5. Amarah Nalaya

1567 Words
"Ini mereka yang aku maksud, Pak. Hampir saja mereka melecehkan saya. Ini orang yang setir anggkutan umum. Aku yakin pasti banyak korban." Nalaya mengatakan pada petugas tadi dengan nada tegas. "Jadi, saya tidak sedang main-main. Mungkin, Anda adalah orang yang gemar bermain," lanjut Nalaya sambil mendekat ke arah meja petugas dari kepolisian tadi. Komputer di atas meja kerja itu masih menyala. Petugas yang menuduh Nalaya akan mempermainkannya itu ternyata tidak berkerja melainkan sedang bermain. Nalaya melirik sekilas ke arah petugas itu. Petugas tidak suka dengan cara Nalaya. "Kamu jangan kurang ajar! Sesuka hati melihat komputer orang lain!" bentak petugas itu, tetapi tidak membuat Nalaya takut sama sekali. "Heh! Ga usah ngegas. Biasa aja. Nyolot banget lo jadi manusia!" Nalaya tidak kalah galak dan sambil menggebrak meja di depannya. Sontak apa yang dilakukan oleh Nalaya memancing petugas yang lainnya. Nalaya kali ini tampak sangat kesal. Ia tidak sedang bercanda. Hampir saja tubuhnya dijamah oleh empat laki-laki sialan itu dan saat ini dianggap sedang bercanda. "Ada yang bisa kami bantu, Kak?" tanya seseorang dari arah belakang Nalaya dan membuat gadis itu menoleh dengan cepat. Nalaya terkejut saat melihat sosok yang ada di belakangnya itu. Entah malaikat baru turun dari kayangan atau bagaimana. Wajah itu begitu tampan dengan kulit eksotis. Seperti tokoh idola Nalaya yang biasa dibayangkan sesaat sebelum menutup mata. "Ada. Tangkap mereka berempat." Nalaya langsung mengubah nada bicaranya saat ini. "Oh, ya, dia bermain game dan tidak bekerja," adu Nalaya pada petugas kepolisian yang ternyata bernama Angga. Angga sosok perwira polisi yang memang tampan rupawan. Sayang, predikat play boy melekat padanya. Tidak hanya itu, banyak gadis yang patah hati karena ulahnya. Angga dianggap sebagai pemberi harapan palsu nomor satu. "Tadi ngamuk, sekarang kenapa bicaranya lembut sekali?" goda Angga dengan sengaja. "Heh! Karena tadi dia ngomongnya nyolot. Makanya aku keras-kerasin. Tuh urus mereka berempat yang ternyata ada di daftar DPO." Nalaya menunjuk ke arah empat orang yang masih dalam keadaan terikat. Angga langsung menoleh ke arah empat orang yang kini menunduk. Mereka tidak berani kabur karena sudah diancam oleh Nalaya. Mereka salah target, gadis yang biasa disetubuhi oleh mereka ternyata menguasai ilmu bela diri dengan baik. Satu pukulan dan tendangannya membuat mereka babak belur. "Jangan-jangan kamu pemimpin dari mereka dan mengorbankan anak buahnya?" tanya Angga yang sedang mengajak Nalaya bercanda. "Kamu punya otak? Lihat seragam aku. Mata kamu mungkin katarak." Nalaya sama sekali tidak menaruh rasa hormat pada Angga dan malas meladeni basa-basi yang membosankan. "Lihat daftar itu, kalian yang pasang bukan? Coba bekerjalah dengan serius. Jangan hanya makan gaji buta," kata Nalaya yang syarat makna. Nalaya langsung meninggalkan kantor polisi. Ia malas berbasa-basi dengan petugas aneh itu. Mereka bukan orang penting yang harus diajak bicara. Mereka hanyalah orang-orang yang kebetulan memakai seragam cokelat. Untuk akhlak mereka, tergantung pada kebutuhan saja. Nalaya langsung mencari ojek pangkalan di dekat kantor polisi. Hari sudah siang dan ia sangat kesal saat ini. Ponselnya hancur berkeping, pasti ada banyak panggilan. Pak Antonio pasti akan marah besar saat ini. "Pak, ke Kedai Kopi Kenangan, berapa?" tanya Nalaya dengan tegas pada sekumpulan tukang ojek yang sedang mangkal itu. "Lima belas ribu, Neng," jawab salah satu dari mereka dengan cepat sambil memberikan helm pada Nalaya. "Oke. Kita lewat jalan besar saja. Saya ga mau lewat jalan tikus." Nalaya mengingatkan tukang ojek itu. "Siap, Neng." Tukang ojek tampak mau bekerja sama dengan baik. Tukang ojek mengantarkan Nalaya ke kedai. Sesampainya di kedai, Nalaya pun berlari dengan cepat untuk mengambil uang. Ia tidak membawa uang sepeser pun saat ini. Nalaya mengambil uang di loker belakang kedai. "Na, dicari Pak Antonio. Kamu dari mana?" tanya Bita dengan nada setengah berbisik. "Panjang ceritanya. Aku bayar ojek dulu, ya," kata Nalaya yang saat ini sedang tergesa-gesa itu. Nalaya menyerahkan uang pecahan dua puluh ribu rupiah pada tukang ojek itu. Ia tidak meminta uang kembalian. Bisa sampai dengan selamat saja sudah untung. Tadi, hampir saja kena musibah. "Dari mana kamu?" tanya Pak Antonio dengan ketus karena merasa kesal dengan ulah Nalaya yang sesuka hati itu. Pergi dari pagi dan baru kembali ke kantor saat sudah hampir tengah hari. Memangnya ini kedai milik kakeknya apa? Antonio tidak bisa menerima keterlambatan Nalaya. Ia berencana akan memotong gaji gadis yang kini sedang menatapnya. "Dari kantor polisi habis antar orderan," kata Nalaya dengan santai tanpa wajah dosa. "Orderan di tempat Tuan Subroto itu tidak dialamatkan di kantor polisi. Dasar ganjen dan kecentilan." Antonio membuat Nalaya marah. "Apa? Katakan sekali lagi." Nalaya mengatakan dengan nada sangat dingin dan menatap tajam Antonio. "Kamu pikir kamu siapa, hah? Seenaknya saja meminta aku mengantarkan pesanan itu. Hampir saja aku dapat musibah pelecehan dari sopir angkutan umum. Ponsel aku hancur karena menyelamatkan diri. Kamu ternyata bodoh! Sudah kerja sama dengan Gaara Online masih saja memintaku untuk mengantar ke rumah mereka. Atau ini semua adalah bagian dari rencana kamu?" Nalaya mencengkeram kerah baju milik Antonio dengan kasar. "Sa-sabar, Na, ini tidak seperti yang kamu pikikan. A-aku hanya ingin menguji kamu," kata Antonio dengan gugup karena saking takutnya pada Nalaya. "Emang ini waktu yang tepat untuk sebuah ujian. Bapak itu seharusnya mikir bukan menuduh saya sesuka hati. Selama ini aku ga pernah sama sekali loh kaya gini. Aku fokus kerja. Hanya gara-gara pesanan sialan itu, aku terkena tulah!" Nalaya mengamuk saat ini dan menghempas tubuh Antonio. Meski laki-laki, tenaga Antonio tidak sebanding jika dibandingkan dengan tenaga Nalaya yang sedang marah. Gadis muda itu tidak tampak sedang berbohong. Ponsel gadis itu bahkan hancur berkeping. Sekarang Antonio percaya jika Nalaya sedang tidak baik-baik saja. "Na, tenangkan dirimu. Minum air putih dulu," kata Bita sambil menyodorkan segelas air putih dingin pada Nalaya. Nalaya meminumnya hingga tandas dalam hitungan detik. Antonio menatap takjub pada gadis muda yang ada di depannya itu. Nalaya memang unik dan menarik, hanya saja jika sudah marah sangat mengerikan. Nalaya menyerahkan gelas itu pada Bita. "Ga ada gitu sekalian makan siang? Aku lapar habis kasih bogem mentah sama empat laki-laki c***l," kata Nalaya membuat Bita menahan senyum. Sempat-sempatnya memikirkan makan siang. Ini bahkan belum jam makan siang. Nalaya tidak peduli, tenaganya habis terkuras karena ulah empat orang menyebalkan itu. Mendadak, Nalaya teringat pada Tobi. Tobi adalah salah satu orang yang juga harus dimintai tanggung jawab. Gara-gara mengejar penjambret ponselnya Nalaya terkena masalah dan hampir saja dilecehkan. Nalaya langsung mendekati Antonio yang saat ini sangat ketakutan. Sosok itu merasa takut ketika gadis dengan rambut dicepol ke atas itu mendekat. "Kasih nomor kontak Tobi." Nalaya langsung pada masalah inti saat ini. "Tobi?" tanya Antonio sedikit lamban karena otaknya baru saja memproses nama itu. "Ck! Tobi yang menejer Gaara Online itu," kata Nalaya tak sabar melihat atasannya yang kini malah terdiam. Antonio langsung membuka ponselnya dan mencari nomor kontak Tobi Syailendra Fahreza. Nomor ponsel itu langsung ditunjukkan kepada Nalaya. Nalaya merogoh sakunya dengan cepat. "Ponsel aku 'kan hancur. Sini pinjam ponsel Bapak aja." Nalaya merebut ponsel itu dengan kasar dari tangan Antonio. Antonio terkejut saat ponselnya diambil oleh anak buahnya dengan kasar. Nalaya memang berbeda dengan karyawan lainnya. Ia sosok pemberani dan berani menyuarakan isi hatinya. Sangat cocok menjadi pemimpin sebuah geng kerusuhan. "Halo! Heh! Tobi, gegara lo hampir saja gue kena masalah pelecehan!" Nalaya langsung mengomel ketika panggilan itu direspons oleh Tobi. Tentu saja membuat Antonio ketakutan. Ia tahu seperti apa seorang Tobi jika marah. Orang itu tak akan segan memutuskan hubungan kerja dengan sepihak. "Kenapa diam? Lo ga ada otak emang sejak dulu!" "Maaf ini siapa? Nomor ini punya Pak Antonio." Nalaya memejamkan mata karena merasa bodoh saat ini. Jelas Tobi sialan itu tidak akan tahu jika yang menghubungi adalah bukan si pemilik nomor. Wajah tegang tampak jelas terpampang. Antonio saat ini sangat ketakutan. "Gue, Nalaya!" "Oh, ada apa? Kangen sama aku? Jujur deh bilang kalo kangen." "Kangen, kangen! Apa kangen, kangen. Tanggung jawab kamu mana? Aku hampir saja dilecehkan sama sopir angkutan umum tadi. Kalo kamu ga minta dia ngejar penjambret, ga akan kaya gini jadinya. Paham! "Oh ... paham." Astaga, Tobi sangat menyebalkan. Dia seperti tidak mau tahu. Nalaya tidak tahu jika Tobi saat ini sedang sangat bahagia karena dihubungi. Ia sengaja melakulannya agar bisa kembali dekat dengan Nalaya. "Ponsel aku hancur gara-gara mereka semua! Di mana tanggung jawab kamu!" "Tadi lo, gue, sekarang aku, kamu. Oh, aku paham, kamu mau lebih dekat sama aku?" "Najis!" Nalaya mematikan sambungan ponselnya. Ia merasa percuma karena Tobi ternyata gila. Nalaya menyerahkan ponsel itu pada Antonio. Hampir saja ponsel itu terjatuh di lantai. "Emang harus disamperin tuh orang. Kalo belum pernah kena tendangan Taekwondo emang gaya selangit. Ntar baiknya aku bikin koma setelahnya titil." Nalaya berbicara seorang diri dan membuat Antonio ketakutan. Nalaya kembali bekerja saat ini. Kebetulan pelanggan yang datang tidak banyak. Tidak seperti saat akhir pekan atau hari libur nasional. Ia bisa sedikit santai dan menenangkan hati. "Na, gimana ceritanya tadi?" tanya Bita dengan penuh perhatian saat mereka sedang makan siang bersama di kantin belakang kedai kopi. "Aku malas bahasnya. Aku takut emosi nantinya," kata Nalaya yang sibuk menikmati nasi rawon dan telur asin tanpa takut kolestrol tinggi. "Yang penting kamu selamat. Gimana nasib ponsel kamu. Mahal banget itu pastinya." Raisa ikut memberikan perhatian pada Nalaya. "Jangan ngomongin ponsel. Aku sedih nanti. Belom ada duit buat perbaiki. Itu aja cicilan baru lunas dan udah harus pecicilan lagi," kata Nalaya dengan kesal saat ini. Dua sahabat Nalaya di kedai kopi itu langsung diam seketika. Nalaya sedang bad mood saat ini. Semakin ditanya maka akan semakin marah. Mereka berdua sudah paham dengan karakter Nalaya. "Na, ada yang cari!" Antonio mengejutkan tiga orang gadis muda itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD