Weekend. Saatnya berlibur. Menikmati bangun siang, dan merasakan mager sepanjang hari. Tapi, tidak bagi Bambang, sejak pukul lima pagi dia sudah mengeluarkan sepeda lipatnya dari garasi, membawanya berkeliling kota dan menikmati udara segar hari minggu.
Dengan celana longgar joger, kaos pendek, dan tak tertinggal earphone terpasang ditelinganya, agar ia bisa berkonsentrasi dengan olahraganya.
Tujuan kegiatan pertamanya adalah taman, biasanya akan banyak orang hari seperti ini, dan jika ia tak cepat, panas akan semakin terik, bisa-bisa kulitnya kosong.
Tapi, Bambang tak perlu menggunakan Sunblock, masa ia kalah dengan cabe-cabean yang berani pakai celana pendek sepaha.
Jarak taman dan rumahnya tak begitu jauh, hanya beberapa kilo meter, itu taman satu-satunya yang ramai dan tempat dimana semua orang berkumpul, meskipun tak semuanya berolahraga, malah kebanyakan hanya berwisata kuliner.
Sesampainya disana, Bambang menyandarkan sepedanya dibawah sebuah pohon, lalu ia duduk dan menikmati minuman ekstrak timun, agar kulitnya kencang.
Bambang mengedarkan pandangannya, ada beberapa pasangan suami-istri serta anak mereka yang sedang bermain, Ibu-ibu yang tengah senam dengan gerakan khas, para bocah yang asyik selfie, dan saat matanya sampai di samping kirinya. Bambang hampir terjatuh karena kaget.
Zara tengah tersenyum menghadap dirinya, entah sejak kapan.
"Pagi, Pak." sapa Zara tanpa sedikitpun canggung.
"Pagi. Kamu olahraga juga?" Tanya Bambang.
"Enggak, saya hanya mampir beli sate." Zara masih cengengesan sambil memamerkan plastik hitam yang berisi beberapa tusuk sate.
"Jauhnya beli sate kesini,"
"Tadi, sambil olahraga sih Pak. Dari rumah jogging, biar kurus."
Bambang menggaris bawahi kata kurus, lalu memperhatikan tubuh Zara dari atas kebawah.
"Bagian mananya biar kurus?" Tanya Bambang lagi, setelah ia berhenti memperhatikan Zara.
"Bian sini, sini, dan sini." Zara menunjuk sembarang area-area yang sebenarnya tak terlihat menggelambir. Karena tubuhnya memang kurus. "Pak, setiap perempuan itu pengen punya badan layaknya model catwalk."
Bambang mengangguk sambil membulatkan bibirnya membentuk huruf O.
Semua yang diucapkan Zara adalah bohong, ia memang sengaja datang ke taman itu untuk bertemu dengan Bambang, karena fakta dari temannya setiap minggu Bambang selalu ke taman.
Mendengar hal itu, Zara menginap dirumah temannya itu agar saat minggu pagi ia bisa bangun dan melihat calon jodohnya berolahraga.
Zara menatap Bambang yang begitu tegas, bulir keringat beberapa kali keluar dari kulit wajah, Bambang menyekanya dengan telapak tangan.
Lagi-lagi dari jarak sedekat itu, Zara bisa mencium aroma tubuh Bambang yang khas lelaki, harum tapi manis, perpaduan unik dan bisa menciptakan sebuah ilusi.
"Keliling, yuk," ajak Bambang, Zara tersadar.
"Eh? Saya gak bawa sepeda, Pak."
"Sepeda saya biar ditinggal saja, sudah saya kunci juga. Kita jogging saja." Ucap Bambang.
Kemudian Bambang berdiri dan mulai berjalan, sementara Zara hanya mengikuti dibelakang sambil menenteng plastik satenya.
Bambang berlari kecil, Zara menyusul dan berlari disamping Bambang.
Zara terus berusaha lagi sekuat yang ia mampu, tapi ia benar-benar tak mampu. Padahal biasanya ia sering ikut hacking, meskipun itu sudah lama.
Baru berlari beberapa meter, rasanya Zara sudah mulai terengah-engah dadanya sesak dan hampir kehabisan napas.
"Loh, kenapa?" Tanya Bambang melihat Zara berhenti.
"Capek, Pak." Ucap Zara dengan napas terengah-engah.
"Baru juga beberapa meter. Jarang olahraga ya?"
Zara mengangguk. Lalu kembali duduk, disebuah kursi, sementara Bambang berjalan menuju sebuah kedai kecil dan membeli sebotol air mineral.
"Ini." sambung Bambang sambil memberikan minuman itu pada Zara.
Zara menerima minuman itu tanpa sungkan.
"Makasih, Pak."
Bambang mengangguk.
"Lain kali sering lah olahraga, saya tahu kamu bohong soal jogging." Ucap Bambang sambil meminum minumannya, dan tanpa melihat ke arah Zara.
Sedangkan Zara terus menatap ke arah Bambang.
Dunia Zara seperti berhenti pada Bambang, sebuah ilusi polaroid dan paradoks paralel, yang tak bisa dihilangkan bahkan sulit untuk dilupakan.
Zara sering berpikir, apa hanya karena Bambang pernah menolongnya dulu atau ada sebab lain ia begitu menyukai sosok kakak tingkatnya itu.
Jika ada alasan lain, alasan apa itu?
"Hidungmu mimisan," tegur Bambang pada Zara yang melamun.
"Heh," kata Zara sambil menyeka hidungnya dengan ibu jari. Setelah itu Zara memamerkan giginya. "Bukan Pak, ini cuma saos gorengan."
"Serius? Tapi, kayaknya makin banyak itu. Kecapean kayaknya itu."
"Masa sih," Zara mengeluarkan ponselnya lalu menjadikannya cermin. Benar saja ternyata mimisan dihidungnya banyak.
Bohong. Itu bukan saos gorengan karena jelas darah segar terus menetes.
"Ini lap pakai tisu." Bambang memberikan sebuah tisu kecil pada Zara, Zara melap hidungnya.
"Bentar saya cari air es dulu, kamu duduk yang tegak, jangan mendongak ya, nanti malah masuk tenggorokan itu bahaya, tekan hidungmu selama mungkin sampai saya balik, dan bernapas lewat mulut."
Setelah mengucapkan hal itu Bambang pergi entah kenapa, sedangkan Zara melakukan apa yang diperintahkan Bambang tadi.
Mungkin bagi Bambang itu hanya sebuah mimisan biasa dan efek kecapean, tapi tidak bagi Zara sendiri. Ia tahu bahwa itu sebuah pertanda bahwa tubuhnya sedang mengalami masa transisi. Antara bertahan dan berusaha kuat.
Saat hidungnya ditekan, ia bernapas berat lewat mulut, rasanya sedikit sesak didada, tapi memang mimisannya sedikit berkurang, tapi hidungnya mulai terasa bengkak.
"Gimana?" Ucap Bambang lagi, saat ia kembali dengan membawa dengan beberapa potong es batu dengan ukuran ujung jari telunjuk, lengkap dengan beberapa tisu. "Gak nemu kain, adanya tisu tukang bakso. Sini saya kompres."
Zara mendekatkan wajahnya kedekat Bambang, lalu Bambang melapisi es tadi dengan tisu dan mulai mengompres didekat lubang hidung Zara.
Zara yang diperlakukan begitu dengan Bambang secara dekat, semakin dibuat takjub dengan wajah Bambang yang bersih, mulus tanpa sedikitpun jerawat.
Wajah khas jawa yang dimiliki Bambang, terlihat manis dan menggemaskan, kulitnya tak putih polos tapi lebih kekuningan eksotis.
"Sudah baikan?" Sambung Bambang bertanya pada Zara. Zara hanya bisa mengangguk, lidahnya kelu untuk berbicara sedekat itu pada Bambang. "Saya antar pulang ya."
Bambang membuang tisu tadi, lalu berdiri. Hampir saja ia menyentuh Zara tapi ia urungkan, kemudian Zara berdiri sendiri dan mengikutinya dari belakang.
Zara mendengus tertahan dengan perlakuan Bambang, kesempatan dipegang Bambang hilang begitu saja.
Tak begitu lama, mereka sampai di sepeda Bambang, setelah melepaskan kunci sepedanya Bambang menaikinya dan menyuruh Zara berdiri dibagian belakang, menginjak besi yang berdiri kedua sisi ban.
"Saya berdiri disini gak apa-apa, Pak?" Tanya Zara.
"Iya, santai saja. Pegangan pundak saya yang erat, biar ndak jatuh."
Seperti mendapat lampu hijau, Zara langsung berdiri dibesi itu, lalu memegang dengan erat pundak Bambang. Bambang mulai menjalankan sepedanya dengan perlahan untuk pergi kerumah Zara.