Pengemis Cinta

1844 Words
Viviane sedang membantu sang ayah di toko, toko Sari milik ayahnya cukup besar dan hanya menjual Sari-Sari dengan kualitas super. Sang ayah memang tak hanya menjual Sari-Sari India, namun ada juga permadani dan juga atribut India lainnya. Tuan Kapoor ayah Viviane adalah orang yang cukup terpandang karena bisnis Sari miliknya, ia bahkan sudah punya beberapa cabang di Tanah Abang dan juga di mall-mall besar yang ada di Jakarta. "Tumben nemenin papi disini? Biasanya kamu udah sibuk aja gangguin calon suami kamu itu." Tanya Tuan Kapoor pada sang putri. Mendengar itu, Viviane pun tampak tersenyum tipis. "Lagi pengen aja Pi, lagipula dia lagi sibuk banget dan nggak bisa diganggu." Balas Viviane. "Nggak bisa diganggu? Kok aneh ya, biasanya meski nggak bisa diganggu kamu juga nggak akan peduli." "Tapi kali ini dia emang bener-bener lagi sibuk Pi... Dia ada proyek besar dan dia yang handle semua itu sendirian." "Cakra dari dulu memang pekerja keras ya." "Banget, sampai dia lupa sama dirinya sendiri, sama kehidupannya..." Viviane menunduk, Tuan Kapoor lantas mendekati putrinya, memeluknya. "Secinta itu ya? Apa kamu yakin kalau itu cinta bukannya obsesi? Kalau dia nggak mau, harusnya kamu jangan terlalu memaksakan diri, jangan dengarkan lagi keinginan mami kamu. Kalau kamu nggak bisa bahagia, lantas untuk apa lagi kamu harus mati-matian mempertahankan dia yang nggak pernah melihat kamu sedikitpun?" Tuan Kapoor menatap wajah putri kesayangannya dengan iba, sedangkan Viviane kini turut menatap wajah sang ayah dengan mata berkaca-kaca. "Pi..." "Putri papi berhak bahagia, dia pantas diratukan oleh pria yang benar-benar mencintainya dan bisa menghargainya. Papi nggak pernah protes kamu dengan siapapun, Papi selalu mendukung kamu dengan pria manapun yang kamu inginkan, namun satu hal yang harus selalu kamu ingat, Papi selalu ingin kamu dijadikan ratu oleh suami kamu kelak, dia bisa mencintai dan menghargai kamu sebagai seorang istri. Sekarang melihat kamu berjuang sendirian seperti ini dan dia tak kunjung membuka hati, tentu saja hati Papi ikut sakit melihatnya. Papi mungkin saja diam selama ini, tapi Papi selalu memperhatikan kamu sayang." Jelas tuan Kapoor membuat Viviane menangis tersedu-sedu dibuatnya, ia tak mengira jika sang ayah yang selama ini terkesan diam malah ikut merasakan sakit seperti yang ia rasakan. "Tapi, tapi aku belum bisa berhenti Pi... Aku... Aku..." "Lanjutkan saja sekarang seperti biasanya, lakukan apapun yang kamu suka, berjuang seperti biasanya. Namun jika dirasa kamu udah lelah dan kamu udah nggak sanggup lagi, maka lepaskanlah, Papi ingin kamu bahagia sayang, bahagia yang sesungguhnya ya! Kamu putri papi satu-satunya Viviane, Papi tentu saja ingin yang terbaik untuk kamu. Cakra memang kriteria yang sangat sempurna, tapi jika dia nggak pernah bisa mencintai kamu, untuk apa? Hm? Nggak ada gunanya." Jelas tuan Kapoor membuat Viviane mengangguk-anggukan kepalanya. "Iya Pi, Vivi tau Papi sayang sama Vivi. Vivi akan berhenti kalau Vivi udah capek, Vivi akan cari kebahagiaan yang lain." Ujar Viviane. "Bagus. Udah jangan nangis lagi ya! Sekarang bantu Papi ngecek kain yang baru datang." "Siap Pi." Viviane pun segera menghapus airmatanya, sekarang beban yang ia rasakan jauh lebih berkurang setelah mengutarakan perasaannya. Viviane memang lebih dekat dengan ayahnya, selama ini tuan Kapoor lah yang paling mengerti dirinya bila dibandingkan dengan sang ibu. *** Pria tampan itu sedang terbaring lemah diatas sofa kamarnya, sudah tak terhitung berapa kali ia memuntahkan isi perutnya. Kepalanya sangat pusing dan suhu tubuhnya pun mulai tidak normal. Cakra pulang dari kantor sekitar pukul delapan malam, biasanya ia akan pulang pukul sepuluh malam, namun karena tubuhnya sudah tidak kuat diajak bekerja, akhirnya Cakra pun memutuskan untuk pulang lebih cepat. Pria itu termenung menatap langit-langit kamarnya seorang diri, ia tengah sakit sendirian dan sedang menangis menanti seseorang mengasihinya. Sang ibu sedang ada pekerjaan diluar kota, sehingga Cakra tidak mungkin membuat ibunya mengkhawatirkan dirinya. Ia sendirian di rumah, bukan sepenuhnya sendiri sebenarnya karena masih ada satpam dan juga pembantu rumah tangga disana. "Kamu dimana? Kamu nggak telepon aku, kamu juga nggak kirim aku chat, ada apa Vi?" Keluh Cakra sambil menatap layar ponselnya menanti kabar dari tunangan yang tidak pernah ia anggap itu. Selama ini Cakra bahkan tidak pernah menghubungi Viviane duluan jika ia tak benar-benar butuh, selalu, selalu dan selalu Viviane lah yang menghubunginya duluan, yang mengirim chat duluan guna menanyakan kabarnya, menanyakan kondisinya, menanyakan apakah dia sudah makan apa belum. Selalu seperti itu, namun Cakra sering sekali mengabaikannya, memandang sebelah mata perlakuan dan perhatian Viviane, namun disaat seperti ini, Cakra justru sangat membutuhkan sosok itu. Cakra ingin menelepon Viviane duluan, ia ingin mengatakan pada wanita itu jika ia sedang sakit sekarang, namun gengsi dan harga dirinya melarangnya dengan keras. Cakra takut jatuh semakin dalam pada wanita yang tidak ia kehendaki itu, jika sampai ia jatuh cinta pada Viviane, apa kata dunia? Tapi... Hati dan logika Cakra tak bisa berjalan beriringan. Logikanya menolak namun hatinya selalu menjeritkan nama gadis Hindustan itu ketika ia sedang butuh kasih sayang. Cakra sejatinya sudah jatuh kepada sosok Viviane, namun otaknya selalu melarang keras untuk mengakui semua itu. *** Viviane sendiri memang sengaja tak mengabari Cakra, entah ia memang sedang iseng atau memang sengaja untuk menguji calon suaminya itu. Namun meski begitu, Viviane selalu sudah bisa menebak kalau Cakra pasti tidak akan mungkin mengubunginya duluan. Bodohnya Viviane, sudah tahu begitu, tapi ia malah nekad untuk melakukan hal yang sia-sia saja. "Kamu nggak ke rumah Cakra dulu sayang? Tante Melly kan belum pulang." Tanya Rani, ibu Viviane. "Mami tadi buat chiffon cake kesukaan dia, kamu antar kesana ya, sekalian lihat dia." Imbuhnya. Memang selalu seperti ini jika Viviane belum melihat keadaan Cakra, ibunya pasti akan selalu mengingatkan dirinya. Rani memang sangat menyukai calon menantunya itu, namun selama ini ia belum pernah mengetahui sedikitpun tentang perlakuan Cakra terhadap putrinya. Viviane tampak terdiam sejenak, ia menimang-nimang saran sang ibu sebelum ponselnya tiba-tiba saja berdering. 'Hallo!' 'Non Vivi, ini Rati non.' 'Iya Ti ada apa?' 'Mas Cakra tadi pulang lebih awal pukul delapan, biasanya kan pulang pukul sepuluh, tapi tadi tiba-tiba pulang diantar sama mas Frans, dipapah gitu non, langsung masuk kamar, saya barusan ketok-ketok pintu kamarnya tapi nggak ada jawaban, mau masuk tapi saya takut mas Cakra marah non.' jelas Rati membuat Viviane langsung merasa khawatir. 'Saya kesana sekarang Ti.' 'Iya non.' Viviane pun segera memutus panggilan teleponnya. "Ada apa Vi? Cakra nggak apa-apa kan?" Tanya Rani dengan tatapan cemas. "Kayaknya dia sakit mi, aku mau lihat dia dulu." Ujar Viviane. "Ya udah kamu cepetan kesana, ini kamu bawa kuenya, kali aja dia mau makan." Rani pun segera menyerahkan kotak makanan kepada sang putri. "Iya mi." Setelah menerima kotak makanan tersebut, Viviane pun segera bergegas menuju rumah Cakra yang letaknya tidak jauh dari rumahnya, Viviane hanya tinggal berjalan kaki saja untuk menuju kesana. *** Setibanya di rumah Cakra, Viviane pun langsung masuk begitu saja dengan tergesa-gesa. Disana ia sudah ditunggu oleh Rati, asisten rumah tangga Cakra. "Mana kunci serepnya Ti?" Tanya Viviane. "Ini non." Rati pun segera menyerahkan kunci serep kamar Cakra kepada Viviane. "Buatin minuman herbal kayak biasanya ya Ti, tadi saya nggak sempet buat di rumah." Pinta Viviane. "Baik non." Angguk Rati, lalu segera pergi menuju dapur. Setelah Rati pergi baru Viviane segera membuka pintu kamar Cakra. Hal yang pertama kali Viviane dengar ketika memasuki kamar calon suaminya itu adalah suara muntahan dari dalam toilet. "Huh... Argh... Sakit hiks..." Disusul suara isakan itu, Viviane pun buru-buru masuk ke dalam toilet kamar Cakra. "Sayang!" Panggil Viviane seraya berlutut dibelakang Cakra, memijit tengkuk pria itu dengan lembut supaya Cakra mudah memuntahkan isi perutnya. "Abis ini kita ke rumah sakit, nggak ada bantahan lagi." Tegas Viviane dengan penuh rasa cemas, apalagi setelah ia menyentuh tengkuk Cakra yang panas. Setelah Cakra selesai muntah, iapun lalu menolehkan kepalanya ke belakang menatap Viviane dengan mata berkaca-kaca. Viviane tahu betul jika pria tampan itu tidak tahan dengan rasa sakit, Cakra bisa melakukannya tapi harus ada seseorang yang memeluknya, dan orang itu hanyalah Viviane dan juga sang mama. "Mana yang sakit hm? Ayo diobatin ya! Biar nggak sakit ya!" Pembawaan Viviane yang lembut dan penuh kasih selalu membuat Cakra terlena. "Perutku sakit Vi hiks, sakit..." Viviane langsung meraih tubuh Cakra saat pria itu mengadu seperti anak kecil padanya, ia mendekap tubuh tegap itu dengan erat dan mengusap-usap punggungnya. "Aku sakit Vi... Kamu kemana?" Tanya Cakra sambil menyerukkan kepalanya dileher jenjang Viviane. Bahkan d**a wanita itu yang cukup besar dan kenyal menjadi bantalannya, sangat nyaman sekali. "Tadi aku bantu Papi di toko sayang, aku jadi model buat katalog Sari-Sari terbarunya, aku agak sibuk, maaf ya!" Viviane memberikan alasan yang cukup kuat sehingga Cakra tak lagi bertanya. "Aku demam Vi, kepalaku pusing sejak di kantor, aku muntah terus." Adu Cakra dengan wajah memelas. "Typus kamu pasti kumat sayang, kita perlu ke rumah sakit ya! Mau ya!" Bujuk Viviane sambil menggosok perut Cakra yang katanya sakit. "Sama kamu Vi, aku takut disuntik." "Emangnya sama siapa lagi kalau bukan sama aku? Tante Melly juga belum pulang kan? Sekarang aku siapin keperluan kamu dulu ya!" "Ini minumannya non!" Rati datang membawa minuman yang Viviane pesan. "Iya Ti, suruh sopir siapin mobil ya Ti, saya akan bawa mas Cakra ke rumah sakit." Ujar Viviane. "Oh, baik non." Balas Rati sebelum pergi meninggalkan kamar Cakra. "Minum yang anget-anget dulu ya biar enakan perutnya." Tutur Viviane dengan lembut, dan Cakra pun langsung menurut tanpa banyak membantah lagi. Viviane pun segera memapah Cakra keluar dari toilet, ia lalu mendudukkan pria tampan itu diatas sofa. Tubuh Cakra sangatlah lemas dan wajahnya tampak begitu sangat pucat. "Ayo minum dulu." Viviane pun menyodorkan secangkir kecil minuman herbal kearah mulut Cakra. "Panas Vi..." Rengek Cakra. "Bentar, fiuh..." Viviane pun segera meniup minuman tersebut sampai tidak terlalu panas. "Udah, ayo minum sayang!" Cakra pun segera meminum minuman tersebut yang langsung mampu membuat perutnya hangat dan nyaman. Itu adalah minuman herbal yang memang selalu Viviane siapkan untuk Cakra, ia bawa langsung dari negeri Vrindavan sana. Setelah Cakra meminumnya sampai hampir habis, Viviane pun segera mengambil botol minyak kayu putih untuk ia balurkan disekujur tubuh atas Cakra. Dan setelah itu, baru ia memasang plester demam dikening Cakra. "Vi..." Rengek Cakra dengan mata berkaca-kaca. "Ssshhh..." Viviane pun kembali meraih tubuh tegap pria pujaannya itu, memasukkan kepala Cakra diceruk lehernya. "Nggak apa-apa sayang." Ujar Viviane menenangkan. "Sudah siap semuanya non!" Seru Rati dari arah pintu. "Iya Ti, saya belum sempat siapin keperluan mas Cakra. Kamu bawain seadanya dulu ya! Tolong bawain tas yang biasanya, soal baju bisa menyusul, nanti saya kabari, kemungkinan mas Cakra rawat inap." Jelas Viviane. "Siap non." Angguk Rati. "Nanti saya yang akan kabarin ibu. Jadi kamu jangan telepon beliau dulu." Imbuhnya. "Baik non." "Berangkat sekarang hm? Kuat jalan? Mau diangkat sama pak Yono?" Tanya Viviane, Cakra pun menggeleng pelan. "Masih kuat jalan, sama kamu aja." Cakra selalu seperti ini, ia tidak akan mau dengan siapa-siapa lagi selain dengan Viviane atau mamanya ketika sedang sakit. Melihat Cakra yang seperti ini adalah kelemahan terbesar Viviane, Cakra begitu bergantung padanya seperti bayi. Jika Viviane memilih pergi meninggalkan pria itu, Viviane tidak yakin jika pria itu akan mampu mengurus dirinya dengan benar. Untuk sekarang biarlah seperti ini dulu, ia tak peduli meskipun ia dianggap sebagai pengemis cinta, yang penting ia bisa dekat dengan Cakra, itu saja sudah cukup baginya. Karena ia memang benar-benar sudah segila itu dengan pria bermata sipit itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD