Masih terdengar tangisan yang menyayat hati dari sudut gudang kecil di salah satu toko di Myongdong. Sama seperti layaknya gudang pada umumnya, di ruangan itu pun terdapat begitu banyak barang dan kardus-kardus yang tersusun dengan rapi. Namun, itu dulu sebelum peristiwa semalam menghancurkannya.
Ya, setelah Han Tae memperkosa si pemilik toko dengan tak manusiawi, nampaklah keadaan gudang itu jadi sedikit berantakan. Barang-barang berserakan di lantai. Sementara Seo Han menangis tersedu di sudut ruangan.
Tak pernah sekalipun Seo Han berpikir hidupnya akan jadi sehina ini hanya karena mengizinkan seorang pria ikut dalam winter camp lima tahun lalu. Akibat kesalahan kecilnya waktu itu, kini ia kembali menerima pelecehan sexsual dari pria yang sama. Pria pernah menghancurkan hidupnya beberapa tahun silam.
Oh Seo Han menangis makin menjadi-jadi, ketika seluruh kejadian di masa lalu merotasi kembali di dalam pikirannya. Sungguh ia tak pernah menyangka pria bermarga Han itu akan kembali setelah mengacaukan seluruh tatanan kehidupannya. Entah apa salahnya pada Han Tae. Seingatnya, ia bahkan tak mengenal Han Tae ataupun teman-teman pria itu sebelum acara winter camp waktu itu.
Tadinya ia berpikir setelah berkorban begitu banyak, maka hidupnya bisa kembali normal, tapi ternyata semua tidak benar. Kesalahannya menerima bantuan dari Han Tae kala itu membawa petaka besar dalam hidup Seo Han. Seolah tak ada jalan keluar dari lingkaran persahabatan empat sekawan itu, Seo Han pun hanya bisa pasrah ketika menjadi bulan-bulanan mereka.
Seo Han masih mematut diri di sudut ruangan dengan derai air mata yang tak mau berhenti. Seo Han baru saja tersadar dari pingsannya akibat Han Tae menikmati tubuhnya dengan sangat kasar dan tak berjeda.
Wanita itu akhirnya bisa membuka mata, meski sedikit kesulitan sebab kedua netranya membengkak dan sembab. Tubuh Seo Han bahkan masih telanjang seutuhnya dengan luka memar di mana-mana, bibirnya juga bengkak, dan bagian kewanitaannya yang terasa teramat perih.
Merasakan sakit di sekujur tubuhnya, membuat Seo Han enggan untuk bangkit. Seluruh luka lebam yang terpahat hampir di setiap jengkal badannya membuat Seo Han hatinya teriris, sakit.
Sesaat setelah wanita itu menenangkn diri, Seo Han pun mencoba tetap tegar. Ia berusaha bangkit dan memakai salah satu stock pakaian dalam tokonya, sebab seluruh pakaiannya telah robek dan hancur tak bisa digunakan lagi.
Merasa penampilannya telah rapi, Seo Han mencoba untuk melangkah keluar, seluruh tubuhnya terasa lengket, menyatu dengan aroma kemaksiatan dari Han Tae yang membuatnya merasa jijik dengan dirinya sendiri.
Ia pun perlahan melangkahkan kakinya, meski dengan sedikit terseok karena perih yang melanda selangkangannya.
Namun, saat tangannya mencapai gagang pintu, Seo Han kembali terpekur, terjerembab di ubin lantai, sebab kenyataan yang ia terima mungkin akan lebih buruk dari semalam. Seo Han sudah tak bisa lari. Han Tae mengunci di gudang, air matanya mengucur semakin deras. Eantah apa yang dipikirkan pria itu hingga begitu tega menyiksanya seperti ini.
"Kenapa, kalian menyiksaku?" isaknya sambil duduk menaikkan kedua lututnya dan menangis sekencang-kencangnya membenamkan wajah di sana. "Apa salahku pada kalian? Kenapa kalian lakukan ini?"
Tubuh Seo Han masih gemetar dengan wajah kacau dipenuhi derai air mata ketika didengarnya suara gagang pintu yang diputar. Seo Han pun segera bangkit berdiri. Mendadak ketakutan menderanya. Seo Han sudah tahu yang datang padanya hari ini pastilah Han Tae dan ia takut disiksa kembali. Walaupun ia tahu harapannya akan sia-sia, tetapi Seo Han tetap saja berharap bahwa kali ini Han Tae tak akan menyakitinya lagi.
Seo Han mencoba melangkah mundur menjauh dari pintu, wanita itu ingin berlari menghindari Han Tae meski ia tahu semua itu sia-sia. Tak ada jalan baginya untuk kabur. Selain bersikap pasrah dan tetap mengikuti keinginan Han Tae maka tak ada kesempatan lain yang bisa membuatnya selamat.
"Oh, kau sudah bangun. Baguslah." Seo Han makin bergerak menjauh, masuk ke dalam gudang lebih jauh lagi hingga dirinya tersudut di pojok ruangan.
Sementara Han Tae terkekeh senang dengan senyum iblis menghiasi wajahnya. "Kau mau menghindar dari siapa? Apa kau pikir bisa lolos dariku?" Pemuda itu menyeringai menatap Seo Han yang gemetar. "Kemarilah, ayo ikut denganku." Dilihatnya Seo Han menggeleng lemah dan itu membuatnya geram.
"Pergilah, kumohon," lirih wanita itu dengan tubuh gemetar dan derai air mata di wajahnya. Penampilannya sungguh sangat memprihatinkan.
"Jangan coba-coba mengusirku! Sekarang kemarilah atau aku akan menyeretmu!" hardik Han Tae semakin menunjukkan sisi iblisnya.
Akhinya dengan ragu-ragu Seo Han melangkahkan kakinya mendekat ke tempat Han Tae. Sementara di sana Han Tae masih mempertahankan senyum iblisnya. Pria itu bahkan menyeringai tipis kala melihat cara jalan Seo Han yang tertatih. Sejenak ia mengusap birainya sendiri, teringat bagaimana nikmatnya percintaannya dengan Seo Han semalam. Mendadak nafsu bejatnya muncul kembali membangkitkan libidonya.
Namun, kali ini Han Tae berusaha menekan birahinya. Toh, wanita itu akan jadi b***k di rumahnya, maka itu berarti ia akan bisa menikmati wanita itu kapanpun ia mau.
"Ayo, cepatlah. Kau lelet sekali!" Han Tae menarik tangan kiri Seo Han dan menyeretnya dengan sangat kasar, tak peduli jika wanita itu terus memohon agar diizinkan berjalan lebih pelan sebab daerah intinya masih sakit dan perih sekali.
Namun, sekali lagi Han Tae tak mengindahkannya. Ia terus menyeret Seo Han hingga keparkiran. Tak peduli walau ada beberapa pasang mata yang memerhatikan mereka. Han Tae membuka pintu mobilnya, kemudian mendorong tubuh Seo Han hingga masuk dengan kondisi terjerembab. Kepala wanita itu bahkan sempat terantuk badan mobil, sakit sekali.
Namun, sekali lagi Han Tae membunuh rasa kemanusiaannya. Peduli setan dengan itu, karena itulah yang memang diinginkan seorang Han Tae. Ia akan tetap menyiksanya apa pun yang terjadi pada wanita itu.
"K-- kita ... mau ke mana ...?" tanya Seo Han gemetar. Sungguh ia benar-benar ketakutan.
"Diam dan ikut saja, baumu menjijikan! Harusnya setelah bangun tadi kau langsung mandi. Dasar jalang!" desis Han Tae, lalu menbanting setir kemudi membawa mobilnya bergerak meninggalkan Myongdong menuju tempat yang sudah ia siapkan untuk menyekap Oh Seo Han.
Pria itu menyalahkan Seo Han sebab tidak segera membersihkan diri, padahal ia sendiri yang menyekap Seo Han di dalam gudang. Jika saja ia sedikit memberinya ruang, maka Seo Han sendiri pun tak ingin membiarkan tubuhnya lengket berbalur lendir dari persetubuhan mereka semalam. Itu menjijikan dan membuatnya ingin muntah.
Merasa tak ada lagi yang bisa ia lakukan, Seo Han pun hanya pasrah dan tak berani menanyakan ke mana Han Tae akan membawanya. Sampai selang satu jam perjalanan, akhirnya sekarang mobil itu mulai merapat ke salah satu daerah di kawasan Gangnam. Mobil Han Tae, masuk ke salah satu gedung dengan gerbangnya yang lusuh tak terawat sama sekali.
Han Tae pun mengambil remote kontrol dari dasboard mobilnya, lalu membuka gerbang dengan remote di tangannya. Sesudahnya mobil itu masuk ke halaman rumah megah itu. Namun, sayang sekali tak terawat hingga tampak begitu kotor, hingga jangankan manusia bahkan mungkin tikus pun enggan singgah di sana.
Sementara Han Tae mematikan mesin kendarannya, di sisinya Seo Han masih terdiam, menunduk dengan rasa takut. Kecerdasan otaknya mulai mengambil satu kesimpulan bahwa di sinilah hidupnya akan berakhir. Ya, melihat kondisi rumah yang seperti itu saja ia sudah cukup tahu bahwa dirinyalah yang harus kerja rodi membuat rumah itu layak untuk ditempati.
Setelah ditelantarkan orang tuanya, dan mendekam di penjara selama lima tahun lamanya, kini rumah inilah yang akan jadi penjara untuk seumur hidupnya. Tentunya dengan siksaan Han Tae yang akan mengisi hari-harinya. Hatinya meratap sakit. Bahkan hanya dengan membayangkannya saja, ia seakan sudah kehilangan nyawa, rasanya ingin mati saja.
Berada di tempat terpencil seperti ini, bahkan jika seandainya Han Tae menyiksa dirinya hingga mati sekalipun tak akan ada yang tahu. Apalagi ditambah keluarganya yang sudah melupakannya maka meski ia lenyap dari dunia ini tak akan ada yang peduli. Selain pasrah dan menyerah pada keadaan Han Tae tak punya pilihan lain lagi.
"Masuklah, bersihkan tubuhmu!" perintah Han Tae membuyarkan lamunannya. Seo Han menarik napas pelan agar tak didengan Han Tae, atau pria itu akan marah dan menghanjarnya lagi.
Mungkin inilah saatnya ia menyerah dalam hidupnya. Maka dengan langkah gontai Seo Han masuk ke rumah itu. Meninggalkan presensi Han Tae yang berjalan lambat mengekorinya dari belakang.
"Kamar mandinya ada di sana!" tunjuk Han Tae ke satu arah sebelah kiri, di bawah tangga menuju naik ke lantai dua.
Seo Han juga melihat ada satu bilik di sana dengan sekat sebatas d**a, hingga bisa dilihat dengan jelas apa yang ada di dalamnya. Melihat semua peralatan yang ada di ruangan itu Seo Han sudah bisa menebak jika itu adalah dapurnya.
Perlahan dan tanpa perlawanan Seo Han melangkahkan kakinya ke arah yang ditunjukan Han Tae tadi, sejenak kemudian ia terpaku di depan pintu dapur. Seo Han baru menyadari rumah itu dipenuhi dengan perabotan mewah, sungguh ironi dengan tampilan luarnya, yang malah tampak seperti rumah usang tak berpenghuni.
"KENAPA DIAM!" Bentakan Han Tae mengagetkannya. Seo Han pun kembali melangkah. Namun sebelum itu ia masih bisa membungkuk dan bicara dengan tergagap.
"Ma--maaf." ucapnya kemudian berlari menuju kamar mandi. Sementara itu di tempatnya Han Tae kembali tersenyum iblis.
"Selamat datang di neraka, Oh Seo Han. Di sini kau akan mengerti bagaimana caranya menghargai sebuah nyawa. Kau akan hidup dalam penyesalan untuk seumur hidupmu karena telah menghabisi sahabatku," gumam Han Tae sebelum beranjak naik menuju kamarnya di lantai atas.
*
Setelah mandi Han Tae masih berbaik hati memberikan Seo Han seperangkat pakaian yang bisa menutupi tubuhnya, meski itu sangat seksi hingga ia merasa dirinya seperti tengah di telanjangi. Namun, sekali lagi ia tak bisa membantah.
Han Tae melemparkan cream obat padanya untuk mengobati bengkak dan memar di tubuhn, wajah dan kewanitaannya.
Setelah itu, Han Tae memerintahkannya untuk pergi ke dapur dan membuatkannya sarapan.Sekali lagi, karena tak ingin dianiaya lagi, Seo Han pun langsung melaksanakan tugas itu tanpa banyak bertanya, apalagi banyak protes. Ia segera membuat menu sarapan yang dipesan Han Tae.
Selesai berkutat di dapur, Seo Han pun menata makanan itu di atas meja di ruang makan. Sementara ia sendiri masih mematut diri di sana ketika Han Tae datang dengan berpakaian rapi, siap ke kantor dan duduk di salah satu kursi di ruang makan.
"Apa yang kau lakukan di sana?!" sarkas Han Tae saat melihat Seo Han masih berdiri di dekat meja makan. Padahal wanita itu telah setelah selesai menyajikan sarapan untuknya.
"Ma--af Han Tae, saya akan segera pergi," sahut Seo Han kemudian beranjak dari sana. membiarkan rasa lapar menyerangnya, sebab sejak semalam ia belum makan sama sekali. Ditambah dirinya yang diperkosa habis-habisan sungguh ia benar-benar butuh asupan tenaga.
"Hm. pergilah! Aku tak sudi acara makanku terganggu bau sampah sepertimu!" ketus Han Tae memandang jijik wanita yang bersiap pergi dengan wajah tertunduk. "Tunggu!" jerit pria itu membuat Seo Han menghentikan langkah.
Sebuah buku terlempar padanya dan langsung mengenai kepalany. Seo Han meringis sakit. Ia menahannya dan mengambil buku yang terjatuh setelah meninpuknya barusan.
"Itu daftar pekerjaan yang harus kau lakukan di sini. Aku ingin semuanya beres, jika sampai aku pulang kantor ada perkerjaan yang tertinggal maka kau akan tahu hukuman apa yang akan kau terima. Satu lagi! Mulai sekarang jangan berani-berani menyebut namaku, panggil aku Tuan! Kalau tidak, kau akan tahu apa akibatnta."
Seo Han membungkuk dengan hati yang begitu terluka. "Baik, Tuan," ucapnya sambil pergi dari sana dengan rasa sakit yang mengiris dadanya.
"Aku belum selesai, sialan!" Suara Han Tae kembali menghentikan langkahnya. "Satu lagi, kau jangan pernah bermimpi untuk bisa makan semeja denganku, karena sampah sepertimu hanya layak memakan sampah. Maka kau hanya berhak memakan makanan dari sisa makananku. Kau mengerti!?"
"I--iya ...," jawab Seo Han sambil menunduk patuh.
"Habiskan makanan apa pun yang kusisakan di piringku, aku tidak mau ada makanan yang terbuang dan tidak ada jatah makanan lain untukmu. Paham!?"
"Paham, Tuan."
Han Tae tersenyum iblis, raut wajahnya menggambarkan ekspresi kemenangan. "Bagus, sekarang pergilah. Kembali dalam sepuluh menit, jangan telat, atau kau akan kusiksa?!"
"Baik." Seo Han membungkuk sekali lagi lalu pergi ke halaman belakang.
Selang sepuluh menit berlalu, tepat seperti apa yang dikatakan Han Tae, Seo Han pun kembali ke ruang makan untuk memberisihkan meja makan seperti apa yang tertulis dalam daftar pekerjaan yang harus ia lakukan.
Dilihatnya pemuda itu sudah menyelesaikan acara makannya. Seo Han yang merasa sangat lapar sempat melirik piring yang dipakai Han Tae barusan, ada sisa makanan di sana yang seolah sengaja dibiarkan begitu saja. "Jadi itukah jatah makanku?" gumam Seo Han dalam hatinya. Melihat hal itu sungguh membuat hatinya merasa terhina, seakan diremas-remas, menyesakkan.
"Apa yang kau lihat?!" berang Han Tae manatap tajam ke arah Seo Han yang terperanjat kaget. Tanpa Seo Han sadari Han Tae memerhatikan gerak-geriknya sedari tadi. Maka ia pun segera menggeleng. Sungguh sekarang hatinya langsung di dera ketakutan.
"Ti ... tidak, Tuan, maaf."
"Kau lapar?! Makan ini!" Han Tae melempar piring bekasnya ke arah Seo Han hingga mengenai badan wanita itu dan membuat pakaiannya belepotan makanan.
Seo Han menunduk semakin takut, saking takutnya mengangkat wajah bahkan tanpa ia sadari Han Tae sudah berdiri di sebelahnya dan menjambak rambutnya dengan kasar.
"Akkh!" rintih gadis itu sambil berusaha memegang rambutnya yang seolah akan terlepas dari kulit kepalanya. Rasanya benar-benar sakit.
Namun, perlakuan kasar Han Tae tak berhenti sampai di situ saja. HAn Tae kini mengambil sisa panekuk yang tadi menempel di tubuh Seo Han dan kemudian menjejalkannya di mulut wanita itu.
"Makan ini jalang sialan!" ucapnya, sambil penuh emosi menjejalkan semua makanan itu ke mulut Seo Han yang bengkak dan terluka. Hingga akhirnya sang gadis tersedak, barulah ia melepaskan Seo Han dengan cara mendorongnya kasar hingga kepala wanita itu terantuk meja makan.
"Cih. Kau mengotori pakaianku jalang b******k!" desis Han Tae lalu membuka sabuk celananya. "Rasakan ini!"
Pria itu membalik badan Seo Han, hingga punggungnya menghadap Han Tae, lalu dengan kejamnya Han Tae kembali mencambuk punggung wanita itu.
"Ampun, Tuan. Tolong ampuni saya," rintih wanita itu membuat Han Tae tersenyum puas. Segera ia menurunkan celana bahan dan boxer yang dipakainya, kemudian dengan kasar merobek seluruh pakaian tipis yang dikenakan Seo Han.
Han Tae kembali memasukkan miliknya ke inti Seo Han. Wanita itu berulang kali menjerit sakit. Apalagi ketika Han Tae menghujamnya dengan kasar sabil menjambak rambutnya.
"Tolong hentikan, Tuan ... tolonga ...," rintihnya.
"Hentikan? Bukankah kau menyukai ini? Atau kau butuh sabu, extacy untuk meningkatkan staminamu, hah?!"
"Tidak, Tuan, sakit ... tolong ini sakit sekali ...." Tangis Seo Han keluar tanpa bisa dibendung, tetapi Han Tae tak peduli dan malah menyerangnya makin brutal. Pria itu dengan serta merta menendang kaki Seo Han agar terbuka makin lebar sebelum menyerang bagian belakang wanita itu.
"Akh! Sakit ...," jerit wanita itu tak berdaya. Han Tae tersenyum girang dalam hatinya ketika melihat bagaimana wanita itu tersiksa secara lahir bathin.
Selang beberapa menit pria itu akan mendapatkan pelepasannya. Han Tae pun membalik badan Seo Han dengan kasar lalu mendorongnya hingga jatuh terduduk. Setelah itu, ia mencengkram rahang Seo Han hingga mulut wanita itu terbuka.
Tanpa mempedulikan perasaan Seo Han, laki-laki itu menjejalkan miliknya di mulut Seo Han dan menyemburkan lavanya di sana.
"Telan semua, b***h! Atau aku akan menyiksamu lagi."
Seo Han benar-benar tak punya pilihan. Ia menelan semua yang cairan itu hingga hampir membuatnya tersedak. Han Tae tersenyum puas. Setelah semua beres, pria itu mendorong tubuh Seo Han hingga tersungkur, terpekur di ubin lantai.
"Hei! Jalang sialan, bersihkan kekacauan ini! Dan jangan berbuat ulah!" perintah laki-laki itu sambil menendang punggung Seo Han yang meringkuk kesakitan. Barulah setelah itu ia pergi menuju kamarnya untuk mengganti pakaian dan pergi ke kantornya.
*
Seo Han bangkit perlahan, mengumpulkan sisa-sisa energinya. Ia melangkah ke kamar mandi dan muntah, memuntahkan cairan lengket yang memenuhi mulutnya. Sangat menjijikan. Sambil menangis meratapi nasibnya, Seo Han pun memberishkan dirinya.
Perutnya sangat lapar, tetapi akibat lendir di mulutnya sekarang ia malah merasa jijik untuk mengunyah makanan. Apalagi ia sadar Han Tae juga tak memberinya jatah makan sedikit pun.
Selesai membersihkan badan, Seo Han pergi ke ruang makan di mana kekacauan itu tterjadi. Segera Seo Han membersihkan tempat itu.
Sejenak gerakan wanita itu terhenti ketika melihat sisa panekuk Han Tae yang tergeletak di atas lantai. Ia merasa jijik untuk mengambilnya juga membayangkan untuk menelan makanan itu. Akan tetapi, cacing di perutnya kembali bersuara, maka dengan mengubur semua rasa jijiknya, ia mengambil sisa makanan yang telah kotor itu dan memakannya dengan cepat. Seo Han menggunakan segelas air untuk mendorong makanan menjijikan itu agar masuk ke perutnya dengan cepat.
Setelah itu, kembali Seo Han terduduk lesu dan menangisi keadaan dirinya. "Ibu ... aku rindu padamu, Bu," tangisnya. Tak ingin segera mengambil pekerjaan, Seo Han membiarkan dirinya istirahat sejenak sambil menangis.
Sesaat setelah tenang barulah wanita itu bangkit dan mulai membersihkan rumah besar Han Tae. Seperti yang tertulis di jadwal, tak hanya rumah, kebersihan halaman sekitar rumah juga menjadi tanggung jawabnya. Tak ada satupun tempat yang luput dari tugasnya. Selain itu ia juga diwajibkan untuk membuat makan malam dan makan pagi. Semua harus ia kerjakan tepat waktu atau seperti kata Han Tae, ia akan mati disiksa.
Seharian penuh Seo Han bekerja. Tak sedetikpun ia sempat mengistirahatkan badan. Seluruh tubuhnya yang sakit serasa semakin sakit. Di samping itu ia juga merasa sangat lapar. Seo Han menahan semuanya, sampai pada batas maksimal sel tubuhnya mampu menahan semua itu, akhirnya tanpa ia sadari Seo Han pun terjermbab jatuh tak sadarkan diri.
Seo Han masih terkapar di dapur ketika Han Tae datang dari kantornya. Emosi pria itu langsung naik ke ubun-ubun begitu menyaksikan kobaran api di atas wajan, sementara Seo Han tak ada di sana. Ia tak tahu Seo Han masih tergeletak di lantai dapur sebelum dirinya datang ke dapur itu untuk mematikan api.
Setelah sampai di sana barulah Han Tae tahu kalau Seo Han sedang pingsan. Han Tae pun mematikan api yang membakar wajan terlebih dahulu, barulah setelah itu ia mengambil sebaskom air dan menyiram wajah Seo Han yang tergeletak pucat.
Seo Han mengerjap pelan merasakan air yang mengguyur wajahnya. Kepalanya sangat pening, tetapi ia tetap berusaha membuka mata. Setlah itu, spontan Seo Han berlutut di hadapan Han Tae. Ia gemetar ketakutan. Seluruh perlakuan kasar Han Tae kembali berputar di pikirannya. Maka dengan serta merta ia menyentuh kaki Han Tae dan membungkuk mencium kaki itu.
"Ma--maafkan saya, Tuan, saya belum sempat memasak apa pun untuk Anda, maafkan saya."
"Memasak?!" Han Tae menjambak rambut Seo Han kasar. "Kau hampir membakar dapurku!" teriak laki-laki itu kemudian mendorong tubuh Seo Han dan menginjak jemari wanita itu.
"Dengar, jalang. Jika sekali lagi semua ini terjadi maka kupastikan kau akan mati detik itu juga."
"Ba--baik, Tuan," sahut Seo Han tergagap.
Setelah itu, Han Tae pun pergi meninggalkan Seo Han yang masih berusaha duduk bersimpuh sambil memegangi jemarinya yang serasa remuk akibat diinjak oleh Han Tae tadi.
"Kali ini kau kuampuni, Oh Seo Han. Sekarang masuk ke kamarmu dan jangan keluar. Kau tidak mendapat jatah makanmu kau juga tidak perlu memasak malam ini. Istirahatlah, sebab aku akan menyiksamu besok." Suara Han Tae bagai sebilah mata pedang yang mengiris-iris daging dan hati Seo Han tanpa ampun.
Melukainya tapi tak berdarah. Namun, meski begitu rasanya jauh lebih sakit dari tertancap ribuan anak panah, benar-benar terhina dan menyakitkan.
Seo Han beranjak ke kamarnya sambil tertatih. Kemudian ia merebahkan dirinya di atas kasur tanpa dipan itu. Sekali lagi membiarkan air matanya meluruh jatuh tak terbendung. Entah sampai kapan ia bisa bertahan. Mungkinkah suatu saat nanti dirinya akan bertemu kembali dengan seseorang yang dicarinya.