Tiga Hari Kemudian
"Tanah itu milik Kami, jadi biarkan Saya yang memegang surat tanah itu!"
Paman Jalal begitu ngotot meminta surat tanah yang dipegang oleh Ayah. Paman Jalal adalah Abang satu Ibu dengan Ayah, tapi lain Ayah. Dia juga seorang tentara.
Paman Darma hanya diam. Dia adalah Kakak kandung dari Ayah. Entah angin apa yang membawa Paman Darma meminta surat tanah, padahal itu hak Mereka berdua tapi kenapa Paman Jalal ikut campur.
"Abang Jalal tenang saja, Nia gak bernafsu kok dengan harta segitu. Kalau bicara warisan, Warisan Nia melimpah di kampung. Gak usah ribut-ribut, malu... Harta gak seberapa jadi rebutan." Ibu masuk ke dalam kamar dan mengambil surat tanah itu.
"Maafin Nia, Bang. Nia gak mau harga diri Kita diinjak-injak hanya karena harta yang tak seberapa ini."
Nia mengusap airmatanya. Belum lagi kering tanah pusara Suaminya, tiba-tiba datang masalah seperti ini. Paman Jalal mengatakan kalau Nia ingin menguasai harta milik Arif dan Darma. Itu yang membuat Nia naik pitam.
Nia keluar dan melempar surat tanah itu ke meja. "Ambillah dan cepat tinggalkan rumah ini. Anak-anak Almarhum Bang Arif tak akan susah hidupnya kehilangan harta yang tak seberapa itu!" Nia sangat kesal.
Paman Darma dan Paman Jalal meninggalkan rumah Ibu.
_______
"Assalamu alaikum..." Salam Tia.
"Wa alaikumussalaam..." Jawab Mereka yang berada di dalam rumah.
Tia mencium punggung telapak tangan Ibu dan Kak Mia. Ternyata ada keponakan Ayah Tia, Bang Aril.
Tia langsung masuk ke dalam kamar. Dia melihat tiga orang Adiknya yang sedang bercanda di kamar.
"Kenapa Tante kasih? Tanah itu kepunyaan Paman Darma dan Paman Arif. Paman Jalal tidak ada hak." Aril terdengar sangat kesal. "Sekarang Paman Arif tidak ada, separuh tanah itu milik Anak-anak Paman Arif."
"Sudahlah Aril, Tante malas ribut-ribut. Mereka aja yang gak punya pikiran, Orang sedang berduka malah rebutan harta." Kata Ibu.
Sayup-sayup terdengar suara ibu ke dalam kamar. Tia hanya menghela nafas.
Nindi langsung memeluk Tia. Kalian sudah pada mandi?" Tanya Tia.
"Sudah dong Kak..." Jawab Fitri, Feri dan Nindi.
"Kak Tia mau mandi dulu biar segar. Nanti Kita main sama-sama." Kata Tia.
Tak butuh lama bagi Tia untuk mandi, Dia segera berpakaian di kamar sebelah dan kembali ke kamar di mana Adik-adiknya berkumpul.
Tia melihat Ibu masuk ke kamar dan membuka lemari. Ibu mengambil lembaran uang dari laci lumayan banyak.
"Uang buat apa, Bu? Kok banyak banget?" Tanya Tia. Tapi Ibu hanya berlalu keluar kamar tanpa menjawab pertanyaan Tia.
Tia hanya bisa mengintip dari balik pintu kamar, Dia melihat Ibu memberikan uang itu pada Bang Aril. Tak lama Bang Aril meninggalkan rumah.
Tia menghampiri Ibu nya. "Bu, kok uangnya diberikan ke Bang Aril?"
"Iya, Dia pinjam buat modal usaha katanya. Bulan depan dibayar." Jawab Ibu.
Tia hanya mengangguk. Kak Mia menyuruh Adik-adik untuk siap-siap berwudhu karena adzan maghrib telah berkumandang. Bang Tiar pun juga baru tiba di rumah, pulang dari sekolah.
Setelah shalat berjamah, Kami makan malam bersama dengan beralas tikar. Walau dengan lauk sederhana, tapi rasanya sangat nikmat jika makan bersama.
Setelah makan malam dan merapihkan semua, Tia dan Fitri masuk ke kamar untuk belajar. Tia memang lebih memilih belajar sendiri dari pada belajar dengan Abangnya. Karena Bang Tiar suka gak sabaran kalau mengajari Adik-adiknya.
Sewaktu masih ada Ayah, Tia dan Fitri selalu belajar dengan Ayah.
"Kak, Aku yang ini gak ngerti." Kata Fitri.
Tia melihat PR punya Fitri. Tiba-tiba Bang Tiar masuk kamar dan mengambil buku PR Fitri.
"Masa kayak gini aja gak ngerti. Kapan Kamu pintar nya?" Ketus Bang Tiar.
"Aku gak tanya sama Abang. Aku kan belajar sama Kak Tia. Abang galak, Aku gak mau belajar sama Abang." Fitri mengerucutkan bibirnya, matanya mulai berkaca-kaca.
"Terus kalo gak nanya sama Abang, mau tanya sama siapa? Tia?" Bang Tiar ketus.
"Gak apa, kalau sama Kak Tia bisa masuk otak, kalau sama Abang gak ngerti kalau ngasih tahu nya marah-marah." Sahut Fitri.
"Bang.. Yang nomor 9, Tia gak ngerti." Tia mencoba mengalihkan pembicaraan Fitri yang sepertinya akan menyulut emosi Bang Tiar.
"Mana sini?!" Kata Bang Tiar, lalu mengajari Tia, tapi lagi-lagi Tiar tidak sabaran.
Tia sampai menahan airmatanya karena Bang Tiar terus mengomel karena Tia tidak juga mengerti.
Akhirnya Tia mengambil buku PR nya dan keluar kamar. Tia duduk di ruang tamu sambil mengusap airmatanya.
Bang Tiar menyusul ke ruang tamu. "Kalau lagi diajarin tuh jangan pergi!! Kebiasaan!!" Bentak Bang Tiar.
"Ada apa ini?! Kenapa gak bisa akur?! Selalu saja ribut, senang ya bikin Ibu jantungan, haaaahhh?!" Ibu terlihat kesal.
"Ini Abang ngajarinnya sambil marah-marah, kan gak bisa masuk otak, beda kalau Ayah yang ngajarin." Mendengar Tia menyebut Ayah, Ibu menangis.
Tia jadi merasa bersalah, lagi-lagi Bang Tiar memarahi Tia dan tidak segan tangannya menempeleng kepala Tia.
Tia langsung berlalu sambil menangis. Melihat itu Kak Mia langsung memarahi Bang Tiar.
"Kamu gak boleh begitu sama Adikmu, kasihan Ibu tambah sedih melihat kelakuan Kalian." Kata Kak Mia.
Bang Tiar hanya diam. Bang Tiar lupa akan pesan terakhir Ayah, untuk saling membantu Kita bersaudara.
Tia menangis di dalam kamar. Dia kangen Ayah, Ayah yang sangat lembut dan sabar.
Begitulah hari-hari yang Tia lalui tanpa Ayah, Tia harus belajar mandiri disaat usianya yang baru sebelas tahun.
_______
Satu Bulan Kemudian
Hari ini adalah hari yang telah dijanjikan oleh Aril pada Ibu untuk mengembalikan uang yang Dia pinjam pada Bu Nia.
Ibu masih menunggu. Hari sudah sore. Sebentar lagi maghrib tapi yang ditunggu belum juga menampakan batang hidungnya.
Hingga Adzan isya pun berkumandang, tapi Aril belum juga datang.
"Kemana nih Aril belum ada kabarnya?" Tanya Ibu pada Kak Mia.
"Sabar aja Bu, mungkin besok kali Dia baru kesini." Kata Kak Mia menghibur Ibu. Ibu pun mengangguk.
Hari pun berlalu, sudah lebih dari sepuluh hari dari waktu yang ditentukan untuk Aril membayar hutang pada Ibu, tapi tidak ada juga kabar dari Aril. Akhirnya Ibu menyuruh Kak Mia mendatangi rumah Bang Aril, Tia juga menemani Kak Mia.
"Assalamu alaikum..." Salam Kak Mia dan Tia.
"Wa alaikumussalaam..." Sahutan dari dalam rumah kontrakan Bang Aril.
"Bang Aril, Mia kesini disuruh Ibu Nia minta uang yang Abang pinjam dari Ibu. Karena Kami sudah tidak pegang uang buat belanja besok dan ongkos sekolah Adik-adik." Kata Kak Mia sopan.
"Apa? Minta uang??!! Ayah Kalian saja berhutang padaku sampe sekarang belum dibayar! Aku gak pernah menagihnya! Ini baru pinjam uang segitu saja sudah ditagih!!" Bentak Bang Aril.
Kak Mia dan Tia terkejut mendengar ocehan Bang Aril. Mereka tak menyangka akan seperti ini tanggapan Aril karena ditagih hutangnya.
"Memang Ayah pinjam uang buat apa sama Bang Aril sampai belum dibayar?" Tanya Kak Mia.
"Dulu Ayah Kalian pinjam uang buat beli tiket pesawat Ibunya Tia pulang kampung, karena Neneknya Tia sakit, sampai sakarang belum diganti!" Kata Bang Aril masih dengan nada sinis.
"Harusnya Abang bilang dong sama Ibu, kalau Ayah punya hutang. Bukannya malah Abang janji-janji pinjam uang akan dikembalikan." Mia jadi terpancing emosinya.
"Oohh... Jadi sekarang Mia sudah berani melawan Abang?!! Baru tinggal di Jakarta sebentar saja, sudah berani melawan Abang!!" Bang Aril bertelak pinggang.
Dan pertengkaran itu terus berlanjut sampai Istri Bang Aril juga ikut campur, ribut sama Kak Mia.
Tia gak mengerti masalah Mereka karena Mereka berbicara dengan bahasa Minang, yang Tia belum paham benar artinya.
Tia menarik tangan Mia untuk pulang karena keributan yang tak ada ujungnya. Tia melihat Kak Mia menangis dan Bang Aril terus mengomel ditambah lagi ocehan Istri Bang Aril.
Sekuat tenaga Tia menarik tangan Kak Mia agar berlalu dari rumah kontrakan Bang Aril.
Sampai di rumah, Kak Mia masih menangis. Ibu jadi bingung, ada apa sebenarnya. Akhirnya Mia menceritakan kejadian disana.
Ibu menangis dan terlihat emosi, mendengar penuturan Kak Mia. Tia mengerutkan kening karena tidak mengerti dengan bahasa Mereka.
Bang Tiar baru datang dari pasar dan langsung bertanya pada Tia ada apa dengan Kak Mia dan Ibu.
Tia menceritakan perihal Kak Mia dan Dirinya yang menagih hutang ke rumah Bang Aril. Bang Tiar sangat geram sambil mengepalkan tangannya. Dia berlalu hendak ke rumah Bang Aril, tapi buru-buru dicegah Kak Mia dan Ibu Nia.
"Sudah... Sudah... Tiar.. Biarkan saja! Kalau memang Ayah Kalian berhutang, biarlah terlunasi hutang Ayah, Semoga Arwah Ayah tenang disana. Tapi kalau Aril berbohong, biarlah Allah yang akan membalasnya." Ucap Ibu.
"Aamiin.." Gumam Tia, Kak Mia dan Bang Tiar.