05

1103 Words
“Ehm!” dehem Bambang kencang. Anak muridnya terkaget dan membalikkan badan melihat Bambang yang berdiri, melihatnya dengan wajah datar. “Eh, Pak Babams,” anak muridnya hanya bisa nyengir, sambil memperlihatkan giginya. Wajahnya nampak gugup. “Ah-eh, ngapain kalian bertiga disini?” tanya Bambang. Ini masih waktu jam pelajaran, tugas Bambang adalah mengontrol anak-anak, dan saat dia berjalan melewati kantin, dia melihat Dery dan kedua teman gangnya sedang asyik menikmati makanan. “Ini Pak, kami sedang membantu perekonomian masyarakat kecil, tugas kita pelajaran Ekonomi,” ucap Dery dengan rasa gugup. “Dengan membeli makanan saat jam pelajaran? Bagus alasannya ya. Lagian Bapak ndak pernah ngasih tugas begitu,” “Pak kami capek habis pelajaran olahraga lho, Pak Syharul nyuruh kami lari keliling lapangan sepuluh kali, “ kata salah satu teman Dery. “Lalu?” tanya Bambang lagi. “Lalu kami berniat mengistirahatkan diri sejenak, agar metabolisme dalam tubuh berjalan kembali dengan lancar,” Plak! Kayu yang di pegang Bambang menyentuh punggung Dery, Dery meringis sambil memegangi punggungnya. “Ih sakit, Pak,” sambung Dery mengeluh. “Siapa guru kalian?” tanya Bambang lagi. “Miss Hanum (Guru Bahasa Inggris), Pak,” jawab teman Dery yang lainnya. “Nah Miss Hanum ada, cepat masuk. Apa mau bapak pukul lagi?” Sebelum Bambang kembali mengayunkan kayunya, ketiga anak muridnya itu sudah berlari lebih dulu. Bambang melihat mereka berlari dengan wajah biasanya, Dery dan kedua temannya bukan satu-satunya murid nakal yang ada di sekolah itu, mereka salah satunya. Padahal mereka sudah kelas dua belas, sebentar lagi akan mengalami kelulusan, tapi masih saja bersikap nakal dan tak tahu aturan. Bambang meninggalkan kantin, bersiap berkeliling lagi, kali ini tujuannya adalah gudang belakang, biasanya jika lengah ada anak-anak nakal kelas sebelas yang merokok di sana. Bambang memang belum pernah menemukan mereka melakukan hal itu, dia hanya mendengar dari beberapa guru saja. Biasanya yang merokok adalah Anwar dan teman-temannya, anak jurusan IPS, sejak masuk sudah terkenal bandelnya, saking bandelnya banyak guru yang angkat tangan dengan kelakuan anak itu. Namun, saat Bambang sampai disana, tidak ada siapapun, bahkan aroma rokokpun tak tercium. Bambang mengulas senyum lalu pergi dan berniat kembali ke kantor guru. Mungkin Anwar sudah tobat. Pikirnya. Bambang terus berjalan menuju kantor dengan membawa kayu, biasanya yang melakukan hal itu Pak Yunus si guru BK tapi hari ini sedang meliburkan diri karena sakit. Akhirnya tugas beralih ke Bambang. Saat sampai di kantor, dia melihat beberapa guru sedang berkumpul dan seperti memperhatikan sesuatu di layar ponsel. Bambang ikut mendesak, dia melihat sesuatu di layar ponsel itu, sebuah video amatir yang direkam seseorang. “Loh, itu kan Pak Yunus, kenapa di kantor polisi, katanya beliau sakit,” kata Bambang dengan polosnya. “Pak Bams gak tau ya?” tanya Lia, melihat Bambang yang sepertinya penasaran. “Ndak tau soal apa? Yang saya tahu Pak Yunus sakit. Makanya saya gantiin, Bu,” “Pak Yunus kena masalah, Pak,” ucap Malik ikut menimbrung pembicaraan Lia dan Bambang. “Masalah apa sih, Pak? Penasaran saya,” paksa Bambang, karena sejak tadi belum ada yang menjawab pertanyaannya. “Bapak lihat gak kalau Anwar dan Pak Yunus hari ini gak masuk?” tanya Malik, Bambang mengangguk, “Wali murid Anwar ngelaporin Pak Yunus ke kantor polisi, karena katanya Pak Yunus mukul Anwar,” “Loh kok bisa, Pak?” Bambang masih tak percaya. "Iya itu Pak anehnya, makanya sekarang Bu Ayumi nemenin Pak Yunus ke kantor polisi,” Bambang mengerutkan kening dengan ucapan Malik, ada masalah lagi dalam dunia pendidikan. Dia kadang heran, kenapa bisa para guru selalu jadi bahan masalah. Padahal guru memukul pasti memiliki alasan yang jelas. Kadang ada saja orangtua yang tak suka anaknya dikasari guru, dalam artian untuk mendidik, mereka minta anaknya disayang, tapi di sisi lain banyak anak-anak yang malah tak hormat pada guru, karena begitu di baiki. Sebagai guru, kadang Bambang berpikir, jika terus begitu kenapa tak orangtuanya saja yang mengajar anak-anaknya di rumah, kasih rapot sendiri, didik sendiri, dan kasih ujian sendiri, agar tahu bagaimana sulitnya mengajar. “Kelanjutan kasusnya gimana, Pak?” tanya Bambang pada Malik kembali. Kali ini Bambang banyak bertanya karena terus penasaran. “Belum tau sih, Pak. Kata Bu Ayumi tadi masih di rundingkan kalau bisa malah di bicarakan secara kekeluargaan,” jawab Malik. Bambang mengangguk-angguk tanda paham. Setelah itu Bambang menuju meja kerjanya, duduk di sana sambil mengocek ponsel miliknya, dia harus mengecek email tugas anak-anak muridnya, dan mengabaikan guru lain yang masih sibuk dengan kasus Pak Yunus. *** Pukul satu siang, bel tanda pulang berbunyi. Setelah merapikan buku dan apa yang harus dia bawa pulang. Bambang bergegas meninggalkan sekolah. Saat keluar dari gerbang, Bambang melihat Zara tengah berdiri di samping tembok seorang diri. “Kamu lagi ngapain? Kok belum pulang?” tanya Bambang pada Zara, setelah Bambang menghentikan motornya. Zara memperhatikan Bambang kemudian tersenyum. “Ini nunggu jemputan, Pak. Dari tadi gak di jemput,” ucap Zara. “Dimana rumahmu?” “Jalan RA.Kartini, blok F, Pak,” “Jauh sih dari rumah saya, tapi ayo saya antar,” “Udah gak usah Pak, gak apa-apa saya tunggu jemputan saja,” tolak Zara, padahal hatinya begitu bahagia mendapat tawaran dari Bambang. “Serius nih saya tinggal,” kata Bambang tak peka, padahal Zara ingin di tawari lagi. Mendengar ucapan Bambang itu, Zara memutar otaknya, kesempatan bersama Bambang akan hilang setelah dia menolak ini. Tidak boleh terjadi. “Kalau bapak maksa, boleh deh. Tapi, jangan ngebut ya Pak,” ujar Zara, mendekati motor Bambang dan mulai duduk di atas jok. “Tenang saya bukan pembalap motogp, lagian motor ini gak bisa ngebut,” Setelah mengucapkan itu, Bambang menjalan vespa hitamnya yang sudah dia ambil dari bengkel, dan sekali masuk bengkel perawatannya begitu mahal. Sementara Zara terus menyungging senyum tanpa Bambang sadari, hatinya bahagia karena rencananya berhasil. Rencana? Motornya tidak rusak, dan dia sedang tak menunggu jemputan, dia berangkat bersama temannya dan memaksa temannya untuk pulang lebih dulu, agar dia bisa pulang bersama Bambang. Dia tahu bahwa Bambang tak mungkin membiarkannya terlantar seperti itu, apalagi dia seorang gadis yang begitu cantik. Menurut cermin di kamarnya. Dari arah belakang, Zara bisa mencium aroma yang keluar dari tubuh dan baju Bambang, wangi yang bercampur dengan keringat, dipadu buah-buah yang menggoda, meskipun begitu elegan seorang pria masih terkesan cool. Zara hampir saja membayangkan yang aneh-aneh, seandainya dia tak mengusap wajahnya dengan telapak tangan. Perjalanan kerumah Zara masih lama, beberapa menit lagi, jika sampai lebih lama dari itu entah apa lagi yang akan dia rasakan. “Digang mana?!” teriak Bambang, karena angin membuat suaranya hilang. “g**g Majemuk II, Pak!” Zara ikut berteriak. Setelah mendengarkan hal itu, Bambang melajukan motornya kearah g**g yang di maksud Zara
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD