8. Kekesalan Nalaya

1522 Words
"Diaz, kamu pasti bisa menyelesaikan tugas itu tanpa aku. Aku masih ingin bermain. Rasanya lucu aja, aku mendadak kerja di kantor. Aku merasa ga bisa bebas sama sekali. Diaz, aku turun di depan." Nalaya sama sekali tidak mau diatur oleh siapa pun. Jika ia menurut maka semua kebebasannya akan hilang. Ia harus menurut pada aturan yang dibuat oleh sang kakek. Tidak hanya itu, hobi futsalnya pasti akan dilarang keras. Dianggap sebagai pekerjaan tidak berfaedah. "Kamu pasti mengira jika Kakek akan mengaturmu dengan ketat? Tidak. Beliau membebaskan kamu untuk melakukan hal yang kamu suka." Diaz belum juga menyerah saat ini. "Aku tidak bodoh. Itu hanya iklan saja. Setelah aku pulang pasti beda lagi acaranya. Sudahlah. Jangan paksa aku sampai aku punya kesadaran sendiri untuk pulang. Dan aku ga akan pernah sadar. Berhenti di depan," kata Nalaya dengan ketus dan tak bersahabat. Nalaya memang tidak mau diatur oleh siapa pun. Termasuk sang kakek yang gemar sekali menentukan arah hidup orang lain. Beliau seolah bertindak sebagai Tuhan. Segala aturan harus dituruti dan larangannya harus dihindari. Tidak semua hal itu cocok untuk orang lain. Diaz akhirnya menghentikan mobilnya saat Nalaya mulai melepaskan sabuk pengaman. Ia tahu jika tidak dituruti, pasti akan nekat. Nalaya bisa saja melompat ke luar saat mobil sedang melaju. Tingkat nekatnya sudah sangat tinggi dan tidak bisa dicegah sama sekali. "Baiklah. Aku akan berhenti." Diaz akhirnya mengalah dan membiarkan Nalaya pergi. Nalaya keluar dari pintu mobil tanpa sepatah kata pun. Ia tidak mau membahas apa pun saat ini. Pikirannya sedang kusut dan harus tenang. Nalaya menunggu hingga mobil Diaz meninggalkan jalanan barulah akan menuju ke rumah kontrakannya. Diaz akhirnya meninggalkan Nalaya di depan sebuah restoran kecil. Tanpa membuang waktu, Diaz akhirnya pergi karena tidak ingin sang adik marah. Hingga saat ini, mereka masih merahasiakan hubungan adik dan kakak. Entahlah, sebuah permintaan konyol dari Nalaya sejak mereka berkuliah dulu di mana Diaz menjadi asisten dosennya. Tanpa Nalaya sasari, ada sepasang mata yang sedang memperhatikannya. Tobi berada di dalam restoran itu dan duduk di dekat jendela. Nalaya tidak melihat keberadaan laki-laki menyebalkan yang diincar itu. Hingga kebodohan Tobi, justru laki-laki itu keluar dari restoran untuk menyapa Nalaya. "Hai! Sepertinya wajah kamu lapar saat ini." Nalaya memicingkan matanya dan membalik tubuhnya dengan cepat. Astaga! Orang yang sedang dicarinya ada di depan mata. Saatnya meminta ganti rugi. Nalaya tidak mau kehilangan kesempatan emas itu. Kapan lagi bisa merampok Tobi Syailendra? "Wah, ular mencari pemukulnya ini. Kebetulan kamu ada di sini." Nalaya kini mendekati Tobi yang tampak bingung. "Ganti ponselku atau aku akan melaporkan kamu karena kamu penyebab aku hampir saja dilecehkan di dalam angkutan umum tadi!" ancam Nalaya dengan penuh amarah. "Apaan? Urusannya sama tiang listrik apaan coba? Hubungannya sama aku apa? Oon nih orang!" Tobi tentu saja tidak mau mengganti ponsel Nalaya. Urusannya apa coba dengan Tobi? Ponsel Nalaya dibanting hingga hancur oleh salah satu penjahat itu. Bukan Tobi yang menyebabkannya juga. Gadis di depannya itu memang otaknya sudah geser lima sentimeter dari tempatnya. "Emang ga ada hubungan sama tiang listrik. Andai ada hubungan pun itu karena aku taruh kamu disana biar kesetrum. Paham?!" Nalaya marah saat ini. "Kamu tadi pagi minta