6. Nalaya Harus Ke Kantor Polisi

1309 Words
"Ga lihat aku lagi makan?" tanya Nalaya tanpa menoleh sedikit pun. Antonio hanya mengganggu saja acara makan siang Nalaya. Rasa lapar akan membangkitkan emosi gadis cantik itu. Jiwa bar-bar Nalaya pasti akan meronta-ronta ketika lapar. Lihat saja nanti apa yang akan terjadi. "Saudara Nalaya, Anda harus datang ke kantor polisi sekarang juga." Petugas dari kepolisian itu langsung mengatakan dengan tegas. "Aku lagi makan." Nalaya menjawab dengan santai tanpa menoleh sedikit pun. Pada umumnya, orang akan takut jika didatangi oleh polisi. Lain halnya dengan Nalaya yang tampak santai saja. Ia sama sekali tidak takut dan masih melanjutkan acara makan siang. Dua sahabatnya sudah ketakutan sambil terus menatap sosok polisi tampan itu. "Kita ga bisa nunggu lama." Daffa akhirnya membuka suara. "Ga bisa nunggu, ya, udan tinggal aja." Nalaya meminum air putih di depannya hingga tandas setelah selesai makan. Empat orang anggota dari kepolisian itu merasa takjub dengan tingkah polah gadis muda di depannya itu. Daffa-lah yang sengaja datang ke tempat ini berbekal seragam yang dipakai Nalaya. Ia tidak tahu nama gadis yang membawa empat orang buronan kasus p********n pada beberapa wanita. Bersyukur, Antonio mau diajak kerja sama. "Kenapa masih di sini? Kalian mau makan?" tanya Nalaya tak acuh pada keempat polisi. "Kami semua tunggu kamu agar datang ke kantor polisi," kata salah satu dari mereka yang mungkin bertindak sebagai jubir karena yang lainnya tidak bisa berbicara dengan bahasa manusia. "Katanya ga bisa nunggu, kok kalian masih di sini? Mau heran, tapi kalian polisi yang katanya disegani masyarakat. Sebenarnya masyarakat tidak segan, hanya saja malas melihat wajah kalian. Wajah penuh dosa dan tidak tampan." Astaga, Nalaya justru sedang mengomel saat ini. Daffa mengembuskan napas kasar. Cinta panda pandangan pertama yang tadi baru saja terjadi sekarang buyar. Sepertinya gadis di depannya bukan sosok idaman. Gadis yang sangat aneh dan pemberontak. Akan tetapi, pesona Nalaya sulit ditampik. "Sudah selesai? Kamu mau jalan sendiri atau saya hadiahi timah panaa pada kaki?" tanya Daffa yang mulai habis kesabaran pada Nalaya. "Kayak aku penjahat kelas kakap saja. Aku ini gadis baik-baik. Ada apa di kantor polisi? Emangnya ada konser dangdutan apa sampai aku harus datang segala," kata Nalaya sambil bersungut-sungut, tetapi tetap berjalan mengikuti langkah empat orang petugas itu. Daffa tersenyum kecil, gadis di depannya sangat unik dan menarik. Nalaya hanya akan dimintai keterangan saja terkait empat orang yang tertangkap tadi. Ia langsung pergi dari kantor polisi tanpa mengatakan apa pun tadi. Padahal Nalaya harus menjelaskan banyak hal. "Nama kamu siapa?" tanya Daffa saat mereka duduk di mobil dan bersebelahan. "Kenapa tanya-tanya? Aku malah jadi curiga." Nalaya menanggapi datar pertanyaan yang dianggap tidak penting itu. Daffa tersenyum kecil dan ketiga rekan kerjanya menahan tawa. Baru kali ini ada gadis yang seolah tidak terpengaruh dengan ketampanan Daffa. Gadis yang kini duduk diapit dua polisi itu tidak terpengaruh sama sekali. Ia bahkan hanya diam dan memasang wajah sangar. Mereka berlima sudah sampai di kantor polisi. Nalaya langsung dimintai keterangan oleh petugas. Sebab, keempat buronan tadi mengaku dianiaya oleh Nalaya. Sialan memang, mereka rupanya cari mati. "Menurut informasi dari pelaku, Anda, telah melakukan penganiayaan." Penyidik tetap mencecar pertanyaan pada Nalaya. "Pelaku yang mana? Sini biar aku tampol mulutnya. Penganiayaan bagaimana? Mereka hampir saja m*****i saya! Kalian itu paham tidak kalo saya hanya membela diri?" Nalaya tidak terima dengan pertanyaan itu. "Bukan masalah paham dan tidak paham. Hanya tinggal menjawab saja pertanyaan dari saya." Petugas mulai kehabisan stok kesabaran saat ini. Nalaya mengembuskan napas dengan kasar. Rupanya hari ini hari penuh dengan kesialan. Penyebabnya adalah sosok Tobi. Lihat saja, Nalaya pasti akan membalas semua perbuatan Tobi setelah masalah ini selesai. "Berarti memang Anda d***u. Dari jawaban saya sudah bisa disimpulkan saya tidak melakukan penganiayaan. Saya membela diri. Suka heran sama polisi, kalian kenapa bertanya selalu muter-muter tidak jelas," kata Nalaya yang saat ini berusaha menahan emosinya. "Lalu, Anda mengapa menyerang mereka?" tanya salah satu penyidik yang duduk tak jauh dari penyidik cerewet yang gemar bertanya pada Nalaya. "Gini loh Pak, 'kan ada pepatah tuh yang bunyinya, malu bertanya sesat di jalan. Nah, Bapak kebanyakan tanya kok kaya jadi gini bunyi pepatahnya, kebanyakan bertanya pertanda d***u sudah mendarah daging. Anda tipe manusia setengah d***u atau sudah totalitas dalam kedunguan?" Nalaya membuat dua penyidik itu kena mental sekaligus. Satu pertanyaan bisa dibuat banyak varian. Entah saking terlalu kreatif atau memang mereka sangat kurang pekerjaan. Tidak hanya itu, Nalaya juga dibuat kesal pada mata milik polisi muda itu. Mata nakal yang seolah tidak pernah melihat lawan jenis. Baru kali ini ada penyidik yang sakit kepala karena kena mental. Mereka salah mencari lawan. Tidak hanya itu, Nalaya menolak takut. Gadis pemberani dan sangat menakjubkan, setidaknya itu yang terekam dalam otak Angga. "Baiklah, sesi ini kita akhiri. Mohon kerja samanya, jika suatu ketika kami datang mencari Anda lagi," kata Angga sambil mengulurkan tangan untuk berjabat tangan dengan Nalaya. "Ngapain jabat tangan? Lebaran masih jauh." Nalaya tidak menanggapi ajakan jabat tangan itu. "Aku mau ketemu sama empat orang tadi," kata Nalaya sambil menatap tajam ke arah Angga. "Oh, tidak bisa. Mereka sedang istirahat di klinik. Dua dari mereka mabuk kendaraan karena Anda mengemudikan angkutan umum itu dengan ugal-ugalan," kata Daffa mencoba memberikan alasan. "Istirahat? Ini aku datang ke kantor polisi atau penginapan? Enak banget penjahat kelamin dikasih waktu buat istirahat. Antarkan aku atau aku cari sendiri mereka?" tanya Nalaya sambil berjalan seolah menjari sel tempat keempat orang buronan itu tinggal. Nalaya akhirnya masuk ke dalam dan mencari sendiri. Rupanya mereka berempat ada bersama dengan yang lainnya. Entahlah, apa yang terjadi pada mereka berempat. Wajah mereka tampak lebih parah dari saat masuk tadi. "Ini bukan taman kota, Anda tidak diizinkan untuk masuk." Salah satu petugas menghalau Nalaya dengan keras. "Anda sehat? Ini jelas penjara. Anda sepertinya belum sadar dari tidur," kata Nalaya tak acuh dan langsung mendekati keempat orang penjahat kelamin itu. "Heh! Siapa yang bilang aku menganiaya kalian berempat? Kalo ga ada yang ngaku biar aku hajar sekalian. Supaya kalian berempat tahu rasanya dianiaya yang sebenarnya," kata Nalaya dengan tegas dan membuat keempat orang itu ketakutan saat ini. Semua narapidana menatap ke arah Nalaya dengan tatapan memuja. Seperti ada bidadari yang baru saja turun dari angkutan umum. Seperti itulah gambaran visual Nalaya di mata mereka. Sebab, mereka manusia biasa, jadi rasanya sangat mustahil bisa melihat bidadari yang turun dari kayangan secara langsung. "Mbak siapa?" tanya salah satu narapidana yang baru saja menghajar keempat orang yang baru saja masuk dengan kasus p********n pada wanita dan gadis-gadis lemah. "Saya yang menangkap mereka dan hampir saja saya menjadi korban mereka," jawab Nalaya dengan santai dan tanpa berpikir panjang. Jawaban Nalaya rupanya memancing amarah penghuni sel yang berjumlah kisaran belasan orang itu. Mereka tampak sangat emosi dan langsung menghajar keempat laki-laki itu tanpa ampun. Mereka tidak bisa melawan dan hanya bisa pasrah saja. Pasrah jauh lebih baik daripada melawan. "Kalian rame banget. Ngapain?" tanya Nalaya tanpa wajah dosa sama sekali. "Biar kami balaskan rasa sakit hati Mbak pada mereka. Mereka perusak moral bangsa. Lebih baik dimusnahkan saja," kata salah satu dari mereka. Nalaya hanya mengangguk-angguk saja dan mengamati kelakuan narapidana itu. Mereka semua melampiaskan kekesalan mereka pada keempat buronan itu. Setelah puas mereka akhirnya berhenti sendiri. Petugas sama sekali tidak melerai mereka. "Sini kalian. Siapa nama kalian? Kita kenalan, namaku Nalaya. Nanti kalo kalian sudah bebas aku akan traktir kalian di kedai kopi. Aku kerja di Kedai Kopi Sejuta Kenangan. Ingat, jangan lupakan aku," kata Nalaya dan membuat mereka gembira. Nalaya memperlakukan mereka seperti sudah lama kenal. Entah karena kesalahan apa mereka harus masuk dalam jeruji besi itu. Nalaya yakin hukum tidak akan adil karena memberatkan rakyat kecil. Pasti ada di antara mereka yang kesalahannya hanya sepele saja. "Aku pamit dulu. Kalian ada delapan belas orang 'kan? Besok aku datang lagi." Nalaya melambaikan tangan ke arah mereka semua. Petugas hanya melongo saat melihat tingkah Nalaya. Ia dianggap sosok aneh saat ini. Tidak ada yang mau berteman dengan narapidana, tetapi Nalaya lain. Ia justru merasa prihatin dengan yang menimpa mereka semua.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD