2. Pizza!

1728 Words
"Abangmu ke mana lagi, Sky?" Diluar dugaan, ternyata Ayah dan Bundanya pulang lebih cepat dari yang Sky bayangkan. Kini Sky sedang disidang oleh kedua orangtuanya. Sky yang ditanyai perihal Langit pun bingung harus menjawab apa. Kalau Sky bilang balapan jelas Ayahnya akan marah besar. Alhasil Sky hanya diam. "Nggak tau, Yah, main kali sama temen-temennya. Temen Abang kan banyak," jawab Sky pelan. "Dari jam berapa, Sky? Ini udah malem loh, jam sebelas gini kok belum pulang juga," sahut Bunda yang baru saja keluar dari dalam kamarnya setelah melepas semua aksesoris yang melekat pada badannya hingga kini hanya menyisakan daster berwarna kunyit yang sudah sedikit buluk saja. Sky bergumam sebentar sebelum kemudian menjawab, "Dari habis magrib kok, Bun." Jawaban itu jelas merupakan sebuah kebohongan, karena pada nyatanya Langit pergi sudah dari siang pulang sekolah tadi. "Nomornya nggak bisa dihubungi. Abangmu itu selalu saja buat orang rumah khawatir. Pasti lagi tawuran kalau enggak ikut balapan-balapan liar!" ujar Ayah. "Tadi tuh Ayah udah feeling Bun, pasti yang ramai-ramai itu temennya si Langit, Ayah juga ada lihat kayak mobil kita tadi sekelabatan," lanjut Ayah sambil terus berusaha menghubungi nomor putra pertamanya itu. "Jangan negatif dulu, bisa saja kan Ayah salah lihat? Jaman sekarang emang banyak anak-anak remaja yang salah pergaulan begitu," ujar Bunda. "Ya Langit contohnya!" Sky diam saja mendengarkan sambil terus berharap-harap cemas. Ke mana sebenarnya Abangnya ini? Kenapa belum pulang juga, mana sekarang punggung Sky mendarat berat. Cowok itu kemudian memilih duduk dan bersandar sambil sedikit memijat-mijat daerah pundaknya berharap rasa sakit pada punggungnya itu menghilang. Bunda yang melihat Sky pun segera menghampiri. "Kamu kenapa?" tanyanya. "Nggak tau, punggung Sky sakit rasanya, kayaknya kecapekan deh," jawab cowok itu. "Capek ya tidur sana, udah nggak usah nungguin Abangmu. Anak itu kalau dibiarin lama-lama suka ngelunjak. Nggak pernah mau dengerin omongan Ayah!" Memang di keluarga ini, Angga itu adalah sosok Ayah yang bisa kalem dan bisa tegas. Emosinya selalu bisa pas terkendali. Angga juga jago menempatkan dirinya sebagai kepala keluarga. Saatnya bercanda ya Angga akan menjadi Ayah yang asik, lalu jika saatnya serius pula Angga akan menjadi sosok Ayah yang keras. Sekarang, melihat kemarahan Angga, Sky jadi takut sendiri. "Yah, kalau Abang pulang nanti jangan dimarahin terus, kasihan tau Abang. Mungkin aja tuh anak butuh healing, sekarang kan udah kelas dua belas, udah masa-masanya sibuk banyak ujian. Mungkin Abang butuh sedikit refreshing," ujar Sky. Meski Sky kadang suka menyebalkan, tetap saja, saudara kembar mana yang mau jika kembarannya kena marah? Antara Sky dan Langit, memang yang sudah sangat kenyang makan omelan ya pasti Langit. Sky juga sering, tapi karena masalah sepele, seperti saat diam-diam nyolong bekal sarapan Ayah contohnya. Sky kena omel pun vibesnya kayak bercanda. Beda dengan Langit, kalau pulang malam apalagi ditambah babak belur, kena omel ya kena omel beneran. Dimarahi dan dibentak-bentak, kadang juga ditampar, tak jarang Sky melihat dengan mata secara langsung, mendengar lebih sering lagi. Kalau sudah selesai acara marah-marahnya, biasanya Sky langsung keluar kamar dan menghampiri kamar Langit, saat itulah Sky selalu mendapati Langit termenung di balkon kamar sambil merokok. Sky tidak pernah menegur, dia hanya memperhatikan dari jauh. "Ayah nggak akan marah kalau Abangmu nggak berulah," kata Angga. Tok, tok, tok. Setelah ketukan itu, pintu terbuka, semua mata secara otomatis langsung tertuju kepada sosok yang baru saja masuk. Gibran Langit Delangga, cowok yang sejak tadi ditunggu-tunggu kepulangannya. Dengan langkah besar, Angga menghampiri putranya itu. Langit mendudukkan kepala, tak berani menatap Angga dan menunjukkan wajah babak belurnya itu. Namun, ada satu yang menarik perhatian. Langit membawa sesuatu di tangannya. Melihat itu, hati Sky menghangat. Langit tidak pernah tidak menolak apa yang dia mau. "Asiik! Pizza titipan gue! Anjir gue kira lo lupa. Huaaa makasih Ab—" "Berhenti Sky!" bentak Angga mengulurkan tangannya agar Sky tak bergerak. "Yah?" Sky meneguk ludahnya susah payah. Tatapan Angga lalu sepenuhnya tertuju kepada Langit yang masih diam. "Dari mana kamu?" tanyanya dengan dingin. "Main," jawab Langit singkat. "Ayah tanya dari mana kamu? Jangan bohong ya, Langit!" Sekarang Langit memilih diam. "Ayah tau kamu habis balapan lagi kan?" Langit masih senantiasa bungkam. "Kenapa menunduk? Lihat Ayah sini. Nggak berani hm? Berantem lagi? Babak belum lagi?" Keluar semua emosi Angga. "Ayah tuh benar-benar nggak habis pikir ya sama kamu, kenapa sih? Ributtt terus kerjaannya, keluyuran terus, balapan terus, apa sih yang kamu cari hah? APA?" Langit sama sekali tidak berani mengeluarkan suara karena tau dirinya salah. "Maaf," hanya itu yang Langit katakan. Ayah mengusap wajahnya kasar. "Coba sini lihat Ayah sekarang," suruhnya. Perlahan Langit mengangkat kepalanya. Dan saat itulah terlihat jelas beberapa luka kemerahan bercampur di sudut mata hingga biru-biru pada tulang pipinya. "Kenapa bisa luka? Itu tangan juga, jatuh?" Langit mengangguk. "Iya." "Jadi balapan?" "Iya, maaf Yah." Ayah menghela napasnya kasar. Kepalanya berputar menatap Sky dan Bunda yang berdiri di belakang sana sambil menatap Langit cemas. "Kamu tuh dari dulu nggak pernah mikirin Ayah sama Bunda yang selalu khawatir. Bisa nggak sih, Bang, cari hobi tuh yang lebih bermanfaat? Yang lebih aman? Balapan kayak gini tuh cuma akan buat kamu sakit sendiri!" "Lihat Sky! Kamu dan dia kembar! Kamu sakit, Sky juga sakit meski nggak ikut terluka secara langsung. Nggak kasihan kamu sama dia hm? Nggak kasihan lihat Sky yang juga harus kesakitan?" tunjuk Ayah kepada Sky. "Maaf, sekali lagi." "Maaf terus nanti diulang lagi! Udah sekarang kamu masuk kamar, dan obati lukamu itu. Kalau sampai kamu mengulang lagi hal kayak gini, Ayah nggak akan segan buat lebih keras sama kamu, Langit. Tau?" Ayah bersungguh-sungguh saat mengucapkan kalimatnya barusan. Masih dengan raut wajah datar yang sama, Langit mengangguk saja agar semua ini cepat selesai. "Iya, Yah." Setelahnya Ayah berbalik badan dan berjalan pergi sambil menggelengkan kepala dan memijat pelipisnya yang terasa pening. Sebelum masuk kamar, Ayah terlebih dahulu melirik Sky dan Bunda sekilas. Bunda yang melihatnya segera membuntuti Ayah. Namun, sebelumnya, Bunda terlebih dahulu menepuk pundak Sky sebanyak dua kali lalu baru benar-benar pergi. Kini hanya tinggal Langit dan Sky berdua. Sky tersenyum untuk Langit, tapi wajah Langit tetap datar. Abangnya itu memang sangat minim ekspresi. Heran! Langit meringis merasakan wajahnya yang berdenyut, cowok itu lalu berjalan untuk semakin masuk ke dalam rumah. Saat melewati Sky, Langit berhenti sejenak. "Makan di kamar gue, buruan!" ujarnya dengan sangat dingin. Kedua bola mata Sky berbinar girang. "SIAP! LAKSANAKAN!" Dua sama yang kontras. **** "Bang, lo mandi apa bertapa dah, lama amat, udah lapar nih perut gue. Cepetan dikit kek mandinya!" Teriakan Sky terdengar jelas di telinga Langit. Tidak tau saja Sky, jika Langit sedang menahan sakit di dalam kamar mandi sekarang. Ada luka yang cukup lumayan pada punggungnya. Luka pukulan benda tumpul yang dia dapat dari lawan saat berantem kalah balapan tadi. Langit meringis di bawah guyuran shower, mata terpejam merasakan punggung yang begitu nyeri kena tusukan-tusukan air yang jatuh dari atasnya. "Sssttt ..." "Abang!! Yuhu, masih lama kah?" Astaga, Sky ini! Langit mengumpat dalam hati, segala macam sumpah serapah dia lontarkan. Kemudian langit memilih untuk mengakhiri acara mandinya. Tak lama, pintu kamar mandi terbuka. Sky nyengir lebar hingga terlihatlah wajah sang Abang yang sudah lebih segar dengan handuk putih yang tersampir di bahunya. "Wih, wih, Abang gue nih bos, senggol dong!" celetuk Sky jenaka. Langit memutar kedua bola matanya—tak terlalu menggubris. "Gwila! Padahal lo keren loh Bang, tapi sayang masih jomblo. Bener-bener nggak guna Bang kegantengan lo kalau masih jomblo kayak gini," ujar Sky lagi. "Kenapa nggak dimakan?" Langit bertanya tanpa niat membalas ucapan Sky membuat Sky berdecak kesal. "Ngobrolnya apa nyambungnya apa! Gue nungguin lo lah Bambang! Ya kali lo masih mandi gue udah makan, yang ada tinggal kardusnya doang nanti," jawab Sky. Setelahnya Langit tak lagi membalas. Dia berjalan menuju lemari. Baru saat itu Sky dapat melihat labam biru keunguan yang menghiasi punggung Abangnya. "Astaga Bang, itu punggung lo?" tanya Sky. Pantas saja tadi Sky juga ikut sakit punggung. "Jangan berisik, ntar Ayah sama Bunda dengar gue kena omel lagi." Sky tidak percaya dengan Langit. "Sakit nggak sih?" Masih saja nanya. "Kenapa? Lo mau coba?" Dengan cepat Sky menggeleng. Terima kasih banyak sebelumnya, tapi demi apapun Sky sama sekali tidak tertarik. Sakit tidak langsung saja rasanya nyut-nyutan, ini lagi pakai segala ditawarin ya sorry Sky menolak dengan lantang. "Nggak pa-pa, lo aja, hehe." Usai mengambil baju yang akan dikenakan. Langit kemudian berjalan menghampiri Sky—masih dengan keadaan t*******g d**a dan bawahan hanya memakai boxer Spiderman. "Obati punggung gue dulu bisa nggak? Tangan gue nggak sampai kalau obati sendiri," pinta Langit kepada Sky. Tanpa banyak omong, kali ini Sky langsung mengiyakan. Cowok itu berdiri untuk mengambil salep sekaligus minyak oles pada laci di nakas Langit. Langit juga telah memutar duduknya jadi memunggungi Sky. Melihat lebam-lebam lebar yang begitu jelas membuat Sky harus meneguk ludahnya susah payah. "Kalau sakit bilang ya bang? Gue nggak jago soalnya," ujar Sky sebelum memulai mengobati luka Langit. "Iya." Baru setelah mengucapkan basmalah. Sky langsung mengoleskan minyak secara tipis pada punggung Langit. Sambil dipijatnya pelan, dengan telaten Sky mengobati luka itu. Ringisan beberapa kali keluar dari bibir Langit. "Sakit ya Bang?" "Dikit." "Lagian kok bisa sih? Lo digebukin siapa dah sampai bisa jadi kayak gini?" tanya Sky mulai kepo seperti Dora. "Orang yang kalah balap sama gue." "Kadang gue heran, orang-orang tuh aneh, kalah balapan aja ribut, apa-apa ribut. Cinta damai gitu nggak bisa apa, Bang?" "Akh!" Langit mengerang kesakitan. "Eh?" "Jangan bacot lo Sky, punggung gue tuh, aw! Udah-udah!" "Yakin?" Langit bangkit dari duduknya. "Bukan sembuh jadi malah tambah sakit yang ada. Udah makan dulu tuh, gue mau ke bawah bikin minum." "Gue air putih aja Bang," titip Sky sambil nyengir. "Hm." Setelah Abangnya pergi, barulah Sky membuka dua box pizza yang Langit bawakan untuknya. Lihatnya saja Sky sudah ngiler duluan. Pasti rasanya sangat enak, sih. Ini juga pizza langganan mereka. Selalu di tempat ini kalau beli. "Selamat makan!" Adik durhaka, Abang yang beli dirinya yang makan, mana nggak ditungguin. Tapi tadi Langit juga sudah mengizinkan sih, tapi ya tetap saja! Ah sudahlah terserah Sky saja. Apapun, kata Langit asal Sky bahagia. Bahkan kalau harus terluka Langit siap asalkan Sky tidak. Kebahagiaan Sky adalah sumber kebahagiaan Langit. Cuek-cuek seperti itu, Langit tetaplah seorang Abang yang selalu ingin ada dan menjaga adiknya. Langit tentu punya cara sendiri untuk membuat Sky senang. Seperti sekarang misal. Alibi Langit saja turun ambil minum, aslinya mah Langit sengaja meninggalkan Sky dengan dua box pizza itu. Pasti nanti balik-balik sudah habis tinggal setengah. Jangan heran, pizza adalah makanan favorit Sky sejak kecil. Hafal diluar kepala Langit kalau soal itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD