Bab 1. Kepergian Sang Ayah
"Niaaaa..!!" Panggil Sang Suami.
Tergopoh-gopoh Nia menghampiri Arif. "Ada apa, Bang?! Kalau manggil suka ngagetin." Sahut Nia.
Betapa terkejutnya Nia melihat Sang Suami yang telah bersender dekat kolam lele.
"Abang kenapa?" Nia tersentak kaget.
"Gak tahu Nia, tiba-tiba lemas." Kata Arif yang baru saja dari kamar mandi.
Nia merangkul pinggang Arif hendak membawa ke kamar. Anak-anak Mereka sudah terlelap.
Tubuh Nia yang kecil tak mampu menahan tubuh Arif yang tinggi besar. "Berat Bang, Nia gak kuat." Keluh Nia.
"Disini saja Nia." Perlahan Arif menurunkan tubuhnya di lantai depan pintu kamar Mereka. Hampir saja Nia terjatuh karena menopang tubuh Suaminya. Keringat sebesar butiran jagung terus keluar tak henti.
_______
Hik..hik..hik..." Terdengar tangisan yang seperti ditahan. Hari sudah dini hari.
Tia terbangun karena suara Kak Mia dan Bang Tiar yang menangis. Dia melihat jam di dinding 02.50.
Tia melihat ke atas ranjang Orangtuanya. Kehidupan yang sangat sederhana, hanya memiliki dua kamar tidur, dihuni oleh delapan kepala. Ranjang itu kosong.
"Ada apa lagi dengan kedua Orangtuaku? Apa Mereka bertengkar dan kini benar-benar meninggalkan Kami?" Batin Tia diliputi tanya.
Tiana Kartika, gadis berusia 11 tahun, duduk di kelas 6 SD. Dia anak kedua dari 5 bersaudara. Abangnya, Tiarsyah, umur 16 tahun , kelas 1 SMA. Dan tiga orang Adiknya, Fitriana 9 tahun, Feriansyah 6 tahun dan Adik bungsunya Nindiana 3 tahun. Tia mempunyai saudara sepupu, keponakan dari Ayahnya yang dibawa dari Sumatera ke Jakarta untuk bekerja, Mia Andini 22 tahun.
Bang Tiar dan Kak Mia masih menangis. Tia keluar dari kamar untuk mencari tahu keberadaan Orangtuanya. Bang Tiar yang melihat Tia, langsung menghampiri dan memeluk Tia.
"Tia... Ayah Kita sudah meninggalkan Kita semua... huk.. huk.. huk..." Tiar menangis.
"Maksud Abang? Ayah pergi kemana?" Tia tak paham
"Ayah... meninggal dunia... huk.. huk.. huk.." Jelas Tiar.
Tia langsung terduduk lemas. Perkataan Abangnya bagai petir di siang hari bolong. Sore tadi Ayahnya masih segar bugar, sehabis isya juga masih mengobrol dengan Bapak-bapak satu komplek, membicarakan ingin memperbaiki jalan dalam gang awal bulan depan yang tinggal beberapa hari lagi.
"Huk... huk.. huk..." Tia tak dapat lagi menahan rasa sedihnya ditinggal sang Ayah.
"Ibu mana?" Tanya Tia masih menangis.
"Ibu masih di rumah sakit, Abang pulang mau urus pemakaman Ayah dan menjemput Kak Mia supaya menemani Ibu..." Kata Tiar sambil menangis.
"Tia... Kamu masih punya tabungan, kan? Abang mau ke rumah sakit tapi gak ada ongkos." Kata Tiar.
Tia mengangguk dan segera masuk kamar. Tia memang selalu menyisihkan uang jajannya, maka nya Ayah sering memberi Tia uang jajan lebih karena Tia rajin menabung. Tia memberikan semua uang tabungannya pada Tiar.
"Kamu jaga rumah baik-baik, tolong dirapihkan mana yang bisa Kamu kerjakan. Kalau ada tetangga yang tanya, bilang saja, Ayah dan Ibu sedang di Rumah Sakit." Pesan Tiar.
Tia mengangguk masih terus menangis. Tiar dan Mia meninggalkan rumah. Tia mulai bebenah sambil menangis. Merapihkan tempat tidur Orangtuanya.
Fitri merasa terganggu karena tangisan Tia. "Kak..! Berisik banget sih? Ini masih malam, kenapa nangis sih?!" Bentak Fitri.
"Fitri... Kamu bangun ya, bantu Kakak bebenah rumah. Ayah meninggal dunia... huk.. huk... huk..." Tia menangis.
"Kakak bo'ong kan? Gak mungkin Ayah meninggal! Ayah baik-baik aja! Huk... huk.. huk..." Fitri antara percaya dan tidak percaya tapi Dia ikut menangis.
"Buat apa Kakak berbohong, Fit?! Bang Tiar dan Kak Mia sekarang sedang menuju Rumah Sakit." Jelas Tia.
Akhirnya Tia dan Fitri bebenah dengan deraian airmata.
Adzan subuh berkumandang. Tia mengajak Fitri untuk melaksanakan shalat subuh. Setelah shalat, Tia dan Fitri kembali merapihkan rumah.
"Tia... Fitri... Emang Ayah Kalian meninggal?" Tanya Bu Anda yang memang selalu memiliki telinga yang nyaring mendengar pembicaraan Orang.
Tia menggeleng. "Ayah dan Ibu lagi ke rumah sakit." Kata Tia menutupi kesedihan.
"Kamu gak usah boong, Tia! Orang tadi Saya dengar Tiar dan Mia menangis!" Bu Anda sewot.
Tak lama terdengar suara Toa dari Musholah komplek.
Innalillaahi Wa inna ilaihi raajiun... Telah berpulang ke Rahmatullaah... Bapak Arif Budiman Bin Fulan dalam usia ke-46 tahun dalam perjalanan ke RSPAD...
Tia dan Fitri langsung menangis kencang.
Bu Bunga dan para tetangga yang lain kaget mendengar pemberitahuan itu langsung berdatangan ke rumah Almarhum Pak Arif.
"Tia... Kenapa gak mau bicara terus terang...?" Tanya Bu Bunga dengan lembut sambil mengusap kepala Tia dan Fitri yang menangis.
Tia dan Fitri hanya menggeleng tak berhenti menangis. "Ayaaaahhh...! Huk... huk... huk...!"
Tak lama, Tiar tiba di rumah seorang diri. Setelah mengantar Kak Mia tadi, Tiar langsung pulang dan ke rumah Pak RT dan Pak Damplek. Kemudian Tiar pergi ke rumah Bang Aril, keponakan Ayah yang paling dekat tempat tinggalnya. Aril langsung menghubungi saudara-saudara Pak Arif yang ada di Jakarta dan Sumatera.
_______
Jam 9.00 Mobil Jenasah tiba. membawa jasad Pak Arif yang sudah rapih dikafankan.
Para pelayat dari Angkatan Darat tempat Pak Arif bertugas sudah sejak pagi berdatangan. Semua keperluan jenasah ditanggung kantor hingga ke pemakaman.
Tak lama Jenasah Pak Arif dibawa ke musholah untuk dishalatkan. Dan langsung dibawa ke TPU untuk dimakamkan.
Bu Nia, Istri almarhum, berulang kali jatuh pingsan. Tapi tetap nekad minta dibawa mengantar jenasah Pak Arif ke tempat peristirahatan terakhir Sang Suami.
Upacara penghormatan terakhir bagi Pak Arif dari Angkatan Bersenjata dilaksanakan.
DOR...! DOR...! DOR...!
Bu Nia kembali pingsan. Fitri histeris. Mia, Tiar dan Tia memeluk Fitri yang ingin ikut masuk ke liang lahat Sang Ayah.
"Ayaaaahhhh...!!!" Fitri terus histeris. Tia makin menangis. Fitri dibawa paksa ke mobil ambulance bersama Bu Nia.
_______
"Kalian berlima bersaudara, kelak segala sesuatunya saling bantu. Siapa yang mampu, bantu Saudara Kalian yang membutuhkan. Ayah juga berpesan, Kalian harus jujur dalam segala hal, karena dengan jujur, kemana pun Kalian melangkah, pasti Orang akan percaya pada Kalian dengan baik."
Itulah pesan terakhir dari Alm. Ayah Tia. Tia menangis mengingat sang Ayah yang selalu memperhatikan Mereka. Walau terkadang terdengar bertengkar dengan Ibu, tapi sebentar kemudian, Ayah akan merayu Ibu lagi.
Di Kolam Ikan
Bang Tiar mengusap airmatanya. Dia teringat saat-saat terakhir sebelum ayahnya meninggal.
Pelan-pelan Tiar... Nanti Ayahmu MATI...
"Hik.. hik... hik... Tiar kembali menangis. Dia hendak memasangkan kaos ke tubuh Ayah tapi Ayah malah bicara seperti itu. Dia tak menyangka secepat itu Ayah meninggalkan Kami.
Tiar sedang terlelap saat Ibu membangunkannya untuk mencari taxi. Tiar kaget karena Ayah yang tiba-tiba minta ke rumah sakit. Namun di jalan Ayah berubah pikiran. Akhirnya taxi memutar ke klinik Dokter Dhika.
"Pak Arif harus segera ke RSPAD, ini jantung." Kata Dokter Dhika sambil membuat surat rujukan.
"Gak usahlah Dokter, kalau memang sudah takdirnya Mati ya Mati saja." Kata Pak Arif.
Dokter Dhika memberi kode pada Bu Nia.
Di Taxi
"Pak, balik lagi ke rumah." Kata Pak Arif.
Namun Tiar yang berada di depan menggeleng kepada Pak Supir untuk terus ke RSPAD.
Pak Supir... Kalo uang ongkos Taxinya kurang, jangan marah ya...
Tiar kembali mengusap airmatanya mengingat malam itu. Seumur hidupnya, Ayah tak pernah sekalipun memberikan ongkos taxi kurang, hanya malam itu Ayah meminta supir taxi jangan marah kalau ongkosnya kurang.
_______
Hari berganti. Tia selalu melihat Ibunya terus melamun, entah apa yang dipikirkan Ibunya. Yang Tia tahu, Ibunya terus larut dalam kesedihan.
Tolong jaga Anak-anak Kita, Nia. Mereka akan menjadi Anak-anak yang hebat, kelak.
Ibu menangis. Kepala Ayah berada dipangkuan Ibu. Tangan Ayah yang sebelah berpegangan pada leher Ibu agar tak berguling. Hingga akhirnya.
Laaa ilaaha illallaahu.... Muhammadarrasullullaah...
Ayah cegukan tiga kali setelah itu tangannya yang berpegangan pada leher Ibu terlepas.
Ibu menahan tangis. Dia takut supir taxi tak mau mengantar ke RSPAD. Ibu tahu, Ayah sudah tidak ada.
"Pak Supir... Bisa lebih cepat lagi.. Tolong Pak..." Pinta Bu Nia.
_______
Sumbangan datang terus menerus, Ibu merasa, kepergian Ayah diganti dengan semua sumbangan itu.
"Bu... Sudah makan belum?" Tanya Kak Mia membuyarkan lamunan Ibu.
"Kamu duluan saja, ajak Adik-adikmu." Kata Ibu masih murung.
"Bu.. Kami semua sudah makan. Kasihan adik-adik Bu, Mereka masih kecil, masih butuh perhatian Ibu. Mereka juga gak nafsu makan melihat Ibu bersedih terus." Jelas Kak Mia.
"Huk... huk... huk..." Ibu kembali menangis. "Ibu gak tahu harus ngapain? Apa Ibu bisa membesarkan Adik-adikmu tanpa Ayah Kalian? Huk.. huk... huk..."
Mia memeluk Ibu. Tia, Fitri, Feri dan Nindi saling berpelukan, menangis melihat Sang Ibu yang terus bersedih.
Mia menoleh. "Tuh Bu, Mereka jadi ikut nangis." Mata Mia berkaca-kaca.
"Sini Nak... Sini..." Panggil Ibu pada Anak-anaknya.
Mereka pun berhamburan memeluk Ibu Mereka. "Ibu... huk.. huk... huk..."
"Sudah, jangan nangis, Ibu janji gak akan sedih lagi." Kata Ibu sambil memeluk buah hatinya. Ibu mengusap airmata Mereka satu per satu.
Kak Mia segera ke dapur mengambilkan nasi dan lauk pauk untuk Ibu. "Sekarang, Ibu makan ya?" Pinta Mia. "Ibu dari kemarin belum makan. Nanti kalau Ibu sakit, kasihan Adik-adik Bu."
Ibu mengangguk. Dan menerima piring makannya dari Mia. Tia menyodorkan air minum pada Ibu. Ibu meminumnya sedikit sebelum makan.
"Bu... Cini Nindi yang cuapin Ibu." Kata Nindi yang belum fasih berbicara. Ibu tersenyum, Tia mengusap kepala Nindi.
"Anak Ibu yang bungsu, udah besar ya?" Kata Ibu sambil mengusap pipi Nindi.
"Cudah dong Bu. Nindi kan jagoan Ibu. Nih liat... Ciat.. ciat... ciat..." Nindi membuat yang lain tertawa demikian juga dengan Ibu. Nindi jadi tersipu malu. Dia menyembunyikan kepalanya di pinggang Tia.
Ibu jadi semangat makannya, melihat Anak-anaknya yang semangat untuk bertahan hidup, walau Mereka tak tahu, cobaan apa lagi yang akan datang di depan sana.
"Bang Tiar mana? Ibu dari tadi gak lihat Abang Kalian. Kalian gak ada yang berangkat sekolah?" Tanya Ibu.
"Ini hari minggu, Bu. Habis shalat subuh tadi, Tiar langsung ke pasar Bu, mau cari uang katanya." Jawab Mia.
Ibu kembali menangis. Nindi mengusap airmata Ibunya. "Cep... cep... cep... Diem ya Bu." Kata Nindi menirukan Ibunya kalau sedang menyuruhnya berhenti menangis.
Mereka pun kembali tertawa melihat ulah Nindi. Ibu pun tersenyum.
"Assalamu alaikum..." Salam Tiar.
"Wa alaikumussalaam.." Disahuti dari dalam serempak.
"Nah tuh, Bang Tiar pulang." Kata Fitri.
Nindi dan Feri langsung berhamburan keluar menghampiri Bang Tiar yang baru saja masuk ke dalam rumah.
"Bang Tiar bawa apa?" Tanya Feri yang melihat Sang Abang menenteng plastik kresek.
"Nih... Bawa ke dalam. Jangan berebut." Kata Bang Tiar memberikan bungkusan itu pada Feri.
Tiar mencium punggung telapak tangan Ibu. "Ibu sudah makan?" Tanya Tiar. Ibu mengangguk.
Tiar mengeluarkan sesuatu dari dalam saku celananya. "Bu, ini hasil jualan kantong plastik hari ini." Tiar menyerahkan uang itu pada Ibu.
Ibu menolak. "Kamu simpan saja, Nak, buat keperluan sekolah Kamu." Pinta Ibu. Tiar pun mengangguk.