Bab 3. Tunggu sampai aku mati

1670 Words
Gin melangkah perlahan memasuki ruang rawat inap yang berada disalah satu rumah sakit. “Assalamualaikum,” sapa Gin ragu saat melihat ruangan kamar inap vip itu tampak penuh dengan orang. “Waalaikumsalam, masuk Gin!” sapa seorang wanita setengah baya yang terlihat cantik di usianya menjelang 60 tahun itu. Gin tersenyum lega karena Rima– sang ibu mertua masih menyapanya ramah dan melambaikan tangannya untuk mendekat. “Perkenalkan ini menantuku, suaminya Harumi,” ucap Rima setelah menerima pelukan dari Gin pada beberapa temannya. “Loh, Harumi kemana? Kok suaminya datang sendirian?” tanya salah satu teman Rima seolah menyadari ketidakhadiran Harumi disana. “Harumi sedang diluar kota, mungkin lusa ia kembali,” ucap Rima segera menutupi ketidakhadiran Harumi sedangkan Gin hanya tersenyum kecut mendengar jawaban Rima. Tak lama kemudian ruangan rawat inap itu pun kembali sepi saat waktu besuk selesai. Melihat mertuanya kembali berbaring dan tampak kelelahan membuat Gin berjalan mendekat dan membawakan minum untuk Rima. “Kok mami sendirian? Kemana yang lain? Bang Dino kemana mam?” tanya Gin membuka pembicaraan. Ia merasa heran karena Rima hanya berada sendirian di kamar rawat inap itu, padahal penyakit yang ia derita bukanlah penyakit ringan. “Mami gak perlu teman kalau siang, lebih baik mereka menemani Mami saat malam, karena mami sekarang lebih sensitif saat sendirian kala malam. Nanti malam akan ada Juniarsih yang akan menemani mami. Dino dan Prily biasanya datang saat malam juga dan menemani mami sampai mami tertidur, tapi kali ini mami suruh Dino saja yang datang kalau ingin menjenguk mami, karena Prily sedang hamil besar. Gin hanya diam saat mendengar Rima menceritakan tentang kakak ipar dan istrinya. Hatinya tergelitik untuk bertanya tentang istrinya - Harumi tetapi entah mengapa lidahnya terasa kelu dan enggan untuk bertanya. “Kamu gak mau nanya kabar Harumi sama mami?” tanya Rima seolah membaca raut wajah Gin. Gin pun tersenyum dan duduk disisi Rima seraya bertanya, “Apakabar Harumi, mam?” tanya Gin pelan sambil merapikan selimut Rima. “Dia baik, kali ini sepertinya ia telah menemukan hidup baru. Walau harus hidup sederhana tetapi sepertinya ia nyaman,” jawab Rima tampak lega saat membicarakan putri bungsunya. Gin hanya diam dan mempertanyakan hidup sederhana versi Harumi yang terkenal manja dan tak pernah mau susah. “Gin,” panggil Rima perlahan. “Ya, Mi?” jawab Gin cepat seolah tersadarkan dari lamunannya. “Kamu masih mau menepati janjimu sama mami, kan? Bahwa kamu tidak akan menceraikan Harumi. Mami mohon jika kamu memang sudah tidak tahan padanya, lakukanlah nanti setelah mami tidak ada.” Gin terdiam. Tiba-tiba dibenaknya terlintas kejadian hampir satu tahun yang lalu disaat Ia dan Harumi datang untuk memberitahu bahwa mereka berniat untuk bercerai. Tentu saja Harumi langsung menceritakan tentang perselingkuhan Gin dan Bianca pada sang ibu. Melihat pertengkaran anak dan menantunya membuat Rima tak mampu menahan perasaannya sehingga ia jatuh pingsan. “Keterlaluan kalian berdua! Jika terjadi apa-apa sama mami, itu pasti karena kalian berdua!” bentak Dino yang juga kakak Harumi. Pria itu marah besar karena ia baru mengetahui bahwa Rima sang ibu ternyata sakit keras dengan stadium lanjut, dan disaat yang bersamaan sang adik juga bermasalah dengan pernikahannya. Dimarahi Dino, Harumi hanya bisa menangis sedih. Gin pun merasa menyesal karena tak menyadari bahwa saat ini ibu mertuanya itu sakit keras, dan ia datang dengan membawa masalah yang membuatnya semakin sakit. Tentu saja sebagai orang tua Rima tak ingin ada anaknya yang bercerai, sehingga ketika ia sadar ia merasa marah pada Harumi dan Gin dan mengultimatum mereka berdua. “Selama mami hidup, tidak akan ada perceraian di dalam rumah tangga anak-anak mami! Lakukan itu setelah mami mati! Ingat itu! Bersabarlah, karena itu tak lama lagi, bukan?!” Gin hanya bisa menghela nafas sesaat ketika teringat kembali ucapan sang ibu mertua. Ucapan Rima membuat Gin segera mengambil jari jemari tangan Rima dan menatapnya dalam. “Mami bicara apa sih? Mami akan selalu panjang umur … jangan bicara seperti itu lagi,” ucap Gin merasa sedih saat mendengar ucapan sang Rima. Perempuan yang tengah ia genggam tangannya begitu Gin hormati. Ia kadang menyesalkan mengapa Harumi tak seperti sang ibu – Rima yang cantik, tangguh dan selalu tenang menghadapi apapun. Ditinggal sang suami saat anak-anaknya masih kecil, membuat Rima menjadi perempuan tangguh. Diantara kesibukannya menjadi wanita karir ia tetapi berusaha semaksimal mungkin untuk membesarkan Dino dan Harumi kedua anaknya. Bahkan saat ia sudah pensiun dan seharusnya menikmati masa tuanya, Rima terkena penyakit cancer, walau stadiumnya makin lanjut tetapi semangat hidupnya sangat tinggi. Seperti saat ini, hampir setiap hari ia mendapatkan radiasi, tetapi ia tak pernah mengeluh dan terlihat sangat tenang dan santai. “Mami tahu, kamu kesulitan menghadapi Harumi, tapi mami mohon sama kamu untuk tidak sampai mengucapkan talak pada Harumi sampai mami meninggal dunia. Mami sadar betapa kolokan dan manjanya Harumi, tapi sebagai orang tua, tak akan ada yang tega melihat anaknya sampai bercerai Gin. Mami tahu kamu sudah tidak tahan lagi pada anak mami, tapi mami bilang sama kamu bahwa Harumi sebenarnya anak baik. Ia sangat mengagumi dan mencintaimu Gin sehingga sikapnya menjadi berlebihan. Tolong mami Gin, jangan pernah ceraikan Harumi! Jika kamu memang mau meninggalkannya, tunggu sampai mami mati!” ucap Rima berkata begitu tenang tetapi wajahnya basah karena berlinang air mata ketika ia kembali memanggil Gin tanpa kehadiran Harumi untuk membujuknya agar membatalkan niatnya untuk menceraikan Harumi. Orang tua manapun pasti akan marah jika mendengar anaknya diselingkuhi oleh pasangannya. Tetapi entah apa yang ada dipikiran Rima, ia masih memohon agar Gin kembali bersama Harumi. “Mami rasa perasaanmu pada Bianca hanya pelampiasan saja Gin, karena sikap Harumi yang membuatmu pusing. Tapi mami yakin kamu dan Harumi masih saling mencintai, apalagi Harumi. Bersabarlah pada Harumi, Gin.” “Mi, tetapi …,” “Apakah kamu benar-benar jatuh cinta pada Bianca, Gin? Tak kasihankah kamu pada Harumi yang hatinya kamu sakiti saat ini?” tanya Rima penuh mohon. Gin menundukan kepalanya saat kenangan itu kembali melintas di kepalanya. Bagaimana ia bisa tega untuk tidak mengabulkan permintaan perempuan yang ia sayangi seperti ibunya sendiri, apalagi saat ini Rima tengah sakit keras. Hal ini yang membuat Gin tetap mempertahankan rumah tangganya dengan Harumi sampai detik ini. Demi Rima yang tengah sekarat dan tak ingin melihat perceraian sang anak sampai ia menutup mata. Perasaannya pada Harumi dulu masih terasa dihatinya, cinta itu masih ada hanya saja ia sudah tak tahan dengan semua pertengkaran yang tiada henti, curiga yang terus menerus dan akhirnya bom waktu itu meledak. Gin rasanya ingin melepaskan Harumi untuk mencari kebahagiaannya yang lain karena tak sanggup menghadapi sikap toksik Harumi. Gin menghela nafas panjang, hampir 6 bulan ini ia sering mengunjungi Rima karena kondisinya yang semakin menurun, tetapi ia tidak pernah menanyakan soal Harumi. Sejak Rima meminta Gin dan Harumi tetap bersama selama ia masih hidup, disaat itu pula Gin tak pernah lagi bertemu dengan Harumi. Ia sempat mencarinya dan bertanya kemana pun, tetapi hanya Rima yang tahu jawabannya. “Mami yang suruh dia pergi Gin, biarkan ia pergi untuk menyembuhkan luka di hatinya. Selain itu mami suruh dia pergi agar ia bisa tumbuh mandiri dan gak manja seperti sekarang ini. Mami bilang sama dia, kalau mami gak ada siapa lagi yang bisa menolongnya selain dirinya sendiri. Dino akan sibuk dengan keluarganya sendiri, kamu pun akan pergi meninggalkan Harumi, sedangkan kamu tahu betapa manja dan ringkihnya Harumi. Biarkan dia pergi Gin …,” ucap Rima ketika Gin memberitahunya bahwa Harumi membuat ulah lagi dengan kabur dari rumah. Disaat itu Gin langsung merasa setuju, sekaligus ia ingin tahu berapa lama Harumi bisa bertahan dengan keangkuhannya untuk meninggalkan Gin dan rumah besar mereka. Perempuan itu sangat manja dan kolokan, untuk Gin ia tak merasa yakin bahwa Harumi bisa bertahan di dunia yang keras. Tetapi hampir satu tahun berlalu, jika bukan pertanyaan Rima apakah Gin ingin mengetahui kabar Harumi atau tidak, mungkin ia tidak akan menanyakan tentang Harumi. Walau begitu, Gin masih terus menafkahi Harumi dengan memberikan uang dan mentransfer nya lalu memberitahu Harumi, tetapi ia tak pernah mendapatkan balasan dan Gin pun tak peduli. “Gin,” panggil Rima perlahan. “Ya, mi?” “Boleh mami minta tolong sama kamu dan Harumi?” tanya Rima perlahan. “Mau minta tolong apa, Mi?” tanya Gin sedikit takut ketika nama Harumi juga disebut. “5 hari lagi mami keluar dari rumah sakit, setelah rangkaian kemo ini selesai. Bolehkah mami tinggal dengan kalian? Jika mami kembali ke Bandung rasanya lelah sekali. Apalagi jika harus berangkat untuk check up ke Jakarta. Rumah kalian dekat dengan rumah sakit ini bukan? Mami numpang boleh? Sekalian mami ingin menghabiskan waktu bersama Harumi. Biar dia gak kaget kalau Mami pergi,” pinta Rima dengan pandangan memohon pada Gin. Gin terdiam sesaat lalu segera menganggukan kepala dan tersenyum pada Rima. “Tentu saja boleh, mi! Nanti Gin suruh orang untuk bersihkan rumah dan ruangan untuk mami.” “Benarkah?” tanya Rima dengan pandangan berbinar dan raut wajah yang begitu senang. Gin hanya tersenyum dan mengangguk pasti, walau di dalam hatinya ia merasa sangat kacau. Kini rumah itu seperti tak ada penghuninya. Hanya Gin yang tinggal di sana tanpa Harumi, tetapi sering kali ia meninggalkan rumah itu cukup lama dan tinggal di apartemen. Apalagi rumah itu adalah pemberian Rima sebagai hadiah pernikahan Gin dan Harumi. Bahkan sertifikatnya pun atas nama mereka berdua. “Kalau begitu, kamu bisa bantu mami untuk bujuk Harumi untuk pulang? Mami sudah coba membujuknya tetapi tak berhasil, mungkin denganmu akan berbeda. Harumi itu sebenarnya sangat patuh padamu Gin,” pinta Rima lagi. Gin hanya memalingkan wajahnya sesaat keluar jendela sesaat. Ia sedikit mencibir saat mendengar Harumi patuh padanya. Apanya yang patuh? Rasanya dulu setiap mereka bertemu selalu bertengkar dan Harumi selalu mempertanyakan permintaan Gin. Tapi lagi-lagi dihadapan Rima, ia tak bisa menolak. Bagaimana ia bisa menolak permintaan seorang ibu yang ingin menghabiskan sisa waktu terakhirnya bersama sang anak, walaupun anak itu egois, picik, cemburuan,posesif, dan boros seperti Harumi. “Berikan saja nomor Harumi yang baru padaku, mi. Biar nanti aku yang mencoba untuk membujuknya kembali,” ucap Gin lembut dan kembali tersenyum pada Rima. Melihat senyuman Gin, Rima tampak tersenyum lega dan begitu berterimakasih pada Gin. Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD