“Kamu gak pulang, Sat?” tanya Robi salah satu teman Satria.
Sudah pukul sebelas malam, tapi Satria tak kunjung pulang, bukan Robi tak memperbolehkan Satria berada di kosnya, hanya saja dia tak ingin masuk dalam masalah keluarga Satria. Ditanya begitu oleh Robi membuat raut wajah Satria berubah, dia yang awalnya sibuk memainkan game di ponselnya kembali menatap Robi dengan sorot mata yang tajam.
“Kenapa? Kamu ngusir aku?” tanya balik Satria dengan nada ketus.
“Bukan gitu, cuma--kamu gak takut Mas Bambang nyariin?”
“Bodo amat,” kata Satria tak peduli. “Bagi aku rokok,”
Robi mengambil sebungkus rokok dan memberikannya pada Satria, Satria merogoh bungkus rokok berperisa ice itu dan mengambilnya satu. Satria menyulut dan kemudian menghisap, lalu menghembuskan asap dari rokok itu ke langit-langit kos Robi.
Satria merasa puas bisa merokok, jika di rumah itu akan membuat kakak dan ibunya selalu mengomel, padahal itu hanya sebuah rokok. Diaa merasa sudah besar, bisa melakukan apapun yang ia mau, tapi bagi mereka ia hanya anak kecil yang tak bisa melakukan apapun.
Sejak kematian ayah yang Satria sayangi, dia merasa seperti tak memiliki tumpuan hidup, di tambah sekarang kakaknya yang selalu over padanya. Awalnya dia patuh pada Bambang, tapi setelah dia melihat bagaimana cara Bambang memperlakukan ayah mereka saat sakit, itu membuat luka dihatinya.
“Bro, ha-pemu bunyi, ada telephone masuk tuh,” kata Robi membuyarkan lamunan Satria.
Satria menoleh, memperhatikan ID si penelpone. Dari ibunya.
“Hallo, Assalamualaikum?” ucap Satria lembut pada ibunya yang berada di ujung telephone sana, “Masih ngerjain tugas, sebentar lagi pulang, iya Bu, iya. Waalaikumusalam,”
Satria menutup sambungan itu, meskipun dia risih selalu di tanya, di mana dan sedang apa. Tapi, dia tak bisa mengabaikan setiap yang di katakan sang ibu.
“Ibumu nyuruh pulang, pulang gih, besok kamu bisa main kesini lagi,” ucap Robi.
“Main, kamu kira aku anak kecil,” seru Satria. “Yaudah aku pulang dulu, besok tugas prakter siapin bahannya,”
Robi mengangguk. Namun kemudian berucap. “Besok minggu, gila,”
Satria meringis, memamerkan rentetan gigi putihnya.
Setelah itu Satria bergegas mengangkat tubuhnya dan berdiri, mengambil tasnya dan merapikan buku tugas yang tak dia sentuh sejak tadi. Lalu keluar kamar kos Robi.
Dinaikinya motor gede berwarna merah miliknya dengan kecepatan sedang, meskipun dia bisa mengebut karena semalam itu jalanan sudah sepi. Tapi, dia urungkan. Dia ingin berlama-lama sampai kerumah.
Motor miliknya begitu kontras dengan milik Bambang yang hanya Vespa. Meskipun begitu, Satria tak pernah merengek untuk mendapatkan motor bagus, kendaraan itu hadiah kelulusannya dari sang ayah. Beberapa bulan sebelum ayahnya meninggal.
Jalanan nampak sepi, saat Satria melewati sebuah g**g kecil. Di waktu yang bersamaan, dari ekor matanya, dua lelaki tengah menghadap dan menyudutkan seseorang ketembok.
Lurus, Satria melewati tiga orang itu, mereka tak bergeming, lalu dia memarkirkan motornya di ujung g**g dan kembali berjalan mendekati ketiganya.
“Woy, ngapain kalian!” seru kencang Satria, dengan urat yang berbentuk kabel di lehernya.
Dua orang tadi menatap Satria yang berlagak sok jagoan, sementara satu lainnya terduduk menyandar tembok dan menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.
“Ngapain lu bocah, main teriak-teriak aja!” kata salah satunya, dengan wajah garang dilengkapi rambut ikal yang menutup telinga, serta baju lusuh berwarna hitam, bertuliskan Calon anak sholeh.
“Beraninya sama orang lemah, udah malam pakai malak segala, dosa woi,”
“Banyak omong!”
Bukk!
Satu pukulan mengenai perut bagian bawah Satria, membuatnya terhuyung kearah belakang. Belum sempat dia tegak, satu pukulan kembali menghantam wajah dan bibirnya. Membuatnya jatuh ke tanah. Dipegangnya bibirnya yang terasa nyeri dan sedikit berdarah, saat dia hampir saja berdiri, saat tangan kanannya menyentuh balok kayu berukuran sebesar tangan laki-laki dewasa normal.
Satria mengambil kayu itu, berdiri dan menodongkan pada kedua orang tadi. Orang tadi masih melawan, tapi dengan mudah Satria menangkis dan membuat mereka sakitan. Keduanya berlari pergi dengan tangan dan badan yang ngilu, Satria membuang balok itu kemudian mendekati orang yang masih terduduk tadi.
“Gak apa-apa, Mbak?” tanya Satria sambil mengulurkan tangannya, orang yang di panggil mbak tadi membuka telapak tangannya, lalu mendongakkan wajah dan melihat Satria. “Walah Jancok, b*****g ternyata,”
Satria menggeram, lalu menarik tangannya sebelum orang itu meraihnya.
“Ih, kan belum megang, mas,” ucap laki-laki seperempat perempuan berlagak cantik itu.
“Enggak, haram. Takut inferksi,” kata Satria bergidik sendiri.
“Saya gak infeksian kok, bersih dah cuci tangan,”
“Dah, aku balik, nyesel nolongin. Kukira cewek cantik, taunya makhluk astral,” Dengan terus menggidik Satria berjalan menjauh dan meninggalkan orang itu yang sejak tadi berteriak.
Satria berlari kecil dan menghampiri motornya, lalu mengendarainya secepat mungkin. Agar dia sampai dirumah, dan tak akan bertemu makhluk aneh lainnya.
Apes nasibnya malam itu, sudah disuruh pulang Robi, tugas kuliahnya tak kunjung kelar, dan malah ketemu orang aneh, yang biasanya tak dia pedulikan untuk menolong orang lain.
Dari g**g itu, rumahnya hanya terpaut dua jalur, melewati jembatan, dan masuk pekarangan rumah.
Di taruhnya motornya di garasi dan berjalan kedalam rumah, lampu ruang tamu masih menyala, sepertinya sang kakak masih terbangun. Entah menunggunya atau mengerjakan laporan.
Satria menarik napas lalu membuka pintu ruang tamu, dia melihat Bambang masih sibuk dengan laptopnya dan kertas-kertas yang berhamburan di atas meja. Dia berusaha santai, tanpa berniat menyapa Bambang dan berjalan melewatinya.
“Dari mana, Dek?” tanya Bambang tanpa mengalihkan pandangannya sedikit pun dari laptop.
Satria menghentikan langkah.
“Ngerjain laporan, di kos Robi,” jawab Satria ketus, lebih tepatnya tanpa ekspresi, mirip mimik wajah Bambang.
“Sini, Mas'e mau ngomong,”
“Besok aja, Satria ngantuk,”
Setelah mengucapkan itu Satria kembali berjalan menuju kamarnya, Bambang sempat menoleh sesaat lalu mengulum bibir dan menggeleng pelan. Sejak empat tahun lalu, lebih tepatnya sejak kematian ayahnya, Satria tak berpernah bersikap bersahabat lagi pada Bambang. Meskipun tak begitu tahu penyebabnya, tapi Bambang menduga ini ada penyebabnya dengan apa yang dilakukannya dulu dirumah sakit. Kemungkinan Satria tahu bahwa yang menyuruh para pegawai kesehatan melepaskan alat yang melekat pada tubuh ayahnya adalah Bambang.
Memang baik Satria ataupun Bambang tak pernah membahas itu, tapi Bambang kadang berpikir hal itu. Bahkan sampai sekarang alasan dia melepas alat-alat yang bantu ayahnya hiduppun belum dia katakan.
Sementara itu Satria sudah sampai di kamar, selesai mandi dan berniat tidur, digantinya pakainnya dengan kaos dan celaka pendek. Setelah dia merapikan tempat tidur, dan mengibasnya tiga kali ia merebahkan diri. Ditaruhnya guling disamping kirinya lalu menarik selimut. Matanya hendak tertutup tapi, bayangan Bambang melintas sesaat.
Sudah lama sekali dia tak terlibat pembicaraan pada sang kakak, alasan sakit hati masih menguasai pikirannya, begitu perih saat dia mendengar dan melihat sendiri bahwa kakakanya menyuruh para perawat untuk melepaskan selang kehidupan ayahnya.
Sejak saat itu, ada raut benci yang tercipta setiap berbicara dengan Bambang, meskipun dia mencoba terus meredamnya, lalu bersikap seolah semuanya baik, meskipun otaknya mengkal bahwa dia hidup dengan seorang pembunuh selama bertahun-tahun.
Saat dia beradu mulut dengan Bambang dan terdengar ibunya, kadang dia kasihan tapi amarah lebih dulu menguasainya. Satria membuang pikiran itu jauh-jauh, dia hanya berharap setiap dia bangun pagi, masalah itu tak pernah terjadi.