Enam

1220 Words
Pov Yana Pagi pukul 6.00am Aku mengeliatkan tubuhku pelan. Masih sangat malas untuk bangun. terlebih, semalam aku tidur pukul 1 dini hari. Bahagia, tentu aku merasakan itu. Bisa bertemu lagi dengan lelaki yang selama ini selalu kupikirkan. Terlebih setiap hari aku bisa bertemu dengannya. Sedih, karna akhirnya kita saudara ipar. “Buatku kamu tetap kekasihku mbak, kamu bukan kakak iparku.” Ucapnya tiap kali aku mengingatkan. Aku genggam tangannya. “Hey, itu nyata Kai. Kita sekarang saudara.” “Enggak mbak, kamu pacarku. Kita nggak saudara. Aku akan merebutmu dari kak Radja. Kalau pun perlu, aku akan menjelaskan hubungan kita sama papi.” Kutabok pahanya dengan gemas. Sekarang kita duduk di sofa, didalam kamarku. Duduk bersebelahan, bahkan seperti kebiasaannya dulu. Kepalanya sudah nyandar dibahuku. Kucium rambutnya, wangi banget. “Dari dulu suka ngeharusin keinginan gitu. Enggak boleh kek gitu.” Kataku. “kamu nggak tau sih, Empat bulan ini aku kaya’ orang gila. Nyariin kamu kemana-mana, beneran nggak ada akhlak. Ninggalin anak orang gitu aja, nggak mikirin yang ditinggalain udah makan belum, udah mandi belum, udah bobok belum. Nyebelin emang!!” omelnya panjang lebar. Aku tertawa kecil mendengar ocehannya. Dia langsung menggelitik pinggangku. Spontan aku teriak. “Aaa....” kututup mulutku rapat. Menyadari kamarku ada didekat kamar mas Radja. “Kai, hentiin. Aku geli....mas Radja bisa dengar.” Dengan cepat, bibir Kai menyatu dengan bibirku. Kita ciuman seperti tadi. Lembut, manis dan rasa mint masih sama seperti saat pertama kali bibir ini menyentuh bibirku. Ddrrttt....ddrrtt Ponselku bergetar. Ada pesan masuk, dan aku yakin itu pasti dari mas Radja. Dia mendengar suaraku tadi. Kupukul d**a Kai, meminta untuk menghentikan ciumannya. Dia malah mendorong tengkukku dan tangan yang satunya mendorong pinggangku erat. “Eemmm......eemmm” mataku terbuka, kulihat wajahnya yang diam, merem menikmati sentuhan ini. Jujur, aku pun menikmati, aku menyukainya. Tapi mas Radja bisa marah jika aku tak membalas pesannya. Aku mencubit perut Kai. Dia langsung melepaskan pagutannya. “Aaww......sakit mbak.” Dia pegangi perut bekas cubitanku. Segera ku elap bibirku yang basah dan terasa bengkak. Aku ambil ponsel membuka pesan yang masuk. [Kenapa?] Pesan singkat dari mas Radja. [Apa kamu baik-baik saja?] Dia mengirim pesan lagi karna aku lama tak membalasnya. Segera aku mengetik pesan balasan. “Aku cemburu mbak. Perhatian banget dia.” Kai sudah berdiri dibelakangku, ikut membaca pesan dari mas Radja. Aku hanya diam tak membalasnya. Setelah menulis pesan balasan, aku meletakkan ponsel dan kembali menatapnya. “Udah malam, balik kamar kamu sana. Aku udah ngantuk.” Dia malah merebahkan tubuhnya di atas ranjangku. Aku melotot tak percaya dengan yang Kai lakukan. “Kai, jangan gini dong.” “Aku masih rindu mbak.” Dia bangun dan menatapku. Pandangan kami bertemu. Sesaat bibir kami menyatu lagi. Hanya sekilas. “Sekali lagi, dan aku akan kembali ke kamarku.” Ddrrrttt....ddrrtt... Ingatanku tentang semalam buyar saat ponselku bergetar. Pesan masuk dari mas Radja. [Apa sudah bangun? Aku ingin ke kamar mandi.] Segera aku bangun, bahkan aku lupa jika belum cuci muka dan sikat gigi. Berjalan sedikit berlari keluar kamar dan masuk ke kamar mas Radja. Dia sudah sandaran di papan ranjang. Aku mendekatkan kursi roda. “Nggak usah pakai itu. Papah aku saja.” Pintanya. Tanpa menjawab, aku menjauhkan lagi kursi roda itu dan mulai meraih tubuhnya. Aku memapahnya menuju kamar mandi. Tubuhnya yang berat selalu membuatku ngos-ngosan tiap mengangkatnya. Aku duduk di sofa yang ada didekat pintu kamar mandi, menunggunya selesai dengan urusannya. Ddrrtt...ddrttt Ponsel yang ada disaku baju tidurku bergetar. Aku mengambilnya, pesan masuk dari Kaisar. Kaisar [Ngapain lama-lama didalam kamar kak Radja?] Aku [Bantuin mas Radja ke kamar mandi] Kaisar [Kenapa kamu nggak juga keluar? Kamu ikut masuk ke kamar mandi ya?] Aku baru saja ingin mengetik balasannya, pintu kamar mandi sudah terbuka. Segera kumasukkan lagi ponsel kedalam saku dan kembali memapah mas Radja untuk keluar. “Aku mau mandi sekalian. Ambilkan ganti ya.” Ucapnya lalu kembali menutup pintu kamar mandi. Kuambilkan baju ganti dan kembali menunggunya mandi. Baru aja mau duduk disofa, pintu kamar mas Radja terbuka. Kaisar berdiri diambang pintu. Mataku melotot melihatnya. Aku berjalan mendekatinya. “Kai, kamu ngapain ke sini? Jangan gila ya!!” omelku dengan berbisik. “Salah siapa balas pesannya lama.” Nggak ada wajah bersalahnya sama sekali. “Sekarang kamu keluar deh. Aku nggak mau sampai mas Radja lihat kedekatan kita.” Aku dorong badannya yang memang lebih besar dari badanku itu keluar kamar. “Cie cie.....yang takut ketahuan selingkuh.” Ledeknya sambil tersenyum meledek. Aku melotot sambil manyun. Ku tinju bahunya dan aku menutup pintu kamar mas Radja. ~~ Pagi ini kita bertiga berada dimeja makan. Seperti biasa, aku mengambilkan makanan untuk mas Radja. Kai menatapku tanpa henti, mungkin dia juga meminta untuk diambilkan makan. Tapi aku tak akan melakukannya. Aku tak mau mas Radja sampai curiga. “Belum puas lihatinnya?” kata mas Radja sambil menatap adiknya. Aku hanya menunduk sambil menahan tawa. Sukurin!!! “Pelit amat. Aku kan belom pernah liat kak. Kali aja dia bukan cewek beneran.” Ucapnya dengan santuy. Segera aku melotot kearahnya. Dasar dia ya!!! “Aku juga belum buktiin sih.” Sahut mas Radja. “Uhuk...uhuk...uhuk” aku segera mengambil gelas berisi air putih disamping piringku dan meminumnya. “Hhppffff.....” Kaisar menahan tawanya. “Harus secepatnya dibuktikan kak.” Aku segera berdiri dan membawa piringku kedapur. Tak mau lagi terlibat diobrolan kakak adik yang sinting. “Non, kok makannya disini?” mbok Esti menghentikan aktifitasnya. “Malas disana mbok. Mereka menyebalkan.” Aku kembali kekamar setelah makananku habis. Kulihat mas Radja sudah dengan setelan jas dan ada mas Panji juga disana. Kaisar turun dari kamarnya. Pandangannya langsung mengarah kearahku yang ada didepan pintu kamar. Dia menghampiriku. “Aku berangkat ke kantor dulu ya.” Ucapnya sambil tersenyum. Dia cubit pipiku dengan gemas dan pergi gambung sama dua kakaknya itu. Aku masih terpaku melihat dandanannya yang lebih pantas pergi ngamen dipinggir jalan. Pov author Tiga lelaki tampan itu turun dari mobil. Kaisar mendorong kursi roda kakaknya, Panji berjalan disebelah membawa tas hitam berisi beberapa berkas penting. Masuk ke perusahaan milik keluarga Paxon. “Selamat pagi pak,” sapa satpam yang ada dipintu utama. “Pagi.” Hanya Kaisar yang terlihat merespon setiap sapaan dari para karyawan yang berpapasan dengan mereka. Masuk keruangan CEO yang menjadi ruangan Radja sejak lama, tapi sudah 1 tahun Radja tak pernah lagi masuk ke ruangan ini. “Kai, mulai sekarang seriuslah belajar tentang bisnis. Kelak kamu yang akan melebarkan sayap perusahaan ini. Kamu yang akan menempati jabatan ini.” Tutur Radja. “Iya. Berhentilah bermain-main. Kamu harus belajar dari sekarang.” Timpal Panji. “iishhh kalian sama.” Kaisar menjatuhkan tubuhnya disofa. Bbrrakk. Panji menjatuhkan beberapa berkas dihadapan Kai. “Simpan lagi ponselmu dan pelajari berkas itu. Nanti ikut aku persentasi ke investor.” “Aasshh....” Dengan malas Kai mengambil berkas didepannya. “Demi kekasihku tersayang,” mulai membuka lembar per lembar. “Dah punya pacar?” tanya Panji. “Ya udah dong, cakep gini masa’ jomblo.” Ucapnya dengan pede. “Nah, udah punya pacarkan? Berarti harus mulai serius nyari duit Kai, kuliah juga harus bener. Buat ngidupi pacarnya.” Sahut Panji. Radja hanya geleng-geleng dengerin kedua saudaranya ngobrol. Dia sibuk dengan laptopnya. “Besok pagi kamu ikut ke Palembang ya. Kita harus dapat proyek ini. Dia invertor hebat, dan akan sangat menguntungkan buat perusahaan kita.” Lanjut panji. Kai tercengqng. Berhenti membaca dan menatap Panji serius. “Kalau ini aku nggak mau. Aku nggak mau ninggalin pacarku jauh-jauh.” Panji nonyor kepala Kai. Radja kembali geleng kepala sama tingkah adiknya. “Dasar bucin!!” “Aku baru ketemu lagi sama dia kemarin kak. Masa’ udah harus pisah lagi sih?” “Serah, pokoknya besok aku jemput jam 8 pagi.” “Kenapa nggak kak Radja aja sih?” “Hey, Radja baru mau otw sembuh bego.” Ucap Panji sambil memukul Kai pakai buku yang dia pegang. “Doain kakak cepet sembuh ya,” sahut Radja. “Tentu.” Kai menatap Radja dengan serius. “Kalau kakak sembuh, apa kakak akan menceraikan istri kakak?” “Maksud kamu, menceraikan Layyana?” tanya Panji. Kai ngangguk. “Iya, bukankah kakak hanya butuh wanita yang merawatnya saja. Gimana kalau dia selama ini punya pacar, dia korbankan perasaannya buat bantuin kakak sembuh.” “Emang sih, dari dulu kamu paling peduli sama perasaan orang lain.” Puji Panji. Radja menghembuskan nafas kasarnya. “Wanita itu udah terikat janji sama Radja.” Sela Panji. Kai makin penasaran, wajahnya sudah kepo. “Janji apa kak?” “Udah, selesaikan pekerjaanmu. Nggak perlu pedulikan urusan wanita itu denganku.” Sahut radja.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD