"Tia...!" Ibu memanggil.
"Iya Bu..." Tia menghampiri Ibu.
"Ibu udah gak punya uang buat belanja, Kamu pergilah ke warung Bu Eni minta diutangi sayuran ya. Bilang, nanti kalo udah gajian dibayar." Kata Ibu.
"Iya Bu." Kata Tia. Dan Ibu pun mendikte belanjaan apa saja yang akan dihutang.
Tia menulisnya pada selembar kertas. Kemudian Tia pergi ke warung Bu Eni.
"Bu Eni, ini daftar belanjaannya, kata Ibu nanti dibayar kalo udah gajian." Kata Tia.
"Baiklah." Kata Bu Eni. Bu Eni pun mengambilkan belanjaan yang tertulis di kertas yang Tia bawa.
"Ibu-ibu yang berbelanja di warung Bu Eni berbisik. "Lihat tuh, ditinggal Ayahnya, gak mampu belanja sayur." Kata Ibu yang satu dan disahuti Ibu lainnya.
Tia permisi pada Bu Eni dan tak lupa mengucapkan terima kasih. Tia hanya menunduk mendengar rumpian Ibu-ibu dan cepat-cepat berlalu. Entah apalagi yang Mereka bicarakan. Tia gak mau tahu dan gak mau dengar, karena akan menambah kesedihan saja.
Sampai di rumah, Tia langsung ke dapur, Ibu sedang memasak nasi.
"Dapat sayuran nya Nak?" Tanya Ibu.
"Dapat Bu, nih." Kata Tia menyerahkan kantong belanjaannya pada Ibu.
"Apa kata Bu Eni?" Tanya Ibu lagi.
"Ya gak apa Bu." Jawab Tia. Tia tak menceritakan Ibu-ibu yang bergosip. "Biarlah, Ibu gak usah tahu." Batin Tia.
Hari berganti. Dan hampir tiap hari Tia ke warung Bu Eni untuk utang sayuran dan banyak sekali omongan tidak enak yang Tia dengar dari Ibu-ibu.
Suatu Hari
"Eh Bu Eni! Jangan suka kasih utang ke Bu Nia. Kemarin Saya lihat, Tia belanja di warung Bu Ira." Kata salah seorang ibu-ibu rumpi itu.
Bu Eni menegur Tia. "Eh Tia! Kalau ada duit jangan belanja di tempat lain dong! Ngutang di sini, punya duit malah belanja di tempat lain!" Hardik Bu Eni.
"Gak Bu, gak seperti itu." Tia mencoba menjelaskan tapi Ibu yang satu lagi terus saja mengompori Bu Eni. Akhirnya Tia hanya bisa diam menunduk tanpa ada kata penjelasan yang mau didengar oleh Bu Eni. Tia pun berlalu sambil menenteng belanjaannya.
Di jalan Tia hampir saja menangis mendengar penghinaan Ibu-ibu itu. Mereka gak tahu, kalau Tia ke warung Bu Ira karena Bu Ali yang menyuruhnya belanja.
Bu Ali adalah salah satu tetangga yang baik hati, Dia sering membantu Keluarga Bu Nia dan Bu Ali juga adalah langganan menjahit dengan Ibu Nia.
Almarhum Ayah Tia, seorang Tentara Angakatan Darat yang hanya berpangkat Sersan Mayor. Pak Arif meninggal dunia di usia 46 tahun.
Bu Nia, seorang Ibu rumah tangga yang mempunyai keahlian menjahit pakaian, tapi langkah Bu Nia hanya menjahit baju-baju Ibu komplek saja, karena Ayah Tia yang pecemburu dan membatasi langkah Bu Nia. Bu Nia berusia 34 tahun. Dan Mereka hidup mengandalkan gaji pensiun dari Ayah yang hanya setengahnya karena Ayah meninggal dunia masih dalam masa dinas.
Ditambah dari penghasilan menjahit kalau ada yang menjahit. Itu pun kalau langsung dibayar, terkadang ada juga yang ngutang dan pas ditagih pasti marah-marah dan semua nya ditimpakan pada Tia. Karena memang cuma Tia yang masih mau disuruh Ibu, karena Fitri sudah gak mau lagi menagih uang jahitan langganan Ibu, karena seringnya dimarahi saat menagih.
Sepupu Tia, Kak Mia baru saja diterima bekerja di salah satu counter jam merk terkenal di salah satu Mall Jakarta.
Bang Tiar kalau pagi pergi ke pasar untuk berjualan kantong plastik dan kadang menjadi kuli panggul di pasar. Dan sebelum jam 10 pagi, Bang Tiar sudah tiba di rumah karena harus berangkat sekolah yang jadwalnya masuk siang.
Sedangkan Tia kadang membantu Ibu merapihkan baju yang sudah selesai dijahit, seperti mengesum kiliman baju atau memasang kancing. Terkadang kalau Ibu sedang tidak ada jahitan, Beliau membuat kue bakpau isi kacang tanah, dan Tia yang mengantarkan ke warung untuk dititip jual.
Alhamdulillah Mereka tidak perlu bayar sewa rumah, karena Mereka menempati salah satu rumah dinas di komplek.
Walau hidup Mereka pas-pasan terkadang malah tidak mencukupi, tapi Mereka tak mau mengandalkan belas kasih dari orang lain, karena itu akan membuat Mereka jadi pemalas dan tak mau berusaha.
"Tia..." Panggil Ibu.
"Iya Bu." Sahut Tia seraya menghampiri Ibunya yang sedang melipat sebuah baju.
"Tolong Ibu ya Nak. Anterin ini baju ke rumah Bu Tisna. Uangnya tungguin, kemarin dia janji akan langsung bayar. Nanti Kamu langsung belikan beras ya di toko Pak Haji." Ibu memberi penjelasan.
"Baik Bu." Kata Tia. Tia pun segera mengantarkan baju itu ke rumah Bu Tisna.
"Assalamu alaikum." Salam Tia di depan pagar rumah Bu Tisna.
"Wa alaikumussalaam." Sahut seseorang dari dalam. "Eh Tia, sini masuk." Ajak Bu Tisna sambil membukakan gerbang.
Tia pun masuk ke dalam rumah Bu Tisna. "Baju Ibu udah jadi ya? Mana sini, cobain dulu."
Tia pun menyerahkan bungkusan baju itu.
Tak lama Bu Tisna keluar dengan baju baru nya. "Bagus gak, Tia? Enak nih dipakai nya." Bu Tisna bergerak kesana kemari.
"Bagus Bu. Pas." Puji Tia.
"Bilang sama Ibu Kamu, uang nya besok aja ya. Udah malam pamali ngeluarin duit malam-malam." Kata Bu Tisna.
"Maaf Bu. Tadi kata Ibu, uang nya sekarang aja, soal nya buat beli beras." Kata Tia memohon.
"Sudahlah Bu, bayar saja uang nya. Orang baju nya sudah siap, bayarnya ditunda-tunda. Lagian besok Kita berangkat abis subuh." Kata Pak Tisna yang tiba-tiba keluar dari kamar.
Dengan berat hati Bu Tisna masuk ke kamar mengambil uang untuk bayar ongkos jahit.
"Nih uang nya." Ketus Bu Tisna, Dia memberikan uang itu setengah melempar. Uang itu berceceran ke lantai.
Tia terkejut. Dia menatap Bu Tisna.
"Sudah pungut saja! Gak sengaja! Cepatlah! Saya mau istirahat!" Bu Tisna menyeringai.
"Ya Allah.." Mata Tia berkaca-kaca. Dia berjongkok dan memunguti uang itu. Tia menghitungnya masih kurang 10ribu. Tia mencari ke kolong kursi tapi tidak ada.
"Lama banget sih?!" Hardik Bu Tisna.
"Maaf Bu, uangnya kurang 10ribu." Kata Tia, dadanya sesak menahan segala rasa. Ingin rasanya Dia memaki Bu Tisna yang tidak sopan melempar uang.
"Ck... Nih!" Bu Tisna menunjuk uang sepuluh ribu yang terinjak kakinya.
Tia mengambilnya. Bu Tisna malah menendang uang itu ke arah Tia. "Gitu aja lama banget!" Dia berlalu masuk kamar.
Tia memungut uang itu. Dia langsung keluar dan menutup pintu gerbang rumah Bu Tisna. Tia mengusap airmatanya. Tia merasa terhina dengan perlakuan Bu Tisna. Tia bergegas ke toko Pak Haji yang berada di luar komplek.
Assalamu alaikum Pak Haji." Salam Tia.
"Wa alaikumussalaam. Eh Tia. Loh Kamu abis nangis?" Pak Haji terkejut.
"Eng.. gak kok Pak Haji. Tadi mata Tia kemasukan binatang kecil, perih banget Pak Haji." Kata Tia menutupi kesedihannya.
Pak Haji menghela nafas. "Mau belanja apa?" Tanya Pak Haji ramah.
"Tia disuruh Ibu beli beras 10 liter, Pak Haji." Kata Tia.
"Yang seperti biasa ya Tia?" Tanya Pak Haji.
"Iya Pak Haji." Tia tersenyum.
Pak Haji pun menyiapkan pesanan Tia. Tak lama kemudian. "Ujang! Ujaang!" Pak Haji berteriak memanggil salah seorang karyawannya.
"Iya Pak Haji." Sahut Ujang yang tergopoh-gopoh menghampiri Pak Haji.
"Tolong anterin nih pesanan beras Ibunya Tia. Kasihan, Tia gak akan kuat membawanya." Perintah Pak Haji.
Tia yang mendengar jadi bingung. "Pak Haji, Tia bisa kok bawa sendiri beras nya. Gak usah dianterin Mang Ujang." Kata Tia.
Pak Haji tersenyum. "Kamu bisa bawa itu semua?" Tanya Pak Haji menunjuk ke arah karung beras dan dus sembako untuk Tia bawa pulang.
"Tapi Pak Haji, Tia kan cuma beli beras 10 liter aja, kenapa jadi banyak begitu?" Kata Tia tambah bingung.
"Tidak apa Tia. Ini rejeki buat Kamu dan Adik-adikmu. Salam sama Ibu Kamu ya. Bilang, ini bukan dari Pak Haji tapi ada yang titip ke Pak Haji untuk Bu Nia." Jelas Pak Haji.
"Alhamdulillaah.." Kata Tia. "Pak Haji, ini uang berasnya." Tia menyerahkan uang beras pada Pak Haji.
Pak Haji menggeleng. "Bawa saja uang nya Tia, buat keperluan yang lain." Kata Pak Haji.
"Tapi Pak Haji...." Tia nampak ragu.
"Sudaaahhh... Simpan saja. Siapa tahu Kamu butuh untuk beli yang lain." Pak Haji tersenyum.
Tia menunduk. "Terima kasih Pak Haji. Kalau gitu Tia pamit. Assalamu alaikum."
"Wa alaikumussalaam." Jawab Pak Haji.
Tia pun pulang diantar Mang ujang dengan motor nya sampai rumahnya.