apapun agar kesuciannya tetap terjaga. Dia tidak akan pernah melakukan hubungan terlarang selain dengan suaminya kelak. Bunga seketika mengusap wajahnya kasar lalu menatap wajah Askara tajam.
"Apa Anda tak takut dosa?" ujarnya dengan logat Sunda yang menjadi ciri khasnya.
"Dosa? Hahahaha!" Aska seketika tertawa nyaring. "Tau apa lo tentang dosa, hah?"
"Sudah berapa banyak gadis yang Anda rebut kesuciannya? Sudah berapa wanita yang Anda campakkan setelah Anda nikmati tubuhnya dan Anda buang ketika Anda bosan? Apa Anda tak tau kalau karma itu ada?" tegas Bunga, nada suaranya tidak selemah sebelumnya.
Aska diam seribu bahasa seraya menatap tajam wajah Bunga Senja Oktaviani. Karma? Aska seketika mengingat apa yang pernah diucapkan oleh Eva mantan kekasihnya. Selama ini, entah sudah berapa banyak wanita yang ia sakiti hatinya, yang dia renggut kesuciannya lalu ia campakkan begitu saja. Apa karma itu benar-benar ada? Aska tersenyum menyeringai, sejauh dia melangkah dan selama ia bernapas sampai detik ini, dia tidak pernah tersentuh oleh yang namanya karma.
"Jangan bicara karma sama gue! Gue gak percaya tuh sama yang namanya karma," ujarnya kembali berdiri tegak.
"Anda tak percaya karena Anda belum merasakannya, Tuan, tapi aku yakin cepat atau lambat Anda akan mendapatkan karma yang setimpal, hukum tabur tuai itu nyata, Tuan. Apa yang Anda tanam itulah yang akan Anda tuai," tegas Bunga menatap tajam wajah sang Tuan.
"Alah, jangan banyak omong lo. Sekarang berdiri, cepat!" pinta Aska mulai menaikan nada suaranya juga merasa tidak sabar ingin segera mencicipi tubuh sang asisten rumah tangga.
Bunga perlahan mulai berdiri tegak dengan tubuh yang gemetar. Wajahnya pun kian pucat pasi, sepertinya usahanya untuk melobi majikannya ini gagal total. Lalu, apa yang akan dia lakukan sekarang? Apa dirinya benar-benar akan menyerahkan kesuciannya demi membayar hutang? Bunga seketika dilanda rasa dilema.
"Buka baju lo sekarang," pinta Aska penuh penekanan.
Bunga menggelengkan kepalanya seraya menggigit bibir bawahnya keras.
"Gue bilang buka, ya buka!" Aska mulai menaikan nada suaranya.
"Apa Anda tidak berpikir untuk menikah? Bagaimana perasaan istri Anda nantinya kalau dia sampai tahu bahwa Anda sudah sering tidur dengan wanita lain? Bagaimana kalau ternyata aku hamil nantinya? Apa Anda gak malu punya anak dari seorang pembantu?" ujar Bunga masih tidak menyerah dalam menyadarkan sang Tuan bahwa apa yang dia lakukan adalah sebuah kesalahan.
Apa yang baru saja diucapkan oleh Bunga tentu saja menyulut api emosi di dalam jiwa seorang Askara. Pria itu seketika mengepalkan kedua tangannya dengan pelupuk mata yang terpejam. Hasratnya sudah tidak terbendung lagi, rasa hausnya akan kenikmatan surga dunia pun benar-benar tidak dapat lagi ia tahan. Aska seketika menarik tubuh Bunga kasar lalu menghempaskannya ke atas ranjang super besar miliknya.
"Haaa!" Bunga sontak berteriak dengan kedua mata yang membulat sempurna saat tubuhnya mendarat di atas ranjang.
"Jangan banyak omong, layani gue sekarang juga!" bentak Aska dengan rahang yang mengeras kesal.
Bunga diam seribu bahasa seraya menatap wajah Askara yang terlihat lebih buas dari yang namanya hewan buas. Tatapan mata gadis itu nampak sayu lengkap dengan buliran bening yang memenuhi kelopaknya. Perlahan, Askara mulai naik ke atas ranjang dan siap untuk menerkam.
"Aku lagi datang bulan, Tuan." Bunga mengeluarkan jurus terakhir yang dia miliki.
"Apa?" Aska membulatkan bola matanya merasa kesal.
"Maaf, seharusnya aku ngomong dari awal kalau aku lagi datang bulan." Bunga lemah dan bergetar.
Aska lagi-lagi memejamkan kedua matanya seraya mengusap wajahnya kasar. "Dasar pembokat nggak tau diri, seharusnya lo ngomong dari tadi!" bentaknya penuh emosi. "Sekarang lo keluar dari sini Bunga Bangkai. Keluar!"
"Terima kasih, Tuhan. Makasih," batin Bunga penuh syukur.
Gadis itu perlahan mulai turun dari atas ranjang masih dengan tubuh yang gemetar. Dia pun berjalan ke arah pintu dan hendak membukanya. Namun, Bunga seketika bergeming saat suara ketukan tiba-tiba saja terdengar.
"Aska, kamu kenapa? Lagi ngobrol sama siapa kamu?" tanya Ibunda Askara di luar sana.
Bersambung