sopir angkutan umum mengejar penjambret dan bikan salah jalur tuh angkutan. Setelahnya aku hampir saja dilecehkan oleh mereka!" bentak Nalaya dengan nada keras dan memancing perhatian banyak orang. "Yah, itu salah kamu. Emang kamunya aja yang menarik perhatian mereka. Makanya yang bener kalo pakai pakaian. Jangan terbuka dan juga jangan mengeluarkan anggota tubuh sesuka hati. Mereka nafsu juga karena kesalahan kamu yang ga bisa jaga diri." Tobi dengan ketus menjawab ucapan Nalaya. Nalaya kesal mendengar jawaban dari laki-laki sialan yang ada di depannya itu. Astaga! Sama sekali tidak punya empati sama sekali. Entah bagaimana dulu, Nalaya bisa jatuh cinta setengah mati pada laki-laki yang ada di depannya itu. Nalaya mengembuskan napas perlahan agar tidak emosi. Sepertinya sangat percuma menceritakan semua hal pada Tobi. Laki-laki itu hanya akan membuat emosinya naik turun. Lebih baik pulang dan tidur seperti rencananya tadi. "Heh! Mau kemana?" tanya Tobi yang mendadak panik saat melihat Nalaya membalik badan. Nalaya tidak menjawab ucapan itu. Banyak orang yang berbisik membahas Tobi. Bisikan itu lebih ke arah gunjingan. Tobi dianggap laki-laki pengecut oleh pejalan kaki lainnya. Rasakan! "Mau kemana? Aku tanya ini." Tobi memegang bahu Nalaya dan langsung dibanting oleh gadis pemegang sabuk hitam Taekwondo itu. Tobi meringis kesakitan karena bagian tubuh belakangnya menghantam trotoar. Mungkin setelah ini harus panggil tukang urut. Pasti ada yang keseleo karena sakitnya sangat luar biasa. Nalaya tidak peduli dan melanjutkan perjalanannya. Sesampainya di gang masuk rumah kontrakannya, Nalaya berniat mampir ke salah satu kios yang menjual ponsel bekas. Ia akan memakai ponsel bekas dulu sambil nanti menunggu ponselnya diperbaiki. Ia tidak mau menghabiskan banyak uang hanya untuk membeli ponsel baru. Kebutuhannya di masa yang akan datang masih banyak. "Mas, ada ga ponsel yang enam ratus ribuan? Kalo bisa kurang deh," kata Nalaya sambil melihat satu per satu ponsel yang berjejer di etalase. "Eh, Mbak Nana, baru pulang? Ada, Mbak. Emang ponselnya kenapa? Kenapa turun tahta sekarang? Kelakar penjual ponsel sambil menatap heran pada Nalaya. "Lagi apes aja. Ponsel aku hancur," kata Nalaya dan membuat pemilik kios itu terkejut dan menatap tak percaya pada Nalaya. "Hancur bagaimana? Dibanting? Sayang atuh, harganya aja selangit masa dibanting." Pemilik kios itu terkejut dengan ulah Nalaya. "Aku apes, tadi di angkutan umum hampir saja dilecehkan. Lalu, pas mau menghubungi polisi mereka meraih ponselku lalu membantingnya. Jadilah ponsel aku hancur," kata Nalaya dengan wajah sedih. Nalaya kali ini benar-benar sedih. Ponsel itu mempunyai sejuta kenangan. Ponsel yang dibelinya dari kejuaraan futsal bersama dengan tim-nya. Ponsel yang sangat bersejarah di mana ia harus berjuang menjadi seorang pemenang. Nalaya merasakan bagaimana sulitnya mencari uang demi membeli sesuatu. "Sayang banget. Boleh lihat kehancurannya?" tanya pemilik kios dengan tidak jelas. "Kehancuran siapa, Mas?" tanya Nalaya yang mendadak lemah otak itu. "Ponselnya atuh," jawabnya sambil mengulum senyum karena geli dengan ulah Nalaya. "Oh, sebentar." Nalaya langsung membuka tas dan mengambil barang berharganya itu. Ponsel Nalaya tidak berbentuk lagi seperti ponsel. Layarnya retak dan tidak bisa digunakan lagi. Andai diperbaiki pasti akan mahal. Harganya hampir sama dengan harga beli. Pemilik kios menyayangkan kondisi ponsel milik Nalaya itu. "Ini masih garansi ga? Kalo masih garansi biasanya bisa diganti," kata pemilik kios itu sambil menatap prihatin pada Nalaya. "Wah ... ga tahu aku. Ntar aku cari kardusnya dulu," kata Nalaya sambil melihat-lihat ponsel bekas yang ada di depannya. Nalaya akhirnya memutuskan membeli ponsel yang sangat dibawah standar. Harganya pun hanya sekitar lima ratus ribu rupiah. Setidaknya saat ini bisa berkomunikasi dengan orang-orang yang terkait dengan pekerjaannya itu. Juga jika pelatihnya mencarinya nanti--Angga. Saat memasang kartu nomor ponselnya, ternyata banyak sekali pesan yang masuk. Tidak diragukan lagi pasti akan banyak yang mencarinya. Banyak informasi penting tentang perlombaan futsal yang akan digelar bulan depan. Nalaya diwajibkan harus ikut berlatih besok pagi. Astaga! "Untung aku beli ponsel. Kalo ga, bisa kena pecat aku." Nalaya memberikan lima lembar uang seratusan ribu rupiah pada pemilik kios ponsel bekas itu. "Aku pamit, ya, makasih banyak loh udah dikasih diskon," kata Nalaya sambil tersenyum lebar. "Sama-sama, Mbak." Pemilik kios pun membalas senyuman Nalaya yang sangat cantik itu. Nalaya berjalan cepat menuju ke rumahnya. Ia harus menemukan kardus itu. Ia tidak mau rugi jika masih mempunyai garansi. Lumayan setidaknya bisa mendapatkan ganti rugi. Atau, bolehlah jika dikasih ponsel terbaru. "Ini dia ketemu," kata Nalaya dan bersorak sangat keras saat ini seperti menemukan harta karun. Nalaya langsung mengecek kertas garansi dengan cepat. Benar, masih ada garansi hingga tiga bulan mendatang. Tanpa pikir panjang, Nalaya langsung membawa kardus itu. Tak lupa ia membawa ktp sebagai identitas. Biasanya petugas dari toko ponsel itu akan meminta identitasnya. "Eh? Mau kemana?" tanya tetangga Nalaya yang hendak bertamu petang ini. "Ada. Aku pergi dulu." Nalaya mengunci pintunya dan langsung berlari cepat ke pangkalan ojek yang ada di depan gang masuk. Pupus sudah niat tetangga Nalaya untuk mendekati gadis tomboi itu. Nalaya sangat acuh dan seolah tidak mau diganggu sama sekali. Sebuah bukti penolakan yang tak kasat mata. Laki-laki itu hanya bisa meraba dadanya. "Pan, makanya jangan kepedean. Kalian bagai langit dan bumi!" Salah satu warga berteriak menghina Panji. Panji langsung pulang dan tidak membalas ucapan mereka semua. Lebih baik meninggalkan tempat ini. Benar kata mereka, Nalaya tidak bisa ditevak. Panji hanya akan sakit hati saja. "Mas, aku mau urus garansi." Nalaya terengah-engah saat baru saja sampai di toko ponsel berlogo apel tergigit. "Oh, ada ktp? Biar kami bisa cek." Petugas itu langsung pada intinya. Sebentar lagi toko akan tutup. Nalaya beruntung bisa mengejarnya. Entahlah, mengapa toko tutup cepat padahal akhir pekan. Mungkin saja ada keperluan lain atau sengaja melakukan taktik bisnis. Mereka sedang memberikan diskon besar-besaran saat ini. "Boleh lihat ponselnya, Kak?" tanya pelayan tadi dengan ramah. Nalaya langsung mengangguk dan membuka tasnya. Ia mengambil ponsel yang sudah tidak jelas lagi bentuknya itu. Malang sekali nasib ponsel Nalaya itu. Pelayan tadi pun terkejut saat melihat keadaan ponsel Nalaya. "Jangan diganti, Mas. Dia harus beli," kata salah satu pengunjung dan membuat Nalaya melotot tajam ke arahnya. Orang itu hanya tersenyum saja. Ia menikmati wajah marah Nalaya. Wajah yang sangat lucu dan menggemaskan. Tak berapa lama, Nalaya harus kembali fokus bicara pada petugas. Ia mengabaikan orang itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD