Tujuh

1083 Words
Radja pulang lebih dulu karna Kaisar pergi ketemu orang penting sama Panji. Sesampainya dirumah dia langsung nyuruh Yana membantunya mandi dan mengajak jalan-jalan sore disekitaran taman kota. Radja hanya mengajak Yana duduk dikursi melihat beberapa orang berlalu lalang dan anak-anak yang bermain di sana. Setelah merasa cukup, Radja mengajak Yana makan malam di caffe dekat taman. Kali ini Radja tak memakai kursi roda, dia sudah jalan menggunakan bantuan tongkat. Sejujurnya, dia sedang mengenang masa-masa bersama Raya dulu. Tepat hari ini adalah ulangtahun pernikahan mereka. Ditempat-tempat ini mereka sering menghabiskan waktu berdua. Harus memerima kenyataan bahwa istri tersayangnya telah tiada, itu hal yang teramat sulit. Berkali-kali Radja menekan ujung matanya, menggagalkan bulir bening yang ingin jatuh. Yana tau suaminya sedang sedih, walau dia penasaran penyebabnya, dia memilih dia berpura-pura tak melihat. Berkali-kali pinselnya bergetar, ada beberapa chat dan panggilan dari Kai. Tapi dia mengabaikannya. Dia nggak berani bermain ponsel saat bersama Radja. Geram Kai karna Yana mengabaikannya. Dia menelfon Budi, supir pribadi Radja. Sampai menyuruh Budi memfoto mereka berdua. Alasannya khawatir sama keadaan Radja. Aneh emang. Pukul 7.00pm Radja baru mengajak Yana pulang. Sudah sangat cukup mengenang semuanya. “Ingin beli sesuatu?” tanya Radja saat mereka sudah berada didalam perjalanan pulang. Yana yang sedari awal hanya diam dengan pikirannya segera terjingkat saat mendengar orang yang duduk disampingnya sedang mengajaknya bicara. “Eemmm...aku mau beli martabak mas.” Ucapnya. Karna memang sudah lama dia ingin makan martabak. “Bud, mampir beli martabak.” Ngomong sama supirnya. “Baik Mas,” Tak begitu lama mobil berhenti di pinggir jalan. Yana yang sudah tau, dia segera keluar untuk membeli yang dia inginkan. “Mas, martabaknya rasa coklat keju ya. Yang satunya kismis coklat.” Ingat Kai, dia paling suka martabak kismis coklat. Selagi menunggu penjualnya, dia ambil ponsel dan membaca beberapa chat dari Kai. Tersenyum sendiri saat Kai marah karna cemburu. Dasar bocah!!! Sengaja mengabaikan pesannya dan mengembalikan ponsel didalam tas. Segera kembali kedalam mobil setelah mendapatkan yang dia mau. Mobilpun langsung berjalan tanpa menunggu lagi. Pov Yana Aku melihat Kai mondar mandir dibalkon atas, saat mobil memasuki plataran pandangannya langsung mengarah ke mobil. Sengaja aku pura-pura tak melihatnya. Membantu mas Radja turun dan memapahnya masuk kedalam rumah. “Mas mau mandi?” tanyaku saat didepan pintu kamar mas Radja. Mas Radja hanya menggeleng. “Istirahatlah.” Lalu dia masuk kekamarnya. Aku masuk kedapur, menyiapkan martabak yang kubeli tadi untuk Kai dan untuk mas Radja. Aku tidak tau kesukaannya, tapi siapa tau dia mau. Tok...tok...tok Kuketuk pintu kamar sebelum masuk. “Mas mau martabak?” tawarku. “Masuk.” Sahutnya dari dalam. Kuputar handle pintu, sebelum aku benar-benar masuk, kulihat Kai berdiri diambang tangga. Lagi-lagi aku pura-pura tak melihatnya. Segera kututup pintu dan menaruh sepiring martabak diatas meja. “Aku nggak tau rasa apa kesukaanmu. Aku beli asal aja.” Dia ngangguk dan menepuk kasur dipinggirnya, isyarat agar aku duduk disampingnya. “Duduklah.” Aku nurut. “Nanti malam, bermalamlah disini.” Permintaan yang membuat mataku membulat sempurna. Dadaku seketika berdebar memikirkan yang terjadi antara pasangan suami istri saat malam hari. Kenapa dia tiba-tiba seperti ini? Apa dia akan meminta haknya sebagai suami? Aku masih melotot tak mengindahkannya. “Aku hanya ingin kamu menemaniku ngobrol. Jangan berfikir aneh.” Lanjutnya sambil menatapku. “Aahh....aku nggak berfikir aneh.” Merasa malu karna memang aku sudah berfikir kearah sana. “Ii---iya nanti aku akan kesini setelah membersihkan diri.” “Aku tunggu.” Beranjak berdiri dan keluar dari kamarnya dengan masih berdebar. Duduk dimeja makan dan menikmati martabak favoritku. Masih kebayang wajah mas Radja saat ngomong tadi. Hari ini dia cukup aneh, kenapa dia sebenarnya? Setelah memakan tiga potong martabak, aku mengemas sisanya. Aku naik ketangga untuk mengantarkan pada Kai. “Kai,” aku berdiri depan pintu kamarnya. Kupanggil dia pelan, takut mas Radja dengar. Cekklek, Ssrreett, Kai langsung menarik tanganku masuk kekamarnya dan menutup pintu kamar. Dia mengunci tubuhku didinding kamar. Menatapku penuh kemarahan. Aku hanya diam balas menatapnya, sudah kupastikan dia terbakar cemburu. “Seneng ya seharian kencan sama suami.” Dari nada bicara udah keliatan kalo marah. Aku sih santuy, balas natap dia sambil tersenyum, sengaja pengen ngegoda. Kukedip-kedipkan mata sambil terus senyum semanis mungkin. “Iiisshh nyebelin. Ngapain main mata gitu,” dia acak rambutnya dengan jengkel. Pertama kali masuk kamarnya, kuedarkan mata kesetiap sudut ruangan. Kamar yang sama luas dengan kamarku, catnya berwarna hitam kombinasi putih. Ada satu lemari besar pintu empat, ranjang ukuran standar buat dua orang, meja belajar ada disebelah kanan ranjang dan ada beberapa buku yang tertata rapi di rak atas meja. kamar mandi ada di dalam. Aku berjalan dan duduk ditepi ranjang. Sprai berwarna merah motif bola lengkap dengan selimutnya. Cukup rapi untuk kamar cowok. Dia ikutan duduk disampingku. Kubuka bungkusan martabak yang kubeli khusus untuknya. “Sini aku suapi.” Aku menyodorkan sepotong martabak kemulutnya. Dia mangap dan menggigitnya pelan. Ada sedikit senyum di bibirnya. “Mbak, bobok sini ya.” “Aku punya kamar sendiri Kai. Jangan ngaco deh.” “Besok aku pergi ke Palembang lho. Kita nggak bisa ketemu lagi.” Dia mangap lagi. “Berapa hari?” kuelap bibirnya yang belepotan. Dianya nurut banget, iihh gemes. “Kaya’nya sih seminggu. Ada proyek penting disana.” Aku tersenyum senang. Diusianya yang mau menginjak 19 tahun, dia bisa tanggung jawab sama kerjaan. Dia lebih dewasa dari anak seusianya. “Seneng kalo aku pergi?” Aku reflek ngangguk. Ini maksudku seneng karna dia pergi ada tanggungan pekerjaan. Tapi sayang dia fahamnya lain. “Kok jahat sih,” dia marah lagi. Mukanya suram. Aku ketawa kecil. Kuacak rambutnya dengan gemas. “Hey, jangan salah faham dong. Aku seneng karna kamu sudah dewasa. Kamu tanggung jawab sama pekerjaan.” Dia natap aku dengan mata berbinar. Mulai bergelayut dilenganku. “Makanya bobok sini ya.” “Enggak bisa Kai.” “Kenapa?” dia natap aku lekat. “Mas Radja malam ini memintaku bermalam dikamarnya.” “Hah!!! Apa??!!” dia berdiri dan berkacak pinggang. Berdesis dengan kesal beberapa kali. “Gila!!!” umpatnya dengan kesal. “kamu mau melayaninya diatas ranjang?” Aku berdiri dan meraih lengannya. “Jangan marah dulu. Dia hanya memintaku menemani ngobrol. Nggak ngapa-ngapain kok.” “Masa’ sih, aku nggak percaya mbak.” “kamu nggak percaya sama aku?” “Aku percaya sama kamu. Tapi aku nggak percaya sama kak Radja.” “Kai, dia nggak akan apa-apain aku. Kita udah pernah tidur sekamar juga kan. Kita juga nggak ngapa-ngapain.” “Itu aku mbak bukan kak Radja. Dia lelaki dewasa yang sudah berumur. Bahkan sudah pernah punya istri, dia sudah pernah melakukan hubungan badan dengan wanita.” Aku terdiam sesaat. Benar juga sih kata Kai. Dia beda sama Kai, tapi statusnya kan kita suami istri. Sebenarnya nggak salah jika kita melakukan itu. Tetap saja aku nggak mau melakukan itu untuk saat ini. Aku duduk ditepi ranjang lagi. “Aku juga nggak bisa nolak sama permintaannya Kai. Aku yakin dia nggak bohong, dia Cuma butuh teman ngobrol.” “Tapi mbak.....” “aku tau kamu khawatirin aku. Aku akan menolak jika dia memintaku melayaninya malam ini.” Kupotong kata-katanya dan menggenggam erat tangannya. Ddrrtt.....ddrrtt.... Sebuah pesan masuk diponselku dari nomor mas Radja. Aku membuka pesan itu. Kai disampingku ikut mengintipnya. [Cepatlah] Pesan yang singkat, tapi cukup membuat hati Kai terbakar cemburu. Aku mengelus pipinya dengan lembut. Aahh imut dan sangat menggemaskan. Apa lagi mulutnya yang manyun karna ngambek ini. “Jangan marah ya, aku janji, aku nggak akan ngapa-ngapain sama dia.” “Cium dulu......”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD