7. Tak Berkutik

1351 Words
Nalaya menatap petugas polisi yang tadi membawanya ke sini. Ternyata, Nalaya lupa membawa dompet. Ia bingung harus pulang ke kedai bagaimana. Ponselnya juga sedang hancur terburai. "Kalian berempat antar aku kembali ke kedai." Nalaya memerintah, bukan meminta tolong. Daffa tersenyum seolah mendapatkan kesempatan emas untuk bisa berdua dengan Nalaya. Astaga, otak memang tidak jauh dengan bermain dengan banyak wanita. Akan tetapi, itu tidak akan berlaku untuk Nalaya. Ia akan punya banyak cara untuk membuat play boy kelas kacang panjang itu kapok. "Ayo. Motor aku bagus. Cewek-cewek pasti mendambakan baik motor aku." Daffa dengan sombongnya memamerkan fasilitas miliknya itu. "Naik motor? Ogah! Tadi aku dijemput pakai mobil polisi yang berisik itu. Sekarang antar aku pakai kendaraan yang sama." Nalaya membuat takjub semua petugas yang saat ini sedang beristirahat. "Kalian kenapa? Lihat apa? Atau lagi latihan bernapas?" tanya Nalaya dengan sesuka hati karena merasa tidak nyaman ditatap oleh polisi muda yang ada di ruangan ini. "Hari sudah sore pasti macet. Lebih baik pakai motor saja," bujuk Angga yang tidak mau kalah. "Mana ada. Kalian polisi, pasti bisa cari celah. Atau kalian itu sengaja modus agar aku datang ke tempat ini. Astaga! Kalian sepertinya itu buaya yang tengah kelaparan. Sayang aku bukan umpan yang sehat untuk kalian." Nalaya menatap tajam ke arah mereka berempat secara bergantian. Daffa kini salah tingkah, memang modus sebenarnya karena hari ini dia telah lepas piket. Gadis di depannya rupanya menyadari semua ulahnya. Kini Daffa bingung karena tidak bisa menggunakan mobil dinas jika tidak dalam keadaan bekerja. Tadi pun hasil melobi salah satu temannya yang merupakan sahabat baiknya. "Jadi begini, kalo setelah dipanggil ke kantor kebanyakan pasien akan pulang sendiri. Kita tidak ada kewajiban mengantarkan. Nah, kalo kamu ingin aku antar, tak masalah," kata Daffa yang masih mencari kesempatan dalam kesempitan. Nalaya tampak berpikir sangat keras. Mendadak ada seorang polisi yang keluar dan hendak memakai mobil. Spontanitas, Nalaya langsung mengejar polisi paruh baya itu. Ia akan ikut menumpang sampai kedai jika diizinkan. Tanpa pikir panjang, Nalaya langsung mengejar polisi paruh baya itu. Ia berharap mereka mau memberikan tumpangan. Malas sekali jika harus bersama dengan laki-laki modelan buaya air comberan seperti yang membawanya tadi. Tampang boleh tampan, tetapi kelakuan tidak seimbang. Astaga! "Maaf, Pak, apa Bapak akan lewat Kedai Kopi Sejuta Kenangan?" tanya Nalaya saat berada di belakang polisi itu. "Ini kita mau ke sana, mau ngopi. Ada apa?" tanya polisi paruh baya itu yang bernama Imran. "Pak, kalo boleh saya ikut pulang. Tadi, saat saya dibawa ke sini, saya lupa bawa dompet. Jadi, sulit buat pulang. Lagi pula ini tanggal tua dan saya baru saja apes." Nalaya mengatakan dengan wajah serius. "Oh, kamu kerja di sana juga, ya? Ayolah, biar sekalian saja," kata Pak Imran dengan ramah. Sosok Imran sangat kebapakan di mata Nalaya saat ini. Wajahhnya teduh dan pasti gemar ibadah. Beda dengan sosok polisi muda tadi, wajahnya sangat gersang. Wajah-wajah penuh dosa dan sangat menyebalkan. Daffa merasa saat ini misinya gagal. Ia justru merasa tertantang dengan penolakan gadis yang bernama Nalaya Dewi. Ia menganggap gadis cantik dan manis itu adalah gadis yang luar biasa. Tidak mudah ditaklukan dengan ketampanan dan juga harta. Jiwa ke-play boy-an Daffa meronta-ronta saat ini. "Rasain, dia bukan gadis sembarangan. Lihat aja, dia bawa empat orang buronan dengan keadaan mereka babak belur. Dia sangat istimewa," kata salah satu rekan kerja Daffa dan membuat hati laki-laki tampan itu menciut. Daffaa lantas mengekori Nalaya yang saat ini sudah masuk ke dalam mobil patroli. Rasanya seperti sedang menguntit seorang penjahat saja. Daffa terpaksa harus pergi saat melihat seniornya benar-benar masuk ke dalam kedai kopi itu. Lain waktu masih ada kesempatan, begitu pikirnya. Nalaya langsung masuk ke dalam kedai bersama dua polisi yang mengawalnya. Sontak pemandangan itu menimbulkan banyak tanya bagi banyak orang. Mereka mengira, Nalaya sedang tersandung kasus, oleh karena itu dikawal polisi. Kedua polisi itu duduk di salah satu meja dekat dengan pintu masuk. "Kok ganti?" tanya Antonio yang sedikit takut saat ini. "Apanya?" tanya Nalaya yang tidak paham dengan arah pembicaraan atasannya itu. "Polisinya. Emang apaan lagi yang ganti? Tadi kamu dijemput empat orang polisi muda. Nah, sekarang mereka kembali dan sudah tua." Antonio sedikit kesal dengan Nalaya yang kadang lamban saat menjawab atau paham sesuatu. "Oh, mereka? Mereka jadi tua karena salah tanya sama aku," kelakar Nalaya dan anehnya Antonio percaya. Tepat pukul lima sore dan sudah waktunya Nalaya pulang saat ini. Ia benar-benar lelah dengan hari ini. Beruntung jadwal latihan futsal saat ini kosong. Nalaya bisa langsung pulang dan tidur sampai pagi. Semoga saja cara itu sangat efektif untuk mengembalikan moodnya yang anjlog karena masalah yang menimpanya. "Nay, ada yang pengen ketemu sama kamu. Orangnya gantengnya Masya Allah banget," kata Bita sambil tersenyum lebar syarat akan kekaguman pada orang yang sedang dibahas. "Ketemu aku? Aku ga ada janji temu sore ini. Salah orang kali dia," elak Nalaya yang memamg sedang malas bertemu dengan siapa pun. "Ayolah, Na, dia ganteng banget pokoknya. Ga kaya wajah abang-abang tukang roti yang kemarin itu," bujuk Bita dengan penuh semangat karena berharap Nalaya mau berbaik hati dan memberikan informasi tentang laki-laki tadi. Nalaya berpikir sejenak karena memang tidak tahu siapa yang datang saat ini. Ia sebenarnya sedang tidak baik-baik saja saat ini. Bisa saja mendadak mengamuk jika orang itu tidak jelas. Nalaya akhirnya mengambil tas dari dalam loker dan berjalan keluar dari kedai kopi. "Mana orangnya yang cari aku?" Nalaya melihat di sekitar kedai dan tidak menemukan siapa pun. "I-itu yang lagi duduk," kata Bita sambil menunjuk ke arah sosok laki-laki yang kini menatap ke arahnya. Nalaya mengembuskan napas dengan kasar saat melihat sosok itu. Paling malas bertemu dengan laki-laki yang saat ini sedang berjalan mendekat itu. Diaz, sosok yang ingin bertemu dengan Nalaya saat ini. Diaz tampak bahagia melihat gadis kesayangannya baik-baik saja. "Ponsel kamu kenapa? Ga bisa aku hubungi?" tanya Diaz dengan lembut meski setelahnya mereka akan bertengkat mulut seperti biasanya. "Tuh 'kan suaranya aja lembut banget. Udah tampan, suaranya lembut pula. Semoga bukan dari kalangan lelembut," kata Bita menginterupsi dan membuat Diaz menoleh ke arah gadis yang berdiri di samping kanan Nalaya. Nalaya pun ikut menoleh dan menahan tawanya. Bita tampak sangat mengagumi Diaz. Ia tidak tahu jika dalam hati laki-laki yang kini menghawatirkan Nalaya itu hanya ada nama Ifa. Tidak ada gadis lain yang berhasil mendobrak hati Diaz hingga saat ini. "La, bisa ga kita bicara sebentar? Aku ada perlu." Diaz saat ini sedang tidak mau diganggu oleh siapa pun. "Bisa saja, tapi ga lebih dari tiga puluh menit. Aku capek." Nalaya mengatakan hal yang sebenarnya. "Maaf, ya, Bita, aku ada perlu sama dia. Eh, salah kebalik. Dia ada perlu sama aku," kata Nalaya yang paham jika Diaz tidak mau diganggu saat ini. Bita mengembuskan napas kasar. Selalu saja seperti ini. Nalaya selalu dikelilingi laki-laki tampan. Meski demikian, gadis tomboi itu memilih men-jomlo. Bita kadang iri pada kecantikan paras Nalaya. Gadis itu memang punya segala pesona yang menarik lawan jenisnya. Sayang, Nalaya sama sekali enggan membalas perasaan mereka. Nalaya lebih sering menghabiskan waktunya dengan bekerja dan juga menyalurkan hobi futsal. "La, ponsel kamu kenapa? Aku hubungi sejak siang tadi dan sepertinya ponsel kamu mati." Diaz berusaha sabar saat ini. Mereka sudah berada di dalam mobil milik Diaz. Sebuah mobil sport berwarna hitam yang bisa ditaksir harganya di atas satu milyar itu memang menarik perhatian banyak orang. Pengunjung kedai bahkan menatap takjub pada mobil yang kini sudah siap membelah jalanan ibu kota ini. Nalaya membuka tas dan menunjukkan ponselnya yang hancur berkeping-keping. "Ini jatuh atau kamu banting?" tanya Diaz yang sangat terkejut saat melihat kondisi mengenaskan dari ponsel nahas itu. "Dibanting sama penjahat." Nalaya mengatakan hal yang sebenarnya. "Udah, jangan bahas ponsel aku. Tujuan kamu datang cari aku tuh apa?" tanya Nalaya karena tak ingin basa-basi lagi dengan Diaz. "Kamu selalu seperti itu. Langsung pada topik permasalahan. Oke, aku akan langsung bicara." Diaz tetap fokus menyetir mobil miliknya itu. "Kakek ingin kamu membantu mengurus perusahaan. Aku saat ini pontang-panting mengurus semuanya. Kakek sudah tua, La. Beliau sudah tidak sanggup untuk bekerja," lanjut Diaz dengan hati-hati. Nalaya mengembuskan napas dengan kasar saat ini. Ia sudah menduga jika Diaz meminta tolong hal itu. Nalaya mengembuskan napas dengan kasar. Ia ingin bebas sampai waktu yang tidak bisa ditentukan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD