Bab 4. Hidup baru Harumi

1069 Words
Harumi segera menarik kabel listrik setrikaannya dan segera mendekati kipas angin walau AC kamarnya telah dihidupkan. Keringat tampak membanjiri tubuh perempuan cantik itu yang tampak kepanasan. “Haduh, aku lebih baik gosek wc ama ngepel lantai deh dari pada setrika baju,” keluh Harumi berbicara sendiri pada dirinya sambil menatap pakaiannya yang telah rapi. Perlahan ia melirik ke arah jam yang telah menunjukan waktu pukul 10 malam, tandanya ia sudah harus tidur walaupun masih terdengar keramaian diluar rumah kontrakannya. Tinggal di perumahan yang berdempetan satu sama lain membuatnya harus terbiasa mendengar suara-suara di luar sana tanda kehidupan masih ramai saat malam. Sudah hampir 7 bulan dirinya tinggal dirumah kontrakan ini, 5 bulan lagi ia harus segera membayar kontrakan rumahnya kembali. Harumi menghempaskan tubuhnya diatas ranjang keras dan segera menyambar handphone untuk memeriksa sisa rekening tabungannya. Saat ia meninggalkan rumah kediamannya bersama Gin, ia hanya mengandalkan uang penjualan tas dan sepatu brandednya. Harumi sempat menyesal karena ia dulu tak bisa mengatur keuangannya sehingga awal-awal memutuskan untuk tinggal di apartemen yang makin lama makin tak bisa ia bayar. Untung saja ia bertemu dengan Alex, teman SMA nya dulu yang kini telah menjadi pengusaha meneruskan usaha keluarganya. Jika Alex tak menerimanya bekerja sebagai sekretarisnya entah bagaimana nasibnya nanti. Dunia kerja adalah dunia yang hanya sebentar dirasakan oleh Harumi. Dulu setelah ia menyelesaikan kuliahnya, ia hanya setahun merasakan menjadi orang kantoran dan setelah itu ia sibuk menjadi Nyonya Gin yang bergelimpangan harta.Memulai bekerja seperti ini seolah pengalaman pertama untuk Harumi. Harumi menatap rekening yang Gin berikan padanya untuk diisi sebagai nafkah setiap bulan. Melihat saldonya yang begitu besar hanya bisa membuat Harumi menghela nafas panjang. Uang pemberian Gin semenjak ia minggat tak pernah Harumi pergunakan sepeser pun. Ia terlalu marah dan harga dirinya terlalu tinggi saat itu. Ia berjanji tak akan menggunakan sepeserpun uang pemberian Gin karena Harumi tersinggung dengan ucapan Gin yang mengatakan bahwa ia perempuan manja yang boros dan tak bisa apa-apa. Ia juga masih marah karena perselingkuhan Gin dan Bianca lakukan sehingga apapun yang Gin berikan tak pernah Harumi sentuh lagi. Termasuk semua barang - barang miliknya yang Harumi tinggal dirumah. Ia hanya mengambil barang-barang yang ia beli sendiri atau sang ibu yang berikan. Kini, sudah tak ada rasa marah dihati Harumi tetapi ia masih tak ingin menyentuh uang pemberian Gin, karena ia tak ingin ketika mereka resmi bercerai nanti Harumi merasa kesulitan lagi beradaptasi dengan gaya hidupnya. Harumi sudah berjuang keras untuk memenuhi kebutuhannya sendiri termasuk membersihkan rumah dan hal lainnya yang jarang sekali ia lakukan dulu. Bekerja sebagai sekertaris tak membuatnya di gaji besar, tetapi sebenarnya cukup untuk Harumi. Butuh berbulan-bulan dan tangisan dari Harumi untuk bisa terbiasa. Akhirnya ia bisa menerima bahwa saat ini ia memang tak punya keleluasaan uang, tak seperti saat ia masih bersama suaminya. Mengingat ibunya yang juga sedang sakit keras dan berpesan agar ia bisa mandiri membuat Harumi mencoba bertahan untuk tidak merengek minta uang pada sang ibu juga kakaknya yang mapan. Banyak malam dimana Harumi ingin menyerah dan kembali ingin hidup enak, tetapi rasa sakit hati dan sedihnya membuatnya tak menginginkan hal itu lagi. Tiba-tiba Handphone Harumi berdering nyaring, ia tampak kaget ketika melihat nama Gin muncul di layar handphonenya. Jantungnya berdetak kencang, ada rasa sakit, sedih dan juga takut terasa disana. Sudah hampir 6 bulan ini hidupnya terasa tenang setelah bergulat setiap malam dengan tangisan mempertanyakan mengapa Gin berselingkuh dengan Bianca. Harumi sadar bahwa sang ibu pasti memberikan nomor barunya pada Gin, karena sudah satu bulan ini Harumi mengganti nomornya dan tak memberitahu keluarganya termasuk Gin. Hanya Rima yang ia beritahu. Harumi meletakkan handphonenya tak ingin mengangkat dan membiarkannya mati sendiri. Tetapi Gin tak pantang menyerah ia terus menerus menghubungi Harumi sampai Harumi gerah sendiri dan berpikir keras apa ia harus mengangkatnya atau tidak. Ia hanya takut jika ternyata ketika mengangkat telepon dari Gin, perasaan dihatinya masih ada dan membuat hatinya kembali sakit. “Halo,” sapa Harumi datar. “Harumi, ini aku … Gin,” terdengar suara bariton yang dalam yang dulu selalu membuat Harumi meleleh jika mendengarnya. “Ya, aku tahu. Ada apa mas?” tanya Harumi tenang seolah tak ada hubungan diantara mereka. Mendengar suara Harumi yang terdengar tenang dan tanpa emosi membuat Gin menghela nafas panjang. Ia sedikit terkejut melihat reaksi Harumi yang tenang, karena selama 5 tahun pernikahan mereka Harumi pasti akan menaikan nada suaranya jika ia marah pada Gin. Hal ini membuat Gin bertanya-tanya apakah Harumi masih marah padanya atau tidak. “Aku ingin mengajakmu bertemu, kapan kamu punya waktu?” tanya Gin berusaha santai. “Oh, bertemu untuk apa? Apa soal perceraian kita,kah?” tanya Harumi berusaha tenang, walau ada rasa tak enak di hatinya saat mengucapkan kata perceraian. “Hanya itukah yang kamu pikirkan saat berbicara denganku? Apa kamu tak berpikir ada hal lain yang bisa kita bicarakan?” tanya Gin sedikit gusar dengan celetukan Harumi. “Aku minta maaf, aku pikir mas Gin menghubungiku karena akan membahas perceraian kita.” “Aku menghubungimu bukan untuk soal itu, jika kamu ada waktu aku ingin bertemu denganmu besok malam sepulang kerja! Aku ingin membahas soal Mami sama kamu! Kabari aku dimana tempat yang nyaman untukmu bertemu!” ucap Gin dengan suara tegas, seolah tak memberikan pilihan pada Harumi untuk menolak. Terdengar suara desahan panjang dari ujung sana, Harumi hanya diam sesaat dan memikirkan apakah ia menolak atau menerima ajakan pertemuan dengan Gin. Sejak hidupnya menjadi sulit, Harumi harus memikirkan semua tindakannya berulang kali, Ia tengah tak punya waktu untuk kembali jatuh karena ia sedang di titik nadir. Akhirnya ia memutuskan untuk mengiyakan keinginan Gin, toh pada akhirnya mereka memang harus bertemu selain membahas soal Rima, agar masalah diantara mereka cepat selesai. “Baiklah, kita bertemu di cafe di rumah sakit dimana mami dirawat saja,” jawab Harumi perlahan sebelum ia segera berpamitan dan memutuskan komunikasinya dengan sang suami. Harumi kembali menghempaskan tubuhnya di ranjang mencoba mencerna apa yang ia rasa setelah ia menerima telepon dari Gin, ternyata perasaannya biasa saja dan hal itu membuatnya tersenyum lega. *** Gin tampak tertegun ketika ia melihat sosok yang ia kenal tengah berjalan ke arahnya dari jauh. Ia benar -benar tak menyangka tampilan Harumi saat ini. Wajahnya terlihat tirus, rambutnya sangat panjang seperti tak tersentuh salon dan berpakain biasa tanpa merk mengenakan sepatu flat shoes dan membawa tas besar. Wajahnya terlihat lebih murung tetapi juga ia terlihat lebih cantik. Tak ada lagi wajah ceria disana. Tak ada lagi penampilan perempuan yang bergaya modis dan selalu memikirkan penampilan. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